Selasa, 24 Oktober 2023 | 06:24 Wita

Pilpres 2024, Berharap Rahmat Allah Lewat Anies

Editor: Humas Yayasan Al Bayan Hidayatullah Makassar
Share

Oleh : Dr Abdul Aziz Qahhar M MSi, Anggota DPD/MPR-RI 2004-2018

OPINI, HidayatullahMakassar.id — Anies Rasyid Baswedan adalah tokoh politik fenomenal. Ia menjadi tokoh politik nasional yang sangat menonjol, walapun ia non partisan, belum pernah bergabung menjadi anggota partai politik.

Bahkan kini ia menjadi salah seorang bacapres Pilpres 2024 dari tiga partai; Nasdem, PKS dan partai pendukung lainnya, di tengah sulitnya menjadi capres karena tingginya Presidential Treshold (PT), 20 persen.

Sebagai bacapres, setiap kali Anies berkunjung ke daerah untuk sosialisasi, massa pendukung atau simpatisan secara sukarela dan spontanitas tumpah ruah berjubel menghadiri acara Anies. Tidak ada kandidat lain yang disambut seperti itu.

Ada yang mengatakan, setelah Soekarno hanya Anies yang bisa mengumpulkan massa sampai puluhan atau ratusan ribu orang di daerah tanpa mobilisasi dan tanpa biaya.
Namun sebagai bacapres, dibalik dukungan rakyat yang sangat besar, justeru Anies menghadapi tantangan yang sangat besar.

Jalannya berliku, mendaki dan terjal. Telah kita lihat saat menunggu waktu pendaftran capres Oktober, ia dan partai pendukungnya terus diganggu supaya batal jadi capres. Dalam soal ini, sebelumnya masih banyak pihak yang ragu apakah Anies bisa mendaftar menjadi capres.

Bahkan karena besarnya kekuatan yang mengganggu dan menggunakan segala cara, banyak yang yakin Anies akan bisa resmi jadi capres. Anies adalah bacapres yang dianggap musuh utama dan tidak diinginkan oleh rezim penguasa dan oligarki untuk menjadi presiden.

Saat ini Anies telah mendaftar sebagai bacapres, sebagian pihak memperkirakan dia akan berhadapan dengan gempuran kekuatan sumberdaya dari lawan politik; dukungan dari penguasa dan dana dari oligarki yang unlimited untuk capres lawan politik Anies.

Jokowi sendiri sebagai presiden, jauh hari dengan terus terang tanpa rasa malu telah menyatakan akan cawe-cawe, tidak akan netral di pilpres 2024. Artinya dia akan menggunakan kekuasaan untuk mendukung lawan tanding Anies.

Di tengah kondisi politik yang demikian, penulis teringat dan membayangkan tiga momentum politik bangsa yang pernah terjadi, dan berharap spiritnya kembali terulang pada pilpres 2024 dan mengundang rahmat untuk ummat dan bangsa.

Pertama, Proklamasi kemerdekaan. Proklamasi kemerdekaan Negara Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945 sesungguhnya bukanlah hadiah sukarela dari Jepang. Juga bukan karena para pejuang kemerdekaan mengalahkan Jepang dengan perang bersenjata.

Jepang menjanjikan kemerdekaan Indonesia karena terdesak dalam Perang Dunia II. Dan karena musibah bom atom di Hirosima dan Nagasaki membuat lumpuh dan menyerah, maka proklamasi kemerdekaan pun lebih cepat dari yang dijanjikan Jepang.

Mungkin itu sebabnya muncul kesadaran spiritual para founding fathers sehingga mengabadikan suatu kalimat pada pembukaan UUD 1945 yang berbunyi “Atas berkat Rahmat Allah Yang Mahakuasa…”.

Menurut suatu sumber, Soekarno mempercayakan kepada KH Agus Salim untuk menulis naskah teks pembukaan UUD 1945. Maka wajar jika kalimat di atas dicantumkan, mengingat Agus Salim adalah seorang ulama dan intelektual muslim.

Menariknya, Soekarno dan tokoh-tokoh founding fathers lainnya juga setuju dengan kalimat tersebut.

