Selasa, 12 Mei 2020 | 19:46 Wita

Panduan Ringkas I’tikaf

Editor: Firman
Share

Oleh: Abdul Qadir Mahmud, M.A, Kepala Departemen Tarbiyah Yayasan Al Bayan Hidayatullah Makassar

HidayatullahMakassar.id — I’tikaf merupakan salah satu ibadah yang disyari’atkan dalam bulan Ramdhan pada 10 akhir Ramadhan. Berikut ini ulasan ringkas seputar I’tikaf.

Defenisi I’tikaf

I’tikaf secara bahasa bermakna الإحتباس yang bermakna memenjerakan atau حبسُ النَّفْسِ  yang berarti menahan diri. Adapun secara istilah adalah:

 الْمُكْث فِي الْمَسْجِد لعبادة الله مِنْ شَخْص مَخْصُوص بِصِفَةٍ مَخْصُوصَة

“Berdiam diri di dalam masjid untuk beribadah kepada Allah yang dilakukan oleh orang tertentu dengan tata cara tertentu”  

Dalil Pensyari’atan

a). Dalil dari Al-Qur’an

وَلا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ

“(tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri’tikaf dalam masjid.” (Al Baqarah: 187).

b). Dalil dari Hadits

Hadits dari Abu Hurairah, ia berkata,

كَانَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – يَعْتَكِفُ فِى كُلِّ رَمَضَانَ عَشْرَةَ أَيَّامٍ ، فَلَمَّا كَانَ الْعَامُ الَّذِى قُبِضَ فِيهِ اعْتَكَفَ عِشْرِينَ يَوْمًا

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa beri’tikaf pada bulan Ramadhan selama sepuluh hari. Namun pada tahun wafatnya, Beliau beri’tikaf selama dua puluh hari”.[HR. Bukhari]

Demikian juga hadits ‘Aisyah, ia berkata,

أَنَّ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – كَانَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللَّهُ ، ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beri’tikaf pada sepuluh hari yang akhir dari Ramadhan hingga wafatnya kemudian isteri-isteri beliau pun beri’tikaf setelah kepergian beliau.”[HR. Bukhari-Muslim]

Berdasarkan hadits di atas bahwa, waktu i’tikaf yang lebih afdhol adalah di akhir-akhir ramadhan (10 hari terakhir bulan Ramadhan).

Hukum

Hukum asal i’tikaf adalah sunnah (mustahab) berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam

إِنِّى اعْتَكَفْتُ الْعَشْرَ الأَوَّلَ أَلْتَمِسُ هَذِهِ اللَّيْلَةَ ثُمَّ اعْتَكَفْتُ الْعَشْرَ الأَوْسَطَ ثُمَّ أُتِيتُ فَقِيلَ لِى إِنَّهَا فِى الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ فَمَنْ أَحَبَّ مِنْكُمْ أَنْ يَعْتَكِفَ فَلْيَعْتَكِفْ ». فَاعْتَكَفَ النَّاسُ مَعَهُ

“Sungguh saya beri’tikaf di di sepuluh hari awal Ramadhan untuk mencari malam kemuliaan (lailat al-qadr), kemudian saya beri’tikaf di sepuluh hari pertengahan Ramadhan, kemudian Jibril mendatangiku dan memberitakan bahwa malam kemuliaan terdapat di sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan. Barangsiapa yang ingin beri’tikaf, hendaklah dia beri’tikaf (untuk mencari malam tersebut). Maka para sahabat pun beri’tikaf bersama beliau.”[HR. Muslim]

Ucapan Rasulullah yang memberikan pilihan kepada para sahabat untuk melaksanakan i’tikaf (Barangsiapa yang ingin beri’tikaf, hendaklah dia beri’tikaf). Menunjukkan bahwa i’tikaf pada asalnya tidak wajib.

