Sabtu, 18 April 2020 | 07:23 Wita

Covid19 dan Tauhid

Editor: Firman
Share

Oleh : Dr Ir Andi Aladin MT IPM, Dosen Filsafat Ilmu Islami PPs UMI Makassar

HidayatullahMakassar.id — Salah satu landasan kebenaran menurut epistomologi filsafat barat dan filsafat sekuler adalah emperisme. Menurut paham ini, kriteria kebenaran adalah hal-hal yang sifatnya empirik, yang faktuil, yang dapat dibuktikan secara eksprimen, yang dapat dialami atau singkat kata yang dapat dindrawi.

Bagaimana membedakan uang kertas asli dari yang palsu, dapat dilakukan dengan cara sederhana yaitu dilihat, diraba dan terawang. Ini contoh pembenaran uang asli atau palsu dengan metode pendekatan empirik, menggunakan indra mata dan indra peraba.

Orang yang berpaham emperisme ansih tidak dapat diajak berdiskusi tentang kebenaran yang sifatnya ghaib (yang tidak terjangkau oleh indra), misalnya kebenaran tentang ada kehidupan akhirat, ada surga dan neraka, ada azab dan nikmat kubur, ada iblis dan malaikat.

Sesuatu yang dapat dindrawi berarti materi, maka istilah lain emperisme adalah materialisme. Paham emperisme atau materialisme dipelopori oleh Thomas  Hobbes, John Locke, Berkeley dan David Hume dan kawan-kawan.

Kaum emperisme sudah ada sejak dahulu kala, misalnya dapat dilihat pada kisah ummat Nabi Musa allaihi wa sallam, mengapa mereka tidak membenarkan adanya Tuhan?, tercatat di dalam kitab suci :

وَإِذْ قُلْتُمْ يَا مُوسَىٰ لَنْ نُؤْمِنَ لَكَ حَتَّىٰ نَرَى اللَّهَ جَهْرَةً فَأَخَذَتْكُمُ الصَّاعِقَةُ وَأَنْتُمْ تَنْظُرُونَ

“Dan (ingatlah), ketika kamu (kaum nabi Musa)  berkata: “Hai Musa, kami tidak akan beriman kepadamu sebelum kami melihat Allah dengan terang, karena itu kamu disambar halilintar, sedang kamu menyaksikannya” (QS Al Baqarah: 55)

Ummat Nabi Musa tidak bisa membenarkan adanya Tuhan sebab Tuhan tidak dapat dilihat, atau diraba atau di terawang dengan indra mereka. Pembenaran dengan kriteria seperti ini disebut emperisme. 

Padahal sebetulnya, bukannya Tuhan (baca: Allah aja wajalla) tidak dapat memperlihatkan diriNya, namun manusialah dari sisi kemanusian dengan kemampuan indra dan rasio yang mata terbatas yang tidak mampu melihat Allah. Jangankan wajah Allah, matahari pun sebetulnya mata manusia tidak mampu menatapnya  atau menerawangnya dengan mata telanjang secara gamblang di siang hari bolong, apalagi ingin merabanya atau mendarat di matahari.

Namun ada cara lain untuk membenarkan adanya matahari tanpa harus melihat atau meraba matahari yaitu melalui fenomena keberadaan matahari seperti adanya sinar dan energi yang dipancarkan.

Ibarat pepatah “Ada asap ada api”, dengan melihat asap membumbung tinggi di kejauhan cukuplah bukti untuk membenarkan bahwa di kejauhan itu ada api, sekalipun apinya tidak tampak dengan mata telanjang kita.

Yang pasti bahwa kebenaran adanya matahari tidak dapat dibantah atau dinistakan hanya karena ketidakmampuan mata melihat matahari secara gamblang atau ketidakmampuan fisik kita mendarat di matahari. 

Maka demikian pulalah kebenaran adanya Tuhan tidak bisa dibantah hanya karena ketidakmampuan mata melihat wujud Tuhan, sebagaimana dijelaskan dalam firmanNya:

لَا تُدْرِكُهُ الْأَبْصَارُ وَهُوَ يُدْرِكُ الْأَبْصَارَ ۖ وَهُوَ اللَّطِيفُ الْخَبِيرُ 

“Dia (Allah) tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, Sedang Dia dapat melihat segala penglihatan itu dan Dialah Yang Maha Halus lagi Maha Mengetahui”. (Al An’am: 103).

Membenarkan adanya Allah ta alla sesungguhnya amatlah mudah dengan memperhatikan fenomena keberadaanNya, yaitu fenomena adanya ciptaan (mahluk) sebagai bukti nyata adanya pencipta (Khalik) yang didefiniskan sebagai Tuhan dengan nama resminya Allah.

