Rabu, 7 Oktober 2020 | 06:35 Wita

Hijrah ke Pondok

Editor: Firman
Share

■ Hidayah di Hidayatullah (3)Oleh : Sarmadani Karani, Ketua Yayasan Madinatul Izzah Mubarak, Hidayatullah

HidayatullahMakassar.id — Hijrah. Itu pilihan terbaik. Masuk pondok, menjadi santri, menjadi opsi pribadi setelah tamat dari SMP Negeri 8, (1995), Manggar.

(وَٱصۡبِرۡ عَلَىٰ مَا یَقُولُونَ وَٱهۡجُرۡهُمۡ هَجۡرࣰا جَمِیلࣰا)

Dan bersabarlah (Muhammad) terhadap apa yang mereka katakan dan tinggalkanlah mereka dengan cara yang baik. [QS. Al-Muzzammil:10]

Bagi saya, tidak ada opsi lain. Sadar dengan sesadar sadarnya, bahwa hijrah, dari sekolah biasa ke pesantren adalah pilihan terbaik. Bukan karena nakal, bukan karena orangtua tidak mampu membiaya sekolah untuk lanjut di STM Negeri, tapi saya sadar, bahwa saya butuh pesantren. Untuk memperbaiki diri, untuk membuat diri lebih baik.

Waktu itu, masuk pondok, kesannya masih kampungan. Masuk pondok masih identik dengan orang miskin, yatim piatu, ataupun terlantar. Waktu itu, masuk ke pondok pesantren, masih dianggap orang kelas tiga. Maklum, di Hidayatullah, masih gratis 100%.

Di keluarga sempat berkecamuk. Ada yang mengusulkan, agar saya bersekolah di pesantren DDI, Mangkoso Barru, karena memang ibu saya orang Barru. Ada juga yang mengusulkan, agar saya masuk STM Negeri, jurusan otomotif. Tapi itu baru usul.

Entah apa yang merasuki waktu itu. Mungkin juga karena doktrin ustad-ustad yang datang mengajar TPA di Patok Merah. Yang jelas keingin untuk hijrah ke pondok begitu kuat.

Intinya, masuk pesantren. “Kalau tidak sekolah di pesantren, hancur hidupku”, begitu pikiranku dalam hati. Hancur karena pergaulan, hancur karena syahwat, hancur karena akhwat. Itu yang selalu teringat. Pergaulan memang ditentukan oleh teman, juga oleh lingkungan.

Hijrah secara totalitas. Meninggalkan semua, untuk membersihkan diri, dan meninggalkan berbagai bentuk kemaksiatan.

(وَثِیَابَكَ فَطَهِّرۡ ۝ وَٱلرُّجۡزَ فَٱهۡجُرۡ)

Dan pakaianmu bersihkanlah. dan tinggalkanlah segala (perbuatan) yang keji [QS. Al-Muddatstsir 4 – 5] .

Niat untuk hijrah itu sudah bulat (tahun 1995), hadir dari diri sendiri, dengan keyakinan yang kuat, bahwa rasa-rasanya, kalau tidak berpesantren, bisa hancur aku ini. Yang kalau melihat kondisi yang ada di luar pondok, bisa habis aku ini. Maka waktu itu, dengan dan sama sekali tanpa unsur paksaaan pihak manapun, saya bersama Bapak, begitu muncul pengumuman lulus di SMP, langsung mendaftar ke Gunung Tembak, untuk lanjut Sekolah Aliyah.

Waktu itu, saya sudah bisa naik motor, tapi belum lancar. Karena angkot ke Gunung Tembak masih sulit, saya pinjam motor tua milik Daeng Bahnare, sepupu sekali. Berita baiknya, Alhamdulillah bisa sampai gunung tembak dan bisa diterima. Berita jeleknya, saat pulang, motor itu mogok di sekitar Lamaru. Akhirnya saya harus mendorong sekitar dua kilometer, baru ketemu bengkel.

Cek and ricek, motor tersebut rupanya rusak, karena saya baru belajar naik motor. Saat motor jalan, hanya menggunakan gigi satu dan dua. Tidak pernah masuk gigi tiga dan empat. Walhasil, motor harus turun mesin. Catatan kecil ini tentang motor yang rusak ini, juga menjadi wasilah dari proses hijrah itu. Dan semoga beliau, almarhum Daeng Bahnare, mendapat terbaik di sisiNya.■ Bersambung



BACA JUGA