Akan tetapi hukum i’tikaf menjadi wajib apabila seorang bernadzar untuk beri’tikaf berdasarkan hadits ‘Aisyah, beliau mengatakan bahwa nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda;

مَنْ نَذَرَ أَنْ يُطِيعَ اللَّهَ فَلْيُطِعْهُ

“Barangsiapa bernadzar untuk melakukan ketaatan kepada Allah, dia wajib menunaikannya.”[HR. Bukhari]

Dalam Fathul Bari’ Al Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani mengatakan, “I’tikaf tidaklah wajib berdasarkan ijma’ kecuali bagi seorang yang bernadzar untuk melakukan I’tikaf.” 

Tempat I’tikaf

Para ulama selanjutnya berselisih pendapat masjid apakah yang dimaksud. Apakah masjid biasa di mana dijalankan shalat jama’ah lima waktu ataukah masjid jaami’ yang diadakan juga shalat jum’at di sana?

Imam Malik mengatakan bahwa i’tikaf boleh dilakukan di masjid mana saja (asal ditegakkan shalat lima waktu di sana) karena keumuman firman Allah Ta’ala,

وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ

“Sedang kamu beri’tikaf dalam masjid”(QS. Al Baqarah: 187). 

Meskipun Imam Asy Syafi’i sependapat dengan Imam Malik. Namun Imam Asy Syafi’i  menambahkan syarat, yaitu masjid tersebut diadakan juga shalat Jum’at. Tujuannya di sini adalah agar ketika pelaksanaan shalat Jum’at, orang yang beri’tikaf tidak perlu keluar dari masjid.

Selanjutnya Ibnu Qudamah berkata; Kenapa disyaratkan di masjid yang ditegakkan shalat jama’ah? Oleh karena “Shalat jama’ah itu wajib (bagi laki-laki). Jika seorang laki-laki yang hendak melaksanakan i’tikaf tidak berdiam di masjid yang tidak ditegakkan shalat jama’ah, maka bisa terjadi dua dampak negatif: (1) meninggalkan shalat jama’ah yang hukumnya wajib, atau (2) terus menerus keluar dari tempat i’tikaf padahal seperti ini bisa saja dihindari. Padahal maksud i’tikaf adalah untuk menetap dalam rangka melaksanakan ibadah pada Allah. 

Waktu I’tikaf

I’tikaf boleh kapan saja, karena Rasulullah pernah i’tikaf pada bulan Syawal pengganti I’tikaf di bulan Ramadhan yang tidak sempat beliau lakukan sebagaimana yang diceritakan oleh Aisyah

وَتَرَكَ الِاعْتِكَافَ فِي شَهْرِ رَمَضَانَ حَتَّى اعْتَكَفَ فِي الْعَشْرِ الْأَوَّلِ مِنْ شَوَّالٍ

Dan beliau meninggalkan I’tikaf di bulan Ramadhan sehingga beri’tikaf di 10 hari awal di bulan Syawwal (H.R Muslim dari Aisyah). Akan tetapi, yang lebih ditekankan pada bulan Ramadhan, terutama pada sepuluh terakhir.

Batasan Waktu Minimal I’tikaf

Mengenai waktu minimal disebut i’tikaf terdapat beberapa pendapat di antara para ulama;

Pertama:  Dikatakan beri’tikaf jika berdiam di masjid dalam waktu yang lama atau sebentar walau hanya beberapa saat atau sekejap (lahzhoh). Pendapat ini dianut oleh jumhur (mayoritas) ulama. Demikian pendapat dalam madzhab Abu Hanifah, Asy Syafi’i dan Ahmad.

Kedua: I’tikaf cukup dengan hadir dan sekedar lewat tanpa berdiam (dalam waktu yang lama). Menurut pendapat ini, jika seseorang beri’tikaf dengan sekedar melewati suatu tempat seperti ia masuk di satu pintu dan keluar dari pintu yang lain, ketika itu ia sudah berniat beri’tikaf, maka sudah disebut i’tikaf. 

Ketiga: I’tikaf dianggap sah jika telah berdiam selama satu hari atau mendekati waktu itu.

Keempat: I’tikaf lebih dari separuh hari atau lebih dari separuh malam. Karena kebiasaan mesti dibedakan dengan ibadah. Jika seseorang duduk beberapa saat untuk menunggu shalat atau mendengarkan khutbah atau selain itu tidaklah disebut i’tikaf, haruslah ada syarat berdiam lebih dari itu sehingga terbedakanlah antara ibadah dan kebiasaan (adat). 