Setahun sebelumnya proklamasi kemerdekaan, tepatnya 7 September 1944, Perdana Menteri Jepang, Kuniaki Koiso, dalam pidatonya menyampaikan bahwa Kekaisaran Jepang menjanjikan Indonesia merdeka. Hal ini kemudian ditindaklanjuti dengan pembentukan Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK), atau Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai, pada 29 April 1945.

Dalam Badan bentukan Jepang inilah para tokoh bangsa membahas tentang dasar negara dan UUD untuk persiapan Indonesia merdeka.

Jatuhnya bom atom pasukan sekutu di Hirosima pada 6 Agustus dan Nagasaki pada 9 Agustus 1945 menjadi “kiamat” bagi Jepang. Jepang menyerah bertekuk lutut pada tentara sekutu.

Sebaliknya, peristiwa ini justeru menjadi berkah besar dan rahmat bagi bangsa Indonesia. Melihat kondisi Jepang yang tidak berdaya lagi maka para tokoh bangsa founding fathers bergerak cepat segera melakukan proklamasi kemerdekaan.

Untungnya, BPUPK dapat bekerja dengan cepat dan telah merampungkan tugas merumuskan dasar negara dengan hasil yang disebut “Piagam Jakarta”, disepakati pada 22 Juli 1945 (walaupun kemudian PJ diubah menjadi Pancasila pada 18 Agustus 1945).

Peristiwa kedua yang juga menjadi rahmat bagi bangsa Indonesia, terutama ummat Islam, adalah pembubaran PKI (Partai Komunis Indonesia). Ideologi komunis telah hadir di Indonesia sejak masa awal pergerakan, jauh sebelum proklamasi kemerdekaan.

Seorang aktivis komunis di Belanda, JFM. Sneevliet, datang ke Indonesia menyebarkan paham komunisme dan mendirikan ISDV (Indische, Sosiaal Democrtiche Vereniging) pada 1914. Kehadiran Sneevliet dan ISDV yan progresif cukup mengundang simpati terutama pada sebagian aktifis muda sehingga ideologi komunis berkembang signifikan, terutama di Jawa.

Bahkan kader utama didikan Sneevlet, Semaun, mendirikan PKI (Persikatan Komunis Indoonesia) pada 1920.
Pengaruh ideologi sosial-komunis tidak hanya sampai disitu. Karena adanya “titik temu” pemikiran dan pemihakan kepada rakyat kecil dan masyarakat tertindas, ideologi komunis bahkan sempat merasuk kedalam organisasi Syarikat Islam (SI).

Sedemikian signifikan infiltrasinya sehingga melahirkan apa yang kemudian disebut SI merah, yakni SI yang berhaluan komunis. Untung SI cepat bertindak.

Melihat penyusupan tersebut, pemimpin SI, Cokroaminoto menegakkan disiplin dan membersihkan kepengurusan SI dengan memecat sejumlah pengurus yang berhaluan komunis seperti Semaun dan Darsono pada Kongres SI ke-6 di Madiun, 1923.

Walaupun pernah diperangi secara besar karena melakukan pemberontakan di Madiun pada 1948, ternyata PKI tetap eksis dan ikut mendaftarkan diri sebagai partai peserta pemilu 1955. Hasil pemilu 1955 menempatkan PKI sebagai salah satu dari empat partai besar dengan perolehan suara 15,4 persen. Suara terbanyak diraih PNI 22,3 persen, disusul Masyumi 20,9 persen dan NU 18,4 persen.

Pemilu 1955 adalah pemilu yang sangat ideologis. Dewan Konstituante hasil pemilu 1955 kembali membahas soal ideologi negara: tetap Pancasila atau negara Islam. Suatu perdebatan yang dulu di BPUPK pada dasarnya sudah mencapai titik temu dengan Piagam Jakarta.

Persoalan ini kembali mencuat karena ada kekecewaan atau ketidakpuasan bagi sejumlah tokoh Islam dimana Piagam Jakarta yang telah disepakati atau biasa disebut “gentlemen agreement” di BPUPK pada 22 Juli 1945, kemudian diganti atau diubah menjadi Pancasila sehari setelah proklamasi kemerdekaan.

