Kamis, 13 Mei 2021 | 08:00 Wita

Khutbah Ied: Musibah dan Ketaqwaan Sosial

Editor: Firman
Share

Oleh: DR H Abdul Aziz Qahhar Mudzakkar MSi, Dewan Pertimbangan Hidayatullah

HidayatullahMakassar.id — Alhamdulillah ummat Islam tahun ini dapat melaksanakan shalat Idul Fitri dengan kondisi lebih legah dan lebih ramai daripada tahun lalu, walaupun tetap dengan protokol kesehatan karena memang pandemi Covid 19 masih eksis.

Bermula dari Wuhan-China, sudah sekitar satu setengah tahun pandemi covid 19 ini menyerang manusia secara massif di seluruh muka bumi,  dan  sampai saat ini pandemi ini belum juga berakhir.

Mungkin inilah durasi pandemi virus terlama yang pernah ada.  Walaupun demikian, kita patut bersyukur karena  serangan covid 19 di negara kita beberapa bulan terakhir cenderung semakin menurun. 

Pandemi covid 19 sungguh telah menjadi cobaan luar biasa bagi bangsa kita, bahkan juga untuk seluruh ummat manusia di seluruh dunia. Pandemi ini telah mengakibatkan  begitu banyak kematian, krisis ekonomi yang berakibat pada banyaknya PHK dan berkurangnya pendapatan bagi sebahagian besar masyarakat, terganggunya penyelenggaraan pendidikan, terjadinya kerenggangan sosial, dan lain sebagainya. Situasi ini seperti ini  mirip yang digambarkan di dalam al-Qur’an

وَلَـنَبۡلُوَنَّكُمۡ بِشَىۡءٍ مِّنَ الۡخَـوۡفِ وَالۡجُـوۡعِ وَنَقۡصٍ مِّنَ الۡاَمۡوَالِ وَالۡاَنۡفُسِ وَالثَّمَرٰتِؕ وَبَشِّرِ الصّٰبِرِيۡنَۙ

Dan Kami pasti akan menguji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan sampaikanlah kabar gembira bagi orang-orang sabar” (QS 2:155).

Selain musibah akibat pandemi covid 19, beberapa tahun terakhir musibah demi musibah serasa tiada bosannya melanda negeri kita. Pada tahun 2021 misalnya, dalam kurun waktu tiga  bulan saja, yaitu dari 1 Januari hingga 5 April 2021, BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana) mencatat ada 1.045 peristiwa bencana alam di Tanah Air. Bencana alam itu antara lain berupa banjir, gempa bumi, tanah longsor, kekeringan, dan lain-lain. 

Menurut data yang ada, bencana-bencana tersebut telah menyebabkan setidaknya 4.362.573 orang mengungsi, 337 orang meninggal ditambah 55 orang hilang, dan 12.436 orang luka-luka. Dapat dibayangkan pula betapa besar kerugian material dan juga dampak sosial dari bencana-bencana tersebut. Dari April hingga hari ini tentu masih banyak pula bencana yang terjadi. Yang  paling menyedihkan dan memprihatinkan adalah tenggelamnya kapal selam KRI Nanggala 402 pada 21 April lalu  yang menyebabkan kematian 53 orang prajurit terbaik bangsa.

Bencana alam ataupun musibah tidaklah terjadi begitu saja atau secara kebetulan. Dalam hal ini Al-Qur’an memberika isyarat:

ظَهَرَ الۡفَسَادُ فِى الۡبَرِّ وَالۡبَحۡرِ بِمَا كَسَبَتۡ اَيۡدِى النَّاسِ لِيُذِيۡقَهُمۡ بَعۡضَ الَّذِىۡ عَمِلُوۡا لَعَلَّهُمۡ يَرۡجِعُوۡنَ

Telah tampak kerusakan di darat dan di lautan karena perbuatan tangan manusia; Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali ke jalan yang benar” (QS 30:41).