Selanjutnya di dalam al Fatawa al Kubra tercantum, “Abu al’Abbas (Ibnu Taimiyah) rahimahullah tidak mendukung pendapat yang menganjurkan agar seorang yang pergi ke masjid untuk shalat atau tujuan selainnya, berniat I’tikaf selama berada di dalam masjid waktu minimal seorang untuk ber-i’tikaf adalah setengah hari, dalam artian dia boleh ber-i’tikaf ketika siang hari, dari selepas shalat Subuh hingga matahari terbenam, atau dia boleh memulai ber-i’tikaf ketika malam, yaitu dari matahari terbenam hingga terbit fajar. 

Wanita Boleh Beri’tikaf

Hal ini didasarkan pada hadits Rasulullah dimana Beliau mengizinkan istri beliau untuk beri’tikaf.  ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata;

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَعْتَكِفُ فِى كُلِّ رَمَضَانَ ، وَإِذَا صَلَّى الْغَدَاةَ دَخَلَ مَكَانَهُ الَّذِى اعْتَكَفَ فِيهِ – قَالَ – فَاسْتَأْذَنَتْهُ عَائِشَةُ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam biasa beri’tikaf pada bulan Ramadhan. Apabila selesai dari shalat shubuh, beliau masuk ke tempat khusus i’tikaf beliau. Dia (Yahya bin Sa’id) berkata: Kemudian ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha meminta izin untuk bisa beri’tikaf bersama beliau, maka beliau mengizinkannya.”[HR. Bukhari]

Dalam hadits yang lain dari ‘Aisyah, ia berkata;

أَنَّ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – كَانَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللَّهُ ، ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beri’tikaf pada sepuluh hari yang akhir dari Ramadhan hingga wafatnya kemudian isteri-isteri beliau pun beri’tikaf setelah kepergian beliau.”[HR. Bukhari-Muslim]

Dalam Shahih Fiqhussunnah, disebutkan bahwa wanita boleh beri’tikaf di masjid asalkan memenuhi 2 syarat: (1) Meminta izin suami dan (2) Tidak menimbulkan fitnah (godaan bagi laki-laki) sehingga wanita yang i’tikaf harus benar-benar menutup aurat dengan sempurna dan juga tidak memakai wewangian. 

Kapan Mulai Masuk

Dalam hal ini ada dua pendapat;

Pertama; Ulama yang berpendapat bahwa orang yang hendak i’tikaf, disyariatkan memulai i’tikafnya setelah subuh di hari ke-21. ini berdasarkan riwayat dari Aisyah yang mengatakan:

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَرَادَ أَنْ يَعْتَكِفَ صَلَّى الْفَجْرَ ثُمَّ دَخَلَ مُعْتَكَفَهُ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila hendak i’tikaf, beliau shalat subuh kemudian masuk ke tempat khusus untuk i’tikaf beliau.” (HR. Bukhari Muslim)

Di antara ulama yang memilih pendapat ini adalah al-Auzai, ats-Tsauri, dan al-Laits dalam salah satu pendapatnya. Ini juga yang dipilih Lajnah Daimah (Majmu’ fatawa Lajnah Daimah) dan Imam Ibnu Baz.

Kedua; Orang yang hendak melakukan i’tikaf selama 10 hari terakhir Ramadhan dianjurkan memulai (baca: masuk masjid) setelah matahari terbenam di hari puasa ke-20. Ini adalah pendapat mayoritas ulama, alasan mereka adalah:

– Hadis yang menjelaskan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan i’tikaf selama 10 hari terakhir Ramadhan (HR. Bukhari dan Muslim). Riwayat ini menunjukkan bahwa i’tikaf dimulai malam hari, karena hari dalam hitungan Islam dimulai sejak terbenamnya matahari.

