Minggu, 12 April 2020 | 04:59 Wita

Covid 19 dan Positivisme

Editor: Firman
Share

Oleh: Dr. Ir. Andi Aladin, MT., IPM, Dosen FTI UMI Makassar, Pengurus ICMI Sulsel

HidayatullahMakassar.id — Ada buku yang berjudul The True Power of Water ditulis oleh Masaru Emoto, seorang peneliti asal Jepang yang menyimpulkan bahwa air itu hidup dan dapat merespons apa yang disampaikan manusia padanya. 

Hasil riset Masaru Emoto menunjukkan bila kita bersikap positif dengan air, menyampaikan kata-kata dan perasaan yang positif, maka air pun mersepon dengan positif pula dengan cara menampakkan struktur molekul air yang apik dan teratur bagaikan penampakan berlian berpancarkan cahaya mengkilau yang amat indah. 

Begitu pun sebaliknya, jika kita berperasaan jengkel, sebel, disertai kata-kata negatif, hardikan, cacian misanya dengan kalimat  kamu “jelek”, “bodoh”, kamu musuh” dan sejenisnya, maka airpun merespon negatif pula dengan penampakkan struktur molekul air yang tidak teratur, tidak karuan, sangat tidak indah dilihat di bawah mikroskop.

Singkat kata, bahwa pelajaran berharga dari buku The True Power of Water tersebut adalah mari kita selalu berprasangka baik, berucap dengan kata-kata yang baik, sopan menyenangkan didengar orang lain. Tidak ada ruginya kita selalu bersikap positif dan berbuat baik terhadap orang lain, dan ini sesuai akhlaq Islam, misalnya Rasulullah SAW mengajurkan kita berwajah ramah dan murah senyum di depan saudara kita, bahkan senyum itu bernilai sedekah, Rasulullah saw bersabda:

‎تَبَسُّمُكَ فِي وَجْهِ أَخِيكَ لَكَ صَدَقَةٌ

‎“Senyummu terhadap wajah saudaramu adalah sedekah.” (HR. Tirmidzi).

Berbuat baik dan bersikap POSITIF kepada orang lain bahkan kepada mahluk lain dan lingkungan sekitar, maka kebaikan kita itu pada hakekatnya kembali pada diri kita, dan demikian sebaliknya, seperti tersurat dalam al Quran:

إِنْ أَحْسَنتُمْ أَحْسَنتُمْ لِأَنفُسِكُمْ ۖ وَإِنْ أَسَأْتُمْ فَلَهَا ۚ 

“Jika kamu berbuat baik (berarti) kamu berbuat baik bagi dirimu sendiri dan jika kamu berbuat jahat, maka (kejahatan) itu bagi dirimu sendiri” (QS. Al Isra: 7) 

Binatang buas sekalipun seperti harimau, ketika kita bersikap baik padanya dengan tulus dan kasih sayang, harimaupun potensi untuk bisa jinak dan bersahabat dengan kita, menolong kita saat dibutuhkan (https://www.youtube.com/watch?v=ZVZyjlBGygQ). 

Saat ini (2020) kita sedang mendapat ujian dari Allah swt berupa wabah menular dari “mahluk halus” ciptaan Allah subhana wa ta ala yang namanya korona atau COVID19. Ujian ini sebetulnya menuntut kita untuk bersabar tingkat tinggi dan intropeksi  terhadap diri baik secara pribadi maupun secara kolektif, bermasyarakat, berbangsa, bernegara hingga berdunia.

Namun yang terjadi kita (seolah) lebih sering fokus menyalahkan si Covid, dengan kalimat negatif, misalnya bahwa covid itu “musuh” kita bersama,  ayo… satukan kekuatan untuk “perang” bersama dengan covid.

Pertanyaannya: apa ia covid itu “musuh” ?, Apakah tidak sebaiknya kita mencoba menggunakan kalimat positif, bahwa Covid itu “sahabat” ?