Seperti diketahui bahwa sila pertama pada PJ berbunyi “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Tujuh kata pada sila pertama PJ ini dihapus dan diubah menjadi “Ketuhanan Yang Mahaesa,” yang kemudian menjadi sila pertama Pancasila.

Perdebatan ideologis di Konstituante berlangsung alot dan tak kunjung mencapai solusi karena komposisi partai Islam (Masyumi, NU, dll) yang mendukung negara Islam atau PJ, relatif seimbang dengan partai nasionalis (PNI, PKI, dll) yang mendukung Pancasila.

Komposisi kursi masing-masing pihak di Konstituante jauh dari kebutuhan dua pertiga suara untuk mengubah dan menetapkan konstitusi.
Melihat kondisi Konstituante yang “deadlock” maka Presiden Soekarno turun tangan dan mengeluarkan Dekrit Presiden pada 5 Juli 1959, menyatakan Kembali kepada UUD 1945, dengan dijiwai oleh Piagam Jakarta.

Tambahan kalimat “dijiwai oleh Piagam Jakarta” nampaknya dimaksudkan Soekarno bahwa Piagam Jakarta merupakan bagian tak terpisahkan dari Pancasila.
Dekrit Presiden memberikan peluang besar bagi Soekarno untuk memainkan peran politik yang lebih besar.

Dengan kewenangan yang dimiliki, Soekarno selanjutnya membentuk DPR-GR (Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong) sebagai lembaga perwakilan rakyat menggantikan Dewan
Konstituante hasil pemilu 1955.

Soekarno juga mengumandangkan apa yang disebutnya sebagai Demokrasi Terpimpin, sebagai antitesa dari demokrasi liberal ala Barat yang menurutnya tidak sesuai dengan budaya Indonesia.

Selain itu, untuk mengakomodir semua ideologi dan elemenn bangsa, Soekarno mendeklarasikan konsep Nasakom (Nasional, Agama, Komunis). Melihat kekuasaan yang sangat besar di tangan Presiden Soekarno, dan peluang yang diberikan kepada komunis, maka PKI terus mendekat dan berusaha masuk kedalam jantung kekuasaan Soekarno.

PKI bahkan “rela” melakukan “domestifikasi ideologi” dengan menerima Pancasila dan UUD 1945, ketika pemerintah melakukan pengaturan terhadap sistem kepartaian pada 1960, suatu hal yang pada dasarnya tidak sejalan dengan ajaran komunis.

Seiring perjalanan waktu, kekuasaan Soekarno semakin otoriter, dan menyingkirkan serta memberangus para pengkritik atau lawan-lawan politiknya. Untuk menguatkan posisinya, ia bahkan selalu menggaungkan bahwa revolusi belum selesai.

Pilihan bagi partai atau politisi hanya dua; mendukung dan bergabung akan mendapat posisi di kekuasaan, atau menolak dan mengkritik dengan resiko dibubarkan atau dipenjarakan.

Masyumi dibubarkan dan tokoh-tokohnya dipenjarakan. Sebaliknya PKI dan tokoh-tokohnya makin merapat pada kekuasaan dan menjadi “anak manis” Soekarno.

Singkat cerita, setelah PKI merasa sudah sangat kuat dan besar, apalagi lawan utamanya secara ideologis, Partai Masyumi sudah dbubarkan dan tokoh-tokohnya dipenjarakan, maka kini saatnya mengambil alih kekuasaan secara revosioner sebagaimana ajaran komunisme. Dan meletuslah G 30 S/PKI.

Tapi ternyata revolusi gagal. Gerakan revolusioner ini menjadi musibah besar bagi PKI, dan juga bagi Soekarno. PKI dibubarkan, para tokoh dan kader-kadernya banyak dieksekusi mati. Akibat G 30 S/PKI ini pula rezim Soekarno tumbang dan lahir Orde Baru.

Yang ingin dikemukan dari cerita di atas, andaikan kita bisa merekam dengan baik kondisi politik era Soekarno, khususnya dari 1960 sampai 1965, betapa kuatnya PKI dan ideologi komunisme, diback-up rezim kekuasaan dan memiliki jutaan kader yang militan.

