Senin, 12 Oktober 2020 | 13:23 Wita

G o n c a n g

Editor: Firman
Share

■ Hidayah di Hidayatullah (6)Oleh : Sarmadani Karani, Ketua Yayasan Madinatul Izzah Mubarak, Hidayatullah

HidayatullahMakassar.id — Allah ta alla berfirman

(وَٱصۡبِرۡ نَفۡسَكَ مَعَ ٱلَّذِینَ یَدۡعُونَ رَبَّهُم بِٱلۡغَدَوٰةِ وَٱلۡعَشِیِّ یُرِیدُونَ وَجۡهَهُۥۖ وَلَا تَعۡدُ عَیۡنَاكَ عَنۡهُمۡ تُرِیدُ زِینَةَ ٱلۡحَیَوٰةِ ٱلدُّنۡیَاۖ وَلَا تُطِعۡ مَنۡ أَغۡفَلۡنَا قَلۡبَهُۥ عَن ذِكۡرِنَا وَٱتَّبَعَ هَوَىٰهُ وَكَانَ أَمۡرُهُۥ فُرُطࣰا)

Dan bersabarlah engkau (Muhammad) bersama orang yang menyeru Tuhannya pada pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan kehidupan dunia; dan janganlah engkau mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingat Kami, serta menuruti keinginannya dan keadaannya sudah melewati batas.(QS. Al-Kahfi 28).

Goncang, ini istilah santri yang dalam masalah. Penyebabnya banyak, bisa karena kekurangan sesuatu materi, baik berupa barang ataupun kekurangan iman. Ada santri yang habis duitnya, ia bisa goncang. Santri yang ada masalahnya, ia juga goncang. Atau juga santri yang habis melanggar, ia goncang, ada rasa was-was, cemas karena takut ketahuan.

Goncang, kalau salah kelola, ujung-ujungnya bisa berakhir dengan tragis, lari dari pondok, atau keluar secara resmi. Intinya, tidak lolos seleksi jadi santri. Dia tereliminasi. Dan sudah pasti ia tidak di pondok lagi.

Pun saya pernah merasakan goncang yang begitu berat.

Malam itu, usai magrib, saya goncang yang sangat luar biasa. Karena makan yang hanya itu saja, hanya sayur bening tanpa rasa, dan ikan kering. Itu terus menunya. Lumrah rasa kalau goncang. Belum lagi kiriman yang tidak kunjung datang, orang tua yang lambat menjenguk, dan rasa rindu untuk pulang uang begitu berat. Rindu untuk pulang ke patok merah.

Saat sholat Magrib, perasaan berkecamuk. Saat ceramah Magrib isya sedang berlangsung, saya meninggalkan masjid, jalan kaki menuju gubuk pertamanan di sisi selatan masjid ArRiyadh. Dengan pakaian sholat lengkap, saya menunggu angkot yang lewat ke Manggar. Waktu itu, belum 40 hari saya jadi santri.

Menunggu, terus menunggu…, Taksi nomer 7 kota Balikpapan tidak kunjung lewat. Hanya mobil Handil yang melaju setan, berkelebat, juga tidak mau singgah saat ditahan.

Hingga adzan Isya berkumandang, saya tidak dapat angkutan. Dengan rasa berat, saya kembali ke masjid, untuk menunaikan shalat berjamaah Isya bersama seluruh santri dan warga Hidayatullah Gunung Tembak. Ya, Alhamdulillah, saya tidak jadi lari.

Usai sholat isya, perasaan kembali tenang. Kembali normal, tidak ada lagi niat untuk lari. Keesokan harinya, saya bersilaturahmi ke rumah Ustad Ahmad Fitri, untuk dapat wejangan dari beliau.

Ustad Fitri, begitu beliau dipanggil, sambil menimati teh hangat yang disuguhkan, beliau memberikan sedikit wejangan terkait cerita goncang dan hendak escape dari pondok kemaren malam. Tanpa berpikir panjang, beliau langsung bilang,
“Potong kuku saya, kalau anda bisa berhasil di luar pondok, potong kuku saya saja, tidak usah potong tangan saya, kalau saya bilang potong tangan saya, sombong namanya itu” ungkap beliau sambil tersenyum.

Alhamdulillah, perkataan Ustad Fitri cukup mujarab buat saya. Alhamdulillah, jika ada sedikit kegoncangan, saya ingat pesan beliau. Ada hal yang penting, bahwa kesuksesan di Hidayatullah, bukan mencari kesuksesan materi. Tapi mencari kesuksesan akhirat. Bergabung bersama jamaah bukan mencari harta, tetapi mencari iman.

Maka tatkala kita goncang, nasehat untuk senantiasa bersabar, bersama orang-orang yang menyeru kepada Allah, yang senantiasa mereka ruku’, mereka sujud, harus kita ikuti. Sementara saat goncang, kita harus mengabaikan ajakan orang yang hanya mementingkan kehidupan dunia, dan bisa membuat kita berpaling dari mengingat Allah.

Dan sabarkanlah jiwamu, untuk senantiasa bersama mereka yang sujud dan ruku’, meski kita hanya memiliki materi seadanya, atau bahkan tidak memiliki sesuatu apapun.
Wallahu ta’ala a’lam.■



BACA JUGA