Tulisan opini ini sendiri tersusun dari huruf-huruf, menyusun kata menyusun kalimat menjadi satu tulisan opini, dimana  rasio sederhana kita mengakui bahwa opini ini tidaklah mungkin tersusun begitu saja, tetapi pastilah ada yang memikirkan dan menyusunnya sekalipun yang orang yang menulisnya tidak nampak dihadapan kita.

Bangunan rumah yang kita tempati dengan mudah kita pahami bahwa pastilah ada tukang atau arsiteknya yang membangunnya sekalipun mereka tidak pernah kita lihat dengan mata telanjang.

Lantas bagaimana dengan penulis dan arsitek itu sendiri, bagaimana bumi dan langit ini?, maka rasio anak kecil pun dapat menerima bahwa ada penciptanya, sekalipun penciptanya tidak dapat dilihat dengan indra mata.  

Metode mengenal kebenaran berlandaskan kaedah membenarkan sesuatu berdasarkan fenomena keberadaan sesuatu itu, sesungguhnya sudah diaplikasikan oleh para scientis sejak dahulu, termasuk oleh scientis ateis yang menyangkal kebenaran adanya Tuhan itu.

Ahli kimia/fisika Ernest Rutherford misalnya meyakini kebenaran bahwa materi tersusun dari atom dimana atom tersusun dari muatan positif yang disebut proton, padahal Rutherford dan kita semua mungkin sampai dunia kiamat kita tidak akan pernah mampu melihat wujud proton itu, yang diprediksi ahli kimia/fisika ukurannya amat halus dengan massa amat ringan 1,6726217 × 10^-24  g atau dengan jari-jari amat pendek 2×10^-14 m.

Namun kenapa mereka bisa meyakini adanya proton tersebut? Ya, yaitu melalui fenomena adanya proton yang bermuatan positif yang berinteraksi tarik menarik dengan elektron yang bermuatan negatif yang juga lagi-lagi tidak mampu dilihat mata telajang sekalipun menggunakan mikroskop tercanggih hingga saat ini yang hanya mampu pembesaran sampai dalam sekala juta (10^6).

Kalau para scientis ateis tersebut dapat menerapkan kaedah di atas sehingga mereka meyakini ada proton dan elektro, maka pertanyaannya adalah kenapa dengan kaedah yang sama mereka tidak bisa terapkan untuk meyakini adanya Tuhan? Bahwa Tuhan dengan mudah dikenal dengan fenomena adanya ciptaan langit bumi, serta mahluk hidup maunsia itu sendiri. Allah memperkenalkan diriNya melalui fenomena ciptaanNya:

إِنَّ فِى خَلْقِ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضِ وَٱخْتِلَٰفِ ٱلَّيْلِ وَٱلنَّهَارِ لَءَايَٰتٍ لِّأُو۟لِى ٱلْأَلْبَٰبِ 

“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal “(QS Ali Imran:190).

Maka disinilah kaum ateis tidak konsisten dalam penerapan epistomologi untuk mengenal kebenaran. Proton mereka yakini ada, tapi Tuhan mereka sangkal.

Tidak perlu terlalu jauh dengan proton yang amat halus ukuran dan massanya itu, saat ini (th 2020) seluruh dunia dilanda wabah dengan adanya virus yang diyakini namanya  korona dengan nama lengkap    Corona Virus Disease muncul tahun 2019 alias covid19.

Virus dengan ukuran yang cukup halus walaupun jauh lebih besar dari proton, tetapi yang pasti covid 19 tidak akan pernah mampu dilihat oleh mata telanjang manusia. Ya, hanya dapat dilihat di bawah mikroskop tetapi itupun juga hanya dengan penglihatan sebatas digambarkan wujud bola berduri-duri, yang tidak mampu dibedah dan dianalisis lebih jauh struktur tubuh virus sebagimana kita misalnya mebedah tubuh kelinci atau tikus percobaan.

Namun pertanyaannya kenapa para ilmuan meyakini adanya virus Covid19 tersebut, dan kita pun orang “awam” ikut-ikutan meyakini adanya virus Covid19?

Kita yakini adanya virus Covid19 melalui fenomena keberadaan korona, yang mampu menggerogoti tubuh manusia dan menular begitu cepat, dengan indikasi yang tampak dilihat dan dirasakan yaitu berupa sakit hingga mematikan, sekalipun terkadang banyak juga erornya vonis kita terhadap kematian seseorang gegabah dituduh Covid19 penyebabnya, yang terbukti kemudian hari analisis laboratorium menunjukkan negatif Covid19, tetapi oleh sebab-sebab lain atau kombinasi dengan sebab lain. 

