Minggu, 10 Desember 2023 | 18:48 Wita

Kader itu Tertarbiyah dan Taat Kepemimpinan

Editor: admin
Share

Rangkuman Tausiyah Shubuh Ustad Dr KH Abdul Aziz Qahhar Mudzakkar MSi, Ketua Dewan Pembina Yayasan Al Bayan

HidayatullahMakassar.id — Alhamdulillah… Acara ini mungkin dadakan. Karena tingkat kehadiran kader hanya 50%, kalau ini acara terencana sejak sepekan lalu, baru yang hadir hanya 50 %, ini alamat yang tidak bagus untuk kader Hidayatullah di Makassar.

Saya buka ceramah saya di Balikpapan, sewaktu Silatnas (Silaturahmi Nasional Hidayatullah), dengan mengutip kalimat Ust Abdullah Said (pendiri Hidayatullah), “Kalau bukan karena SW (manhaj Sistematika Wahyu), Hidayatullah ini tidak perlu ada. Kalau hanya karena pesantren, karena pendidikan, sekolah, Hidayatullah tidak perlu ada.” Intinya Hidayatullah ada pada Manhaj SW

Sehingga, berhidayatullah itu, harus memahami sistematika Wahyu. Semua kader harus memahami tentang SW itu. Baik pengurus struktural, maupun guru dan pegawai di Hidayatullah

Kedepannya, termasuk juga gedung-gedunh ini, hanya akan jadi barang rongsokan jika kader tidak memahami dan menjalankan SW. Insfratruktur ini hanya jadi barang rongsokan.

Al Bayan ini, luar biasa berpacu dengan pembangunan fisik. Luar biasa progres yang harus dikejar. Kita harus menyelesaikan gedung di samping masjid ini dalam waktu dua bulan. Tapi pencapaian infrastruktur ini harus dibarengi dengan supra struktur.

Apa gunanya guru-guru, jika hanya datang mengajar, juga pegawai BMH yang hanya sekedar karyawan, tapi tidak memahami manhaj Hidayatullah.

Apa gunanya infrastruktur, tanpa ada Supra struktur.

Di Munas terakhir, kita membuat struktur baru, dengan kehadiran Dewan Murobbi, sebagai pengawal supra struktur.

Dewan Murobbi ini yang kemudian serius mengurus manhaj dan jati diri Hidayatullah

DMW itu pengawal Supra struktur. DMW itu bukan bawahan DPW. Suhunya DPW. Kita perlu lebih merapikan organisasi kedepannya.

Kalau ada urusan struktural, itu urusan DPW. Kalau ada pelanggaran SOP maupunregulasi, itu tugas DPW.

Tapi jika terkait shalat jama’ah, ada kader yang malas jama’ah, maka itu tanggung jawab DMW. Ada kader yang tidak faham jati diri, itu urusan DMW.

Dulu pada masa Ust Abdullah Said Silaturahim Nasional diadakan setiap setahun sekali.

Salah satu yang pernah beliau kemukakan di Silatnas, bahwa beliau pernah kedatangan tamu, seorang sahabatnya, teman seperjuangan ustad Abdullah Said di PII (Pelajar Islam Indonesia).

Ustad Tatang Natsir namanya. Beliau berkunjung ke Balikpapan karena penasaran ingin tahu apa kekuatan Hidayatullah hingga bisa cepat berkembang. Dalam diskusi Ustad Abdullah Said menjelaskan bahwa kekuatan Hidayatullah karena ada manhaj SW. Kemudian ada yang bertanya bagaimana kalau konsep SW dijalankan sendiri nanti oleh Tatang Natsir di Bandung. Ust Abdullah said dengan tegas menjawab bahwa kalau Tatang Natsir mengerti tentang SW yang saya jelaskan pasti dia gabung dengan Hidayatullah karena tidak ada SW tanpa imamah jamaah.

Sejak Wahyu pertama turun, semua sahabat yang percaya atau beriman langsung berjamaah dengan Rasulullah. Para sahabat yang bergabung di darul Arqom, langsung menegakkan imamah jama’ah dan menyatakan sami’na wa atha’na.