Mari kita mencoba analisis dari prepektif al Quran,

Allah subhana wa ta ala memberi pengakuan bahwa langit dan bumi serta seluruh apa yang ada di dalamnya, termasuk seluruh mahluk hidup tidak terkecuali hambaNya berupa virus covid19 semua taat menyembah dan bertasbih siang malam kepadaNya. Satu-satunya mahluk Allah yang disebut musuh oleh Allah subhana wa ta ala dan bahkan kita orang beriman diminta menyikapinya sebagai musuh adalah iblis atau syaithan:

إِنَّ ٱلشَّيْطَٰنَ لَكُمْ عَدُوٌّ فَٱتَّخِذُوهُ عَدُوًّا ۚ إِنَّمَا يَدْعُوا۟ حِزْبَهُۥ لِيَكُونُوا۟ مِنْ أَصْحَٰبِ ٱلسَّعِيرِ

Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh bagimu, maka anggaplah ia musuh(mu), karena sesungguhnya syaitan-syaitan itu hanya mengajak golongannya supaya mereka menjadi penghuni neraka yang menyala-nyala (QS Fatir: 6)

Dan untuk dipahami bersama bahwa syaithan itu terdiri dari bangsa jin dan manusia (yang ingkar dan tidak taat pada SyariatNya) (QS Annas: 4-6), bukan dari bangsa virus atau bakteri, bukan pula dari bangsa Harimau atau babi hutan dan seterusnya.   

Cukup banyak hingga puluhan ayat dalam al Qur’an dimana Allah ta ala memberi testimoni dan pengakuan terhadap mahlukNya seperti di atas, di antaranya:

Allah ta ala berfirman,

أَلَمْ تَرَ أَنَّ اللَّهَ يُسَبِّحُ لَهُ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَالطَّيْرُ صَافَّاتٍ ۖ كُلٌّ قَدْ عَلِمَ صَلَاتَهُ وَتَسْبِيحَهُ ۗ وَاللَّهُ عَلِيمٌ بِمَا يَفْعَلُونَ

“Tidaklah kamu tahu bahwasanya Allah: kepada-Nya bertasbih apa yang di langit dan di bumi ? dan (juga) burung dengan mengembangkan sayapnya. Masing-masing telah mengetahui (cara) ibadah dan tasbihnya, dan Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan.” (QS. An-Nuur: 41).

Ahli tafsir menjelaskan yang dimaksud apa yang ada di langit dan di bumi (yang bertasbih) adalah malaikat, manusia, jin, matahari, bulan, bintang, gunung, pohon, burung, lautan, dan segala yang ada di dalam langit dan bumi.

Jadi segala sesuatu yang jadi makhluk Allah, baik benda mati maupun benda hidup tidak terkecuali virus corona alias COVID mereka semua ini bertasbih menyembah Allah ta ala.

Juga diterangkan dalam ayat lainnya :

تُسَبِّحُ لَهُ السَّمَاوَاتُ السَّبْعُ وَالْأَرْضُ وَمَنْ فِيهِنَّ ۚ وَإِنْ مِنْ شَيْءٍ إِلَّا يُسَبِّحُ بِحَمْدِهِ وَلَٰكِنْ لَا تَفْقَهُونَ تَسْبِيحَهُمْ ۗ إِنَّهُ كَانَ حَلِيمًا غَفُورًا

“Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah. Dan tak ada satupun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penyantun lagi Maha Pengampun.” (QS. Al-Isra’: 44).

Jadi cukup gamblang tersirat dalam al Quran bahwa Covid19 itu mahkuk Allah yang taat dan bertasbih kepada Allah ta ala. Maka pertanyaanya sekali lagi adalah, patutkah kita melontarkan kata negative seperti “musuh” sehingga kita pun menyerukan untuk bahu membahu “berperang” melawan  COVID19 ?. Apa salahnya mahluk Allah yang satu ini yang namanya Covid19 ? Sehingga manusia jadikan musuh bebuyutan?

Jangan-jangan sebaliknya, justru manusialah sebagiannya yang ingkar kepada TuhanNya, yang tidak bertasbih dan menyembah Allah ta ala. Manusia begitu banyak yang menolak syariat dan tuntunan Allah ta ala dalam wahyu yang disampaikan melalui rasulNya. Manusia sebagian memperturutkan hawa nafsunya bertingkah sudah diluar batas batas kemanusian, sudah layaknya seperti hewan ternak bahkan lebih keji lagi.

Lihat saja Manusia mengkomsumsi makanan yang tidak mengenal halal haram, baik buruk, sehat bergizi atau racun. Mereka dengan rakus dan bangga  konsumsi hewan yang diharamkan dan tidak sehat. Hewan babi, anjing, tikus, kelelawar semua kategori tidak menyehatkan dikomsumsi (https://www.youtube.com/watch?v=cahKleEcBpo, ) (https://www.youtube.com/watch?v=PzWG4GWfs44).