Pada ayat lain dikatakan;

اَوَلَمۡ يَهۡدِ لِلَّذِيۡنَ يَرِثُوۡنَ الۡاَرۡضَ مِنۡۢ بَعۡدِ اَهۡلِهَاۤ اَنۡ لَّوۡ نَشَآءُ اَصَبۡنٰهُمۡ بِذُنُوۡبِهِمۡ‌ ۚ وَنَطۡبَعُ عَلٰى قُلُوۡبِهِمۡ فَهُمۡ لَا يَسۡمَعُوۡنَ

“Dan apakah belum jelas bagi orang-orang yang mempusakai suatu negeri sesudah (lenyap) penduduknya, bahwa kalau Kami menghendaki tentu Kami adzab mereka karena dosa-dosanya; dan Kami kunci mati hati mereka sehingga mereka tidak dapat mendengar (pelajaran lagi)?” (QS 7:100).

Dari ayat-ayat di atas dapat kita pahami bahwa pada dasarnya bencana alam ataupun musibah yang terjadi di sekitar kita boleh jadi datang sebagai akibat kerusakan alam karena tindakan jahil manusia merusak lingkungan hidup.

Misalnya saja datangnya banjir bandang akibat kerusakan hutan atau eksploitasi tambang tanpa memperhatikan kelestarian lingkungan. Tapi selain itu sesungguhnya bencana atau musibah yang muncul bukan hanya merupakan sebab akibat secara langsung dari logika hukum alam, tapi dapat pula merupakan siksaan atau peringatan dari Allah SWT sebagai akibat dari dosa-dosa yang dilakukan manusia.

Dalam ayat lain Allah menegaskan:

وَمَاۤ اَصَابَكُمۡ مِّنۡ مُّصِيۡبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتۡ اَيۡدِيۡكُمۡ وَيَعۡفُوۡا عَنۡ كَثِيۡرٍؕ

Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka itu disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar dari kesalahan-kesalahanmu” (QS 42:30).

مَاۤ اَصَابَكَ مِنۡ حَسَنَةٍ فَمِنَ اللّٰهِ‌ وَمَاۤ اَصَابَكَ مِنۡ سَيِّئَةٍ فَمِنۡ نَّـفۡسِكَ‌ ؕ وَاَرۡسَلۡنٰكَ لِلنَّاسِ رَسُوۡلًا‌ ؕ وَكَفٰى بِاللّٰهِ شَهِيۡدًا

“Dan apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan apa saja bencana yang menimpamu maka itu dari (kesalahan) dirimu sendiri” (QS 4:79).

Sebagai penganut agama Islam dan percaya pada kebenaran wahyu kitab suci Al-Qur’an, dengan memperhatikan ayat-ayat yang dikemukakan di atas,  sudah saatnya kita melakukan muhasabah atau instrofeksi diri terhadap sikap dan perilaku kita selama ini, baik secara sendiri-sendiri maupun secara komunal sebagai suatu masyarakat dan bangsa. 

Al-Qur’an mengingatkan:

اَلَمۡ يَاۡنِ لِلَّذِيۡنَ اٰمَنُوۡۤا اَنۡ تَخۡشَعَ قُلُوۡبُهُمۡ لِذِكۡرِ اللّٰهِ وَمَا نَزَلَ مِنَ الۡحَـقِّۙ وَلَا يَكُوۡنُوۡا كَالَّذِيۡنَ اُوۡتُوا الۡكِتٰبَ مِنۡ قَبۡلُ فَطَالَ عَلَيۡهِمُ الۡاَمَدُ فَقَسَتۡ قُلُوۡبُهُمۡ‌ؕ وَكَثِيۡرٌ مِّنۡهُمۡ فٰسِقُوۡنَ

Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka), dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al-Kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan diantara mereka adalah orang-orang fasik” (QS 57:16).

Menurut sebagaian ahli tafsir ayat ini menegur dan memperingatkan orang-orang mukmin tentang keadaan mereka yang sering lalai menegakkan ajaran agama. Padahal seharusnya hati mereka lunak saat mengingat Allah,  saat membaca atau mendengar ayat-ayat Al-Qur’an, mereka memahami dan tunduk kepada Allah.

Dalam kitab tafsirnya, ulama ahli tafsir Ibnu Katsir mengutip dari sahabat Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa sesungguhnya Allah merasa kesal terhadap keterlambatan  orang-orang mukmin untuk tunduk hati mereka mengingat Allah.