Seharusnya fenomena Covid19 sudah bisa menyadarkan kita semua, khususnya kaum ateis bahwa membenarkan sesuatu tidak hanya harus dengan pendekatan emperisme ansih, tidak harus diindra dengan mata telanjang sebab memang mata kita amat terbatas melihat obyek secara langsung. Tetapi ada cara lain yang nilai validitasnya bahkan terkadang lebih akurat dari pengamatan indra itu sendiri yaitu yang telah disebutkan di atas, berdasarkan kaedah fenomena keberadaan sesuatu.

Maka sekali lagi begitulah kaedah yang harusnya diterapkan untuk mengenal adanyanya Tuhan. Covid19 sebetulnya ibarat sosok “guru” yang telah mengajarkan (menyadarkan) kita mengenal Tuhan, Allah ta alla.  Covid19 pun “memberi pelajaran” yang amat berharga tentang Tauhid, yaitu bahwa di alam ini pastilah ada kausa prima, ada penyabab utama, ada pencipta utama, itulah Tuhan yang Esa, Allah subhana wa ta alla. 

Kalau dengan Covid19 bisa menyadarkan kita tentang ada Tuhan (Allah ta alla), maka tidak cukup sebatas pengakuan itu, tetapi konsekuensinya adalah hendaknya kita menghadapi problem wabah Covid sesuai pentunjuk Allah itu sendiri, seperti penulis telah bahas pada beberapa opini sebelumnya tentang Covid19.

Tidaklah cukup menghadapi wabah Covid19 hanya dengan pendekatan rasio dan/atau emperik ansih (ayat qauniyah), tapi perlu dan bahkan utama dengan pendekatan wahyu (ayat kauliyah). Penyelesaian problem wabah Covid19 dengan pendekatan rasio dan empiric sebagaimana yang dilakukan ornag-orang tidak beriman (ateis) atau orang-orang sekuler (orang beriman pada Tuhan tetapi mengabaikan atau menomorduakan petunjuk wahyu) hanyalah penyelesaian sifatnya parsial, tidak komprehensif dan tidak menyentuh akar persoalan yang sesungguhnya, sehingga tidak menutup kemungkinan covid gnerasi akan bermunculan. 

Apa akar persoalan sebetulnya? Wabah virus Covid sebagaimana wabah-wabah dan musibah yang lalu-lalu sejak ummat Nabi Nuh alaihi wa sallam mendapat musibah banjir atas dosa dan pembangkangan ummat saat itu yang sudah kelewat batas, musibah ummat nabi Luth dengan dosa homoseksual kaum Luth (QS Al Araf:80, Huud: 82), hingga sekarang musibah wabah covid19 itu semua karena dosa-dosa manusia dan ulah manusia yang sudah melampau keseimbangan alam dan kemanusian yang meperturutkan hawa nafsu hewani, bahkan lebih sesat lagi dari perilaku hewan.

Inilah yang tersirat dalam pernyataan Allah dalam al Quran:

وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ

“Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu)”. (QS al-Syura;30).

Jadi akar persoalan cukup gamblang disebutkan dalam ayat di atas, maka penyelesaian yang subtansi adalah memberantas virus-virus syirik dan nafsu hewani pada manusia dalam bersikap dan berprilaku, diawali dengan TOBAT seperti solusi yang dianjurkan oleh sahabat mulia Rasulullah saw sekaligus menantu beliau saw, yaitu Ali ra:

مَا نُزِّلَ بَلاَءٌ إِلاَّ بِذَنْبٍ وَلاَ رُفِعَ بَلاَءٌ إِلاَّ بِتَوْبَةٍ

“Tidaklah musibah tersebut turun melainkan karena dosa. Oleh karena itu, tidaklah bisa musibah tersebut hilang melainkan dengan taubat” 

Solusi Tobat dengan komitmen kuat untuk kembali kepada menaati hukum-hukum Allah baik dalam bentuk hukum alam maupun dalam bentuk syariatNya (addinul islam) dalam mengatur kehidupan. Demikian solusi dalam mengatasi segala persoalan hidup menjadi manusia berTAUHID, beriman dan bertaqwa kepadaNya, sebagaiaman jaminan Allah swt:

وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَىٰ آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ وَلَٰكِنْ كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ

“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya” (QS. Al Araf: 96)

Wallahu wa’lam.■



BACA JUGA