Selasa, 6 Oktober 2020 | 05:26 Wita

Patok Merah dan Salo’ Tellu

Editor: Firman
Share

Hidayah di Hidayatullah (2). Oleh : Sarmadani Karani, Ketua Yayasan Madinatul Izzah Mubarak, Hidayatullah

HidayatullahMakassar.id — Sebelum banyak cerita tentang hidayah Allah di Hidayatullah, mau ta’aruf dulu, mungkin banyak yang belum kenal. Apalagi waktu itu masih santri baru.

Kenalkan, Sarmadani, anak Patok Merah, Manggar. 4 Agustus 1979 tepatnya hari Selasa, tanggal lahirku. Bapak, H Karani, imam di masjid Dakwaturrahin, Patok Merah. Ibu, Hj Sawiah, almarhumah. Sosok ibu yang senantiasa mendukung menjadi santri di Hidayatullah, nanti akan ada cerita sendiri tentang ibunda tercinta ini.

Satu kilometer dari Patok Merah ini, ada kampung kecil, yang namanya Salo’ Tellu. Salo’ Tellu itu bahasa Bugis, kalau di Indonesia-kan, salok tiga. Di Salo’ Tellu ini, ada Masjid Tajril Muhajirin. Tokohnya saat itu, ada almarhum Pak Sangka. Kalau di Patok Merah, ada juga Pak Made. Orang Sinjai yang getol membantu dakwah Hidayatullah di kampung ini.

Di dua kampung ini, Patok Merah dan Salo’ Tellu, juga di dua masjid ini, Dakwaturrahin dan Tajril Muhajirin, adalah dua desa dan masjid binaan dakwah Hidayatullah, sejak tahun 80-an.

Setiap sore hari, menjelang sholat Ashar, datanglah anak-anak muda dari Hidayatullah, berotot kekar dan berwajah tampan, untuk mengajar mengaji di masjid Dakwaturrahin ini. Mereka mengajar mengaji, juga ilmu Diniyah, usai sholat Ashar berjamaah. Kadang juga diselingin dengan kisah-kisah nabi dan rasul.

Dari situ, saat masih duduk di kelas tiga SD. N 023, Manggar, saya mulai mengenal Hidayatullah. Mengenalnya dari ustad-ustad muda yang datang untuk mengajarkan kami tentang Islam.

Setiap sore, Masjid Dakwaturrahin ini ramai. Kalau ada Ustad tampan dari Gunung Tembak (Gutem), anak-anak kecil berhenti main lompat tali, berhenti main kelereng, berhenti main layangan, berhenti main asinan, berhenti main gaplek, semua berhenti, untuk kumpul di masjid, ikut belajar, TPA (Taman Pendidikan Al Qur’an). Durasi belajarnya, dari sholat Ashar, hingga masuk waktu Maghrib. Setelah Magrib mereka pulang, kembali ke kampus Gutem.

Masjid Dakwaturrahin, juga menjadi tempat langganan Khatib Jumat dari Hidayatullah. Bahkan, katanya, tidak sedikit dari ustad di Hidayatullah yang pintar khutbah Jum’at dari mimbar masjid ini. Di Dakwaturrahin, dari dulu, sejak tahun 1980-an, hingga kini, khatib Jumatnya langganan dari Hidayatullah. Di Dakwaturrahin ini, seakan Hidayatullah menyatu dengan masyarakat.

Dulu, para da’i yang mau khutbah di tempat ini, harus berjalan kaki, sejauh satu kilometer, dari jalan raya. Sehingga, untuk bisa sampai tepat waktu di Dakwaturrahin, mereka harus berangkat pukul 9 pagi. Waktu itu, angkot atau taksi pun masih kurang. Juga nanti ada angkot di Pasar Gunung Tembak. Artinya harus jalan kaki dulu satu kilo, baru naik angkot, sejauh 13 km, setelah itu jalan kaki lagi, 1 km, menyusuri jalan yang berlumpur dicampur dengan jalan pengerasan batu gunung sebesar kelapa.

Apalagi yang mau khutbah Jum’at di Salo’ Tellu, mereka harus berangkat lebih cepat lagi, karena harus tambah lagi jalan kaki, hampir dua kilometer lagi. Waktu itu, belum ada ojek, yang ramai masih monyet-monyet hutan yang menyambut para da’i di pinggir jalan.

Ada beberapa nama ustad muda dari Gunung Tembak yang masih saya ingat, yang mengajari saya TPA di tahun 1990 an. Ada Ustad Hamka, sekarang ketua DPD Hidayatullah di Parepare, Sulsel. Ada Ustad Affan Ghaffar kacamata. Ada Ustad Ridwan, Ustad Masykur, dan masih banyak lagi Ustad lain yang saya tidak bisa sebut namanya satu persatu, yang jelas banyak.

Belakangan saya ketahui, setelah masuk pesantren, ternyata mereka adalah santri Kuliah Muballighin dan Muballighat (KMM), yang tugasnya bekerja sebagai tukang di pagi hingga siang, sore harinya mereka keluar untuk gerakan dakwah dan tarbiyah di desa-desa binaan Hidayatullah.

Ada juga beberapa ustad senior, yang sering silaturahim ke rumah, untuk jumpa dengan Bapak, misalnya Ustad Sudirman Ambal, Ustad Tholib, Ustad Sarbini, juga Puang Baking, karena fada-fada tau Sinjai lo…. Ya mereka, ustad-ustad itu yang mengenalkan pada Hidayatullah, untuk bisa membuat juga jatuh cinta padanya.

Liburan Sabtu Ahad di Gunung Tembak

Dulu, sering kami datang menginap di Hidayatullah. Mungkin saat masih duduk di kelas 4 atau 5 SD. Kami diajak bermalam Minggu di Gunung tembak. Dengan beberapa santri TPA yang lain. Jadi sejak kecil, saya sudah dikenalkan dengan dunia santri.

Masih segar diingatan, sumur besar, lahan jeruk nipis, asrama PDI (sekolah setingkat SD) dari kayu, dan kelas-kelas yang juga terbuat dari kayu. Waktu itu, seingat saya, ada asrama kayu di sisi selatan lapangan sepak bola. Di sisi utara, ada penjahitan yang dikelola oleh Pak Rahmat Tolitoli.

Dari situ, dari ikut-ikuan belajar di masjid, bersabtu malam Ahad di Gunung Tembak, hingga mengikuti acara Muharram, silaturahmi nasional, hingga nikah massal 40 dan 61 pasang (1994), yang dihadiri oleh Wapres BJ. Habibie, semua saya ikuti, meski belum jadi santri. Tapi, dari situlah, perkenalan itu, bibit cinta untuk berjamaah mulai tumbuh.

Interaksi itu, membuahkan hasil. Tamat dari SMPN 8 Manggar, saya melanjutkan pendidikan di MA Radhiyatan Mardiyah, Hidayatullah Pusat Balikpapan.

(وَأَقِیمُوا۟ ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتُوا۟ ٱلزَّكَوٰةَ وَٱرۡكَعُوا۟ مَعَ ٱلرَّ ٰ⁠كِعِینَ)

“Dan laksanakanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan rukuklah beserta orang yang rukuk.” [QS.Al-Baqarah 43].■ Bersambung.



BACA JUGA