  • وَلَنـــُذِيۡقَنَّهُمۡ مِّنَ الۡعَذَابِ الۡاَدۡنٰى دُوۡنَ الۡعَذَابِ الۡاَكۡبَرِ لَعَلَّهُمۡ يَرۡجِعُوۡنَ

“Dan sesungguhnya Kami merasakan kepada mereka sebagaian adzab yang dekat (di dunia) sebelum adzab yang lebih besar (di akhirat), mudah-mudahan mereka kembali (ke jalan yang benar)” (QS 32:21).

Bagi orang beriman pada dasarnya musibah bukanlah sebuah kutukan, tapi lebih sebagai teguran atau peringatan untuk sadar atas kelalaian dan dosa-dosa mereka, dan kemudian segera kembali ke jalan Allah. Dalam kalimat positif dapat dikatakan bahwa rentetan musibah  pada hakekatnya merupakan  ajakan bertubi-tubi dari Allah kepada hamba-Nya untuk kembali ke jalan yang benar.

Mungkin ada yang mengajukan  pertanyaan, kalau memang musibah diturunkan Allah  akibat dosa-dosa manusia, lalu mengapa banyak orang baik atau tidak berdosa yang justeru ditimpa bencana atau musibah? Mengapa bukan para pendosa saja, misalnya para pelacur dan koruptor, yang dihancurkan oleh musibah-musibah tersebut?

Jawaban atas pertanyaan ini adalah bahwa sesugguhnya perilaku dosa-dosa atau maksiat yang hidup atau eksis di tengah-tengah masyarakat pada hakekatnya tidak hanya merupakan dosa personal bagi pribadi  para pelakunya, tapi juga merupakan “dosa komunal” atau dosa sosial secara bersama bagi seluruh warga masyarakat. Hal itu karena pada dasarnya ada tanggung jawab sosial bagi setiap orang baik di masyarakat untuk menegur dan menghentikan setiap perilaku dosa atau maksiat  yang ada di lingkungan atau  masyarakatnya.

Rasulullah mengingatkan:

عَنْ أَبِي سَعِيْدٍ الخُدْرِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ ﷺ يَقُوْلُ: «مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَراً فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ، فَإِنْ لَمْ يَستَطِعْ فَبِلِسَانِهِ، فَإِنْ لَمْ يَستَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الإِيْمَانِ» رَوَاهُ مُسْلِمٌ.

Dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Barangsiapa dari kalian melihat kemungkaran, ubahlah dengan tangannya. Jika tidak bisa, ubahlah dengan lisannya. Jika tidak bisa, ingkarilah dengan hatinya, dan itu merupakan selemah-lemahnya iman.” (HR. Muslim) [HR. Muslim, no. 49]

Itulah sebabnya maka ketika bencana datang akibat ulah tangan manusia, atau Allah menimpakan musibah bagi suatu masyarakat atau bangsa akibat tumpukan dosa-dosa sosial mereka, maka musibah tersebut tidak hanya menimpa individu para pelaku maksiat saja, tapi justeru menimpa seluruh warga sesuai kadar musibahnya. 

Allah SWT menegaskan:

وَاتَّقُوۡا فِتۡنَةً لَّا تُصِيۡبَنَّ الَّذِيۡنَ ظَلَمُوۡا مِنۡكُمۡ خَآصَّةً‌ ۚ وَاعۡلَمُوۡۤا اَنَّ اللّٰهَ شَدِيۡدُ الۡعِقَابِ‏

“Dan peliharalah dirimu daripada siksaan yang tidak ditimpakan kepada orang-orang zalim saja diantara kamu. Dan ketahuilah bahwa Allah sangat keras siksanya” (QS 8:25).

Jika dari penjelasan diatas kita memahami dosa-dosa ternyata tidak hanya bersifat personal, tapi juga ada yang  bersifat komunal atau dosa sosial, maka demikian pula halnya dengan iman dan taqwa. Keimanan dan ketaqwaan di satu sisi sangat bersifat individual, tapi pada saat yang sama juga mestinya  mewujud sebagai kulitas kolektif dalam kehidupan sosial kemasyarakatan.