Tidak terbayang bahwa kekuatan politik sedahsyat itu kemudian bisa tumbang dan hilang di panggung politik nasional.

Cerita ketiga, pilgub DKI Jakarta 2017. Berbeda dengan kisah pertama dan kedua, ini memang skala politiknya hanya lingkup provinsi, DKI. Namun demikian karena sebagai ibukota negara dan isu politik yang muncul dari peta politik calon pilgub bernuansa “SARA”, maka pertarungan politiknya menembus batas teritorial DKI, berskala nasional.

Cerita bermula ketika Jokowi berpasangan dengan Basuki Cahaya Purnama alias Ahok terpilih menjadi gubernur dan wakil gubernur pada 2012. Sejak terpilih jadi wagub, Ahok mulai mengumbar kata-kata kasar, di forum apapun, apalagi kepada bawahan.

Kata-kata kasar dan pedas Ahok semakin menjadi-jadi ketika ia diangkat menjdi gubernur pada 2014 karena Jokowi terpilih menjadi presiden. Jakarta menjadi makin gaduh karena mulut Ahok.

Kondisi politik makin panas karena persiapan menuju pilgub 2017, dimana Ahok tentu akan maju sebagai cagub. Akibat ulah mulutnya yang kasar ditambah latar belakang etnis China, muncul rasa sentimen pribumi dan “ummat Islam” sehingga banyak pihak menggalang kekuatan politik untuk menumbangkan Ahok pada pilgub 2017.

Tapi Ahok sangat kuat. Dia memiliki hampir semua sumber daya kekuatan politik: dukungan kekuasan baik di DKI maupun pemerintah pusat, partai politik, dan dukungan dana para taipan.

Hampir semua lembaga survey juga memenangkan Ahok dengan selisih sangat besar dari bakal calon lain.
Tapi Ahok akhirnya kena “musibah”. Pada suatu kunjungan kerja sebagai gubernur di Pulau Seribu, 27
September 2015, ia mengomentari QS Al-Maidah ayat 51 yang dikatakannya diskriminatif dalam politik.

Sialnya, ada yang merekam dan videonya viral menyebar luas. Ummat Islam marah dan Ahok dituntut ke ranah hukum. Tapi sebagai pejabat dan di-back-up kekuasan besar, tidak mudah menyeret Ahok ke meja hijau.

Kondisi ini semakin menyulut resistensi dan menjadi “kayu bakar” untuk melakukan protes atau demonsrtasi. Dengan dipimpin langsung ulama kharismatik Habib Rizieq Syihab massa tumpah ruah melalui Gerakan 411 dan kemudian 212.

Dengan tekanan massa yang sangat besar (konon jumlah massa pada demo 212 berjumlah sekitar 7 juta orang, suatu jumlah massa terbesar sepanjang sejarah Indonesia) akhirnya Ahok dinyatakan tersangka dan kemudian divonis penjara dua tahun.

Walaupun kemudian Ahok tetap ikut kontestasi pilgub sekeluar dari penjara, kekuatan politiknya sudah jauh melemah. Ini menjadi rahmat dan berkah bagi lawan politiknya.

Singkat cerita Anies muncul, diusung PKS dan Gerindra. Sentimen “anti Ahok” dan eforia 212 menjadi berkah bagi Anies. Ia terpilih jadi gubernur dengan biaya minim. Walaupun Ahok didukung penuh oleh penguasa dan pendanaan unlimited dari oligarki, ia tidak mampu mengalahkan dukungan masyarakat dan gerakan relawan Anies yang sangat militan.

***

Tiga kisah peristiwa politik di atas pada dasarnya memiliki kesamaan spirit: ada idealisme dan militansi dari para pejuang dan kelompok tertindas (mustadh’afin) untuk melawan kezaliman, adanya musibah yang melemahkan kezaliman atau orang zalim, dan turunya Rahmat atau pertolongan Allah kepada para pejuang demi ummat dan bangsa.

Semoga pilpres 2024 menjadi peristiwa yang keempat melalui capres Anies, sebagaiman peristiwa ketiga terjadi juga melalui Anies.
Wallahu musta’an.(*)



BACA JUGA