Itu mungkin yang kemudian hari membuat Umar bin Khattab berucap, tidak ada Islam tanpa jama’ah. Karena faktanya Islam tidak bisa tegak tanpa imamah jamaah.

Sebagai ormas, kita memperjelas nilai dasar perjuangan kita ini. Dan itulah jati diri Hidayatullah.

Jati diri Hidayatullah ada 6. Termasuk di dalamnya manhaj SW. Inti dari jati diri itu, ada pada manhaj SW itu.

Kita sebagai ormas, luar biasa banyaknya aturan yang harus diatur dengan AD/ART atau PDO. Berbagi hal seperti Munas, rakernas, Rakerwil, dan lainnya semua itu harus diatur dengan aturan-aturan tertulis.

Di Hidayatullah ada supra struktur, struktur, dan infra struktur. Ini yang kemudian melahirkan apa yang disebut dengan konsolidasi idiil, konsolidasi organisasi, dan konsolidasi wawasan.

Ini mungkin ceramah agak berat untuk santri, tapi tidak masalah insyaallah ikut saja, siapa tahu ada yang bisa menangkap isi ceramah ini .

Kerangka berhidayatullah itu ada jati diri, baru organisasi, baru kemudian program-program fisik ini. Jadi jati diri ini harus benar-benar dipahami seorang kader.

Jika ada guru yang rajin masuk kelas, tapi tidak rajin berhalaqah, ini masalah. Tidak tuntas jati diri (Hidayatullah) nya.

Orang masuk Hidayatullah sekarang berbeda rekrutmen atau alasan bergabung dibanding di masa dulu. Sudah beda rekrutmennya.

Coba saja liat Hidayatullah Makassar. Siapa yg masuk di Hidayatullah ini, ada saya, Ustad Majid, Ustad Suma dll, kita semua waktu itu sarjana, yang ditawari kerja di sana sini. Tapi kita memilih gabung Hidayatullah.

Dulu masuk Hidayatullah penuh dengan idealisme.. Tapi bagaimana dengan kader yang masuk sekarang. Ada yang masuk Hidayatullah karena sekolah, karena BMH. Atau masuk Hidayatullah karena sebagai karyawan dan lainnya.

Bukan masalah cara masuknya yang kita persoalkan, karena itu hal baik saja.

Tapi masalahnya bagaimana tarbiyah atau perkaderan ke guru, pegawai BMH, agar cara berfikirnya bisa sama dengan pengurus struktural. Agar cara berfikirnya bisa seperti DMW. Tidak sekedar menjadi guru dan karyawan saja.

Ukuran kekaderan di Hidayatullah, bukan dari pekerjaan. Tapi kader adalah orang yang tertarbiyah di Hidayatullah dan taat pada kepemimpinan, imamah jama’ah Hidayatullah. Kader tidak terkait dengan tempat tinggal dan pekerjaan.

Kader ini kemudian ikut marhalaqah dan aktif halaqah. Itu saja yang menjadi tolak ukur kekaderan.

Dulu, ada kesan kader Hidayatullah itu orang yang tinggal di kampus saja. Tetapi sekarang atau sejak jadi ormas definisinya sudah lain.

Mainstream Hidayatullah adalah tarbiyah dan dakwah. Tarbiyah itu pendidikan formal dan halaqah, dakwah itu untuk kaffatan linnas wa rahmatan lilalamin.

Salah satu kebijakan strategis Silatnas lalu adalah mendirikan rumah Al Quran, yang kemudian pimpinan umum menyebutkan bahwa Rumah Qur’an adalah episentrum gerakan Hidayatullah.

Bagaimana cara supaya gerakan ini lebih lincah, tidak menguras energi untuk struktur dan infrastruktur semata. Maka kebijakan kita cukup satu pesantren pada satu kabupaten. Tidak usah bikin banyak. Yang perlu diperbanyak itu Rumah Qur’an.

Dengan Rumah Qur’an ini, pergerakan kita jadi lebih cepat. RQ ini gerakannya lebih mudah dan cepat. Gerakan RQ akan menguatkan mainstream tarbiyah dan dakwah.(*)

Disarikan dari taujiyah lailatul ijtima di Majid Umar Al Farouq, Ahad 10/12/2023 oleh Sarmadani Karani.



BACA JUGA