Mari kita perhatikan ayat berikut ini:

وَلَوۡ اَنَّ اَهۡلَ الۡقُرٰٓى اٰمَنُوۡا وَاتَّقَوۡا لَـفَتَحۡنَا عَلَيۡهِمۡ بَرَكٰتٍ مِّنَ السَّمَآءِ وَالۡاَرۡضِ وَلٰـكِنۡ كَذَّبُوۡا فَاَخَذۡنٰهُمۡ بِمَا كَانُوۡا يَكۡسِبُوۡنَ‏

“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertaqwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka akibat perbuatannya” (QS 7:96). 

Penyebutan istilah “iman” dan “taqwa” dalam ayat di atas menggunakan kata jamak atau majemuk/plural, bukan kata tunggal atau mufrad. Artinya, keimanan dan ketaqwaan dalam konteks ayat ini adalah keberimanan dan kebertaqwaan secara bersama dalam satu komunitas sosial, bukan hanya keberimanan dan kebertaqwaan yang bersifat individu bagi setiap warga masyarakat.

Allah menjanjikan bahwa seandainya pada suatu negeri (suatu bangsa atau masyarakat) dimana keimanan dan ketaqwaan warganya tidak hanya berdimensi individu tapi juga berdimensi atau berskala sosial, maka Allah akan mendatangkan berkah pada negeri atau masyarakat tersebut. Keimanan dan ketaqwaan dalam skala individu artinya keimanan dan ketaqwaan yang diwujudkan setiap warga dalam ibadah mahdhah, yaitu ibadah ritual yang bersifat vertikal langsung kepada Allah, seperti shalat, puasa, dan lainya. Adapun keimanan dan ketaqwaan secara sosial adalah terwudnya ajaran Islam yang bersifat muamalah dalam kehidupan sosial, seperti penegakan keadilan dan berjalannya amar ma’ruf dan nahi munkar secara baik pada bangsa atau masyarkat tersebut.

Para ulama menjelaskan bahwa berkah atau barokah adalah nikmat atau karunia dari Allah yang mengandung banyak kebaikan. Berkah selain bermakna melimpahnya rezeki untuk kebutuhan sandang, pangan dan papan, juga berarti hadirnya kebahagian spitritual atau ketenangan batin, keamanan, kesehatan, kebahagian keluarga, dll. Berbeda dengan kehidupan yang tidak  berkah, dimana boleh jadi sesorang mempunyai banyak rezeki, tapi batinnya tidak tenang dan keluarganya suami-isteri dan anak tidak bahagia. Na’udzubillah min dzalik.  

Dari sejumlah ayat dan hadits yang dijelaskan di atas memberi gambaran yang jelas bahwa dalam ajaran Islam ketaqwaan selain berdimensi individual,  juga berdimensi sosial. Jadi ada ketaqwaan atau kesalehan individual dan ada pula ketaqwaan atau kesalehan secara sosial. Menjadi seorang muslim yang baik memang mengharuskan adanya ketaqwaan individual. Tapi ketaqwaan individu saja tanpa disertai dengan ketaqwaan atau kesalehan sosial, pada dasarnya seorang muslim belumlah dapat meraih posisi sebagai muslim sejati.

Dengan berpuasa selama sebulan penuh Ramadhan, insya Allah saat Idul Fitri kita kembali pada kehidupan fitri dan  menjadi orang-orang taqwa, sebagaimana firman Allah:

يٰٓـاَيُّهَا الَّذِيۡنَ اٰمَنُوۡا كُتِبَ عَلَيۡکُمُ الصِّيَامُ کَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيۡنَ مِنۡ قَبۡلِکُمۡ لَعَلَّكُمۡ تَتَّقُوۡنَۙ

“Hai orang-orang yang beriman diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa” (QS 2:183).

Puasa dan amalan-amalan ramadhan lainnya seperti shalat tarawih, tilawah Al-Qur’an, zakat-infaq, dll insya Allah telah menghapuskan dosa-dosa kita sebelumnya dan kemudian mejadikan kita orang taqwa atau menambah ketaqwaan dari ketaqwaan yang sudah ada. 