Sesungguhnya tujuan puncak seseorang melakukan i’tikaf adalah untuk mendapatkan lailatul qadar. Sementara malam ke-21 termasuk malam ganjil, sehingga mungkin saja itu lailatul qadar. Karena itu, seseorang dianjurkan melakukan i’tikaf ketika itu.

Pendapat yang lebih mendekati kebenaran dalam hal ini adalah pendapat jumhur (mayoritas ulama). Karena riwayat Aisyah di atas tidaklah menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memulai melakukan i’tikaf di pagi hari. Artinya, nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah mulai i’tikaf di malam hari, hanya saja beliau belum masuk tempat khusus untuk i’tikaf beliau (seperti bilik di dalam masjid). Beliau baru memasuki bilik itu setelah shalat subuh di pagi harinya.

Al-Imam An-Nawawi berkata: “Mayoritas ulama memahami hadits di atas, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk ke bilik i’tikaf, memisahkan diri, dan menyendiri setelah beliau melakukan shalat subuh. Bukan karena itu waktu mulai i’tikaf, namun beliau sudah tinggal di masjid sebelum maghrib. Setelah shalat subuh, beliau menyendiri.” (Syarh Shahih Muslim an-Nawawi). Pendapat ini juga yang dipegangi oleh Muhammad bin Shalih al ‘Utsaimin rahimahumallah

Kapan Keluar

Syaikh Muhammad bin Shalih al ‘Utsaimin dalam Majmu’ Fatawanya mengatakan, “Seorang yang beri’tikaf mengakhiri i’tikafnya apabila bulan Ramadhan telah berakhir, dan bulan Ramadhan berakhir ketika matahari terbenam pada malam ‘Ied

Sementara itu dalam al-Majmu’ Al-Imam An Nawawi rahimahullah mengatakan, “Asy Syafi’i dan murid-murid beliau mengatakan, “Barangsiapa yang ingin mengikuti tuntunan nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan, maka hendaknya dia memasuki masjid sebelum matahari terbenam pada malam ke-21 agar dia tidak terluput (untuk memperoleh Lailat al-Qadr).

Dan dia keluar dari masjid setelah terbenamnya matahari pada malam ‘Ied, baik bulan Ramadhan telah berakhir sempurna, atau tidak. Dan yang lebih afdhal, dia tetap tinggal di masjid (pada malam ‘Ied) sampai menunaikan shalat “Ied di masjid atau dia (tetap tinggal di masjid di malam ‘Ied) dan keluar dari masjid ketika hendak menuju tanah lapang untuk mengerjakan shalat ‘Ied, jika dia mengerjakannya disana.”

Yang Membatalkan

1. Keluar masjid tanpa alasan syar’i dan tanpa ada kebutuhan yang mubah yang mendesak.

2. Jima’ (bersetubuh) dengan istri berdasarkan Surat Al Baqarah ayat 187. 

Yang dimaksud mubasyaroh dalam surat Al Baqarah ayat 187 adalah jima’ (hubungan intim) sebagaimana ijma’ Ulama.

Yang Dibolehkan 

1. Keluar masjid disebabkan ada hajat yang mesti ditunaikan seperti keluar untuk makan, minum, dan hajat lain yang tidak bisa dilakukan di dalam masjid.

2. Melakukan hal-hal mubah seperti mengantarkan orang yang mengunjunginya sampai pintu masjid atau bercakap-cakap dengan orang lain.

3. Istri mengunjungi suami yang beri’tikaf dan berdua-duaan dengannya.

4. Mandi dan berwudhu di masjid.

5. Membawa kasur untuk tidur di masjid.

Anjuran Bagi Yang I’tikaf

Seseorang yang sedang I’tikaf hendaknya menyibukkan diri dengan melakukan ketaatan seperti berdo’a, dzikir, bershalawat pada Nabi, mengkaji Al Qur’an dan hadits. Dan dimakruhkan menyibukkan diri dengan perkataan dan perbuatan yang tidak bermanfaat.

وسل الله على نبينا محمد والحمد لله رب العالمين

*) Diringkas Dari Berbagai Sumber Tanpa Mengurangi Makna


Tags:

BACA JUGA