Boleh jadi covid19 yang tadinya inang hidupnya di kelelawar atau hewan tertentu atau lingkungan tertentu, tetapi oleh kerakusan manusia, hewan tersebut pun dilalap hidup-hidup, lalu tersangkutlah covid19 di tubuh manusia lantas berkembanglah dan menular begitu cepat. 

Lalu sebetulnya ini salah siapa? Covid19 atau manusia?. Covid19 itu bukanlah mahluk nakal apalagi musuh, tetapi ketika manusia yang ketika memasuki area hidup covid19, seperti komsumsi binatang hidup-hidup bersama kotoran darahnya, maka jangan salahkan ketika covid19 terjerat numpang hidup di tubuh manusia lantas tersebarlah begitu cepat. Ibaratnya semut merah itu tidak ada yang nakal dan cari musuh pada manusia, hanya ketika manusia menginjak semut, jangan salahkan semut menggigit sebagai bentuk reaksi spontan terhadap aksi yang diterimanya. Hukum alamnya sudah begitu: “ada aksi, ada reaksi”. Pribahasanya: “kalau tidak ingin dicubit maka janganlah mencubit”

Kalau covid19 bukan musuh, lantas apa yang harus dilakukan?, apakah dibiarkan saja menggerogoti manusia sehingga manusia tewas bergelimpangan begitu massal?. Tentu tidak seperti itu maksud saya (penulis). Tentu kita tetap berkawajiban menjalani ikhtiar sebagai syariat Allah pula, mengobati pesien covid19, memutus mata rantai perkembangan covid, menjaga kebersihan badan dan lingkungan, menjaga kualitas makanan yang dikomsusmi yang halal, yang baik yang bergizi dan yang sehat, menjaga stamina tubuh agar antibody yang diciptakan Allah dalam tubuh sebagai respon alami melawan mahluk parasite yang masuk dalam tubuh dapat mengalahkan si covid19.

Namun dalam melakukan ikhtiar-ikhtiar tersebut, hilangkan rasa “marah dan dendam” terhadap Covid19, hilangkan kutukan-kutukan terhadap Covid disertai kalimat-kalimat negative seperti “musuh dan perang” terhadap covid19. Ibarat kita menyembelih ayam, kita dituntut berlaku ramah, lembut terhadap ayam, walau secara fisik sepertinya menyembelih itu sendiri seolah perbuatan yang “sadis”, tetapi ketika mnyembelih sesuai syariatNya maka menyembelih hewan itu adalah “ibadah”  dan hewan yang disembelih dengan pasrah dapat menerima perlakuan penyembelihan itulah salah satu bentuk tasbih dan taatnya kepada Allah ta ala.

Maka prinsip menyembelih hewan itulah yang perlu diterapkan dalam membasmi covid yang “salah kamar” berada menggerogoti tubuh manusia.

Covid19 bukan “musuh”, bahkan sebaliknya covid19 itu “sahabat” lebih dari itu Covid19 itu “guru” buat kita semua. Begitu banyak hikmah dan pelajaran serta penyadaran yang diberikan covid19 kepada kita manusia yang sudah banyak jauh menyimpang dari prinsip-prnsip hidup sehat dan berkeseimbangan. Musibah dalam bentuk wabah Covid19 menyebar keseluruh dunia sebagai peringatan bahkan azab Allah ta ala bagi manusia bahwa kita sudah banyak berbuat salah dan dosa, banyak keluar dari sunnatullah (syariatNya), seperti diingatkan Allah subhana wa ta ala:

وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ

“Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu)”. (QS al-Syura;30)

Di samping dosa atau kesalahan dalam konsumsi makanan secara sembrono seperti di China, manusia sudah demikian jauh berprilaku gaya hidup free sex yang semakin manjadi-jadi, LGBT semakin eksis seperti yang terjadi di Italia, sudah menyerupai prilaku homo di jaman umat Nabi Luth alaihi wa salam dimana Allah ta ala pun pernah mengirim musibah kepada mereka (QS Al Araf:80, Huud: 82).

Sebagaimana Allah mengirim musibah melalui hambahNya namanya Covid19 pada saat ini. Jadi kehadiran musibah covid19 sebagai azab bagi orang yang dzalim, peringatan bagi muslim yang lalai dan ujian bagi muslim yang taat, bila dihubungkan dengan QS Ayura: 30 di atas, maka tidaklah salah jika sebagian ulama menyebut covid19 sebagai tentara-tentara Allah ta ala.

Mungkin ada yang membantah bahwa wabah seperti virus covid19 itu bukanlah kutukan atau azab Allah, sebab kalau itu benar, kenapa orang taat beriman dan orang saleh pun bisa terserang wabah?   Untuk itu ada baiknya kita simak firman Allah berikut:

]وَاتَّقُوا فِتْنَةً لاَ تُصِيبَنَّ الَّذِينَ ظَلَمُوا مِنْكُمْ خَاصَّةً وَاعْلَمُوا أَنَّ اللهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ

Peliharalah diri kalian dari siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kalian. Ketahuilah bahwa Allah amat keras siksaan-Nya. (QS al-Anfal :25).

Lalu apa salahnya kita-kita ini orang muslim, yang siang malam shalat 5 waktu, berdoa dan shalat lail, bersedekah dan pelihara anak yatim  ? Salah terbesar kita ketika hanya sibuk beramar ma’ruf tapi lalai berNAHI MUNGKAR. 

Ya kemungkaran di depan mata, demi toleransi dan demokrasi demi HAM dan perdamaian serta demi alasan-alasan “rasional” lain yang serba palsu, kitapun (seolah) rela kemungkaran di depan mata, miras dan judi jadi legal, prostiusi yang dikemas pariwisata yang menawarkan sex dan miras serba permisif, LGBT serba ditolerir. 

Kemungkaran seperti maraknya zina yang dilegalisasi dan difasilitasi dalam berbagai modusnya, prostitusi berkedok SPA di hotel-hotel dan panti pijat itu semua kita sikapi dengan serba “permisif”, padahal Rasulullah salallahu alaihi wa sallam. mengingatkan :

إِذَا ظَهَرَ الزِّنَا وَالرِّبَا فِي قَرْيَةٍ فَقَدْ أَحَلُّوْا بِأَنْفُسِهِمْ عَذَابَ الله‏ِ

Apabila zina dan riba telah tampak di suatu kampung, sesungguhnya mereka telah menghalalkan azab Allah bagi mereka. (HR ath-Thabarani dan al-Hakim).

Ketika sikap pembiaran terhadap kemungkaran seperti itu kita lakukan maka itulah kesalahan terbesar bagi kita yang mengaku orang baik-baik dan orang saleh, sehingga kemungkaran menjadi-jadi, maka Azab Allah pun turun yang tidak hanya menimpa untuk orang-orang jahil itu, tetapi juga menimpa kita semua seperti sudah diperingatkan Allah SWT dalam ayat di atas (QS al-Anfal :25).

Lantas kalau demikian sekali lagi sebetulnya musuh itu siapa? Covid ? atau manusia sendiri yang tidak tunduk patuh pada syaraiatNya?. Kalau mau jujur musuh itu adalah diri kita sendiri yang ketika banyak lalai, perturutkan hawa nafsu, tidak mengindahkan hukum-alam (sunnatullah), rakus banyak melanggar hak orang lain dan hak makhluk hidup serta lingkungan. Seperti dikutip di atas musibah datang menimpa itu karena perilakuk kita yang salah dan penuh dosa (QS Asyura: 30).

Lalu apa yang harus dilakukan sekarang di tengah-tengah musibah covid19 ini ?

Dengan tetap melaksanakan berbagai ikhtiar yang rasional, pencegahan dan pengobatan yang sifatnya lahiriyah, mengikuti saran-saran WHO dan para pakar medis sebatas tidak melanggar syariat Allah ta al, yang tidak kalah pentingnya adalah melakukan ikhtiar yang sifat rohaniyah, berupa introspeksi muhasabbah dan tobat massal. Ali Abi Tholib –radhiyallahu ‘anhu– memberi nasehat berharga:

مَا نُزِّلَ بَلاَءٌ إِلاَّ بِذَنْبٍ وَلاَ رُفِعَ بَلاَءٌ إِلاَّ بِتَوْبَةٍ

“Tidaklah musibah tersebut turun melainkan karena dosa. Oleh karena itu, tidaklah bisa musibah tersebut hilang melainkan dengan taubat.” 

Kuncinya tobat massal, diiringi ikrar dan komitmen kuat untuk tegakkan syariatNya, jalani sunnatullahNya, maka insya Allah sahabat covid dan wabah-wabah lain akan menyingkir sendiri dari tubuh manusia dan kembali ke “dunianya”.

Covid bukan musuh sekalipun harus dibasmi ketika menggerogoti manusia, covid itu parner (sahabat) hidup, bahkan dalam kondisi sekarang covid adalah guru kita. Terima kasih covid engkau hamba Allah yang taat, yang telah memberi banyak peringatan, pelajaran