Rasulullah bersabda, dari Abu Hurairah, ia berkata,

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

Barangsiapa berpuasa Ramadhan atas dasar iman dan mengharap pahala dari Allah, maka dosanya yang telah lalu akan diampuni.”  (HR. Bukhari no. 38 dan Muslim no. 760).

Dari Abu Hurairah sesungguhnya Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda,

مَنْ قامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

“Barangsiapa yang melaksanakan qiyam Ramadan dengan penuh keimanan dan mengharap pahala kepada Allah, akan diampuni baginya dosa-dosanya yang telah lalu.”

Jika pada bulan-bulan sebelumnya keimanan dan ketaqwaan kita mungkin cenderung kabur, menipis dan melemah akibat banyaknya dosa dan kurangnya  ibadah, maka melalui Ramadhan kemarin insya Allah jiwa atau ruhani  kita kembali recovery menjadi fithri dan bertambahnya ketaqwaan kita.

Dengan kualitas taqwa,  hidup kita lebih bahagia, rezeki lebih terbuka dan urusan-urusan kita lebih dimudahkan. Allah SWT berfirman:

{ وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا } { وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ }

“Barangsiapa yang bertaqwa kepada Allah, niscaya Allah akan mengadakan baginya jalan keluar, dan Dia memberikan rezeki dari arah yang tidak disngka-sangka” (QS 65:2-3).

Namun demikian prestasi taqwa yang kita peroleh selama Ramadhan kemarin cenderung lebih  bersifat ketaqwaan  individual. Hampir semua amalan yang kita tekuni selama sebulan penuh pada Ramadhan  adalah amalan ritual yang menyulut peningkatan keimanan dan ketaqwaan kita secara individu seperti shalat, puasa, tilawah Al-Qur’an, dzikir, dsb. Kecuali zakat dan infaq yang disamping bersifat individual juga berefek pada kehidupan sosial.

Dengan modal dasar ketaqwaan individual yang telah kita raih, seharusnya melahirkan komitmen baru  dari setiap individu kaum muslimin untuk selanjutnya merakit dan membangun sinergitas ketaqwaan atau kesalehan sosial secara kolektif, baik dalam skala kecil lingkungan perumahan kita tinggal, maupun dalam skala kehidupan masyarakat yang lebih luas dalam berbangsa dan bernegara.

Islam adalah ajaran yang universal, kaffatan linnas (untuk seluruh manusia) dan rahmatan lil’alamin (rahmat bagi seluruh alam). Artinya, setiap muslim yang telah tercelup dengan nilai-nilai ajaran Islam, seharusnya memberi dampak kebaikan pada orang lain dan lingkungan sekitarnya, bahkan tidak terbatas pada masyarakat manusia, tapi juga untuk hewan, tumbuhan, bahkan untuk seluruh alam semesta.

Kemuliaan dan kehormatan hidup kaum muslimin disamping  ditentukan oleh kualitas keimanan dan ketaqwaan secara individual, juga sangat ditentukan oleh seberapa besar ketaqwaan atau kesalehan sosial mereka yang ditunjukkan dengan berjalannya amar ma’ruf dan nahi mungkar dalam kehidupan sosial. Allah SWT menegaskan dalam Al-Qur’an:

كُنۡتُمۡ خَيۡرَ اُمَّةٍ اُخۡرِجَتۡ لِلنَّاسِ تَاۡمُرُوۡنَ بِالۡمَعۡرُوۡفِ وَتَنۡهَوۡنَ عَنِ الۡمُنۡكَرِ وَتُؤۡمِنُوۡنَ بِاللّٰهِ‌ؕ وَلَوۡ اٰمَنَ اَهۡلُ الۡكِتٰبِ لَڪَانَ خَيۡرًا لَّهُمۡ‌ؕ مِنۡهُمُ الۡمُؤۡمِنُوۡنَ وَاَكۡثَرُهُمُ الۡفٰسِقُوۡنَ‏

“Kalian adalah ummat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah perbuatan mungkar, dan beriman kepada Allah” (QS 3:110).■ fir

*) Disarikan dari naskah khutbah Idul Fitri oleh Forum Komunikasi Islam (Fokus) Bumi Tamalanrea Permai di lapangan BTP Makassar



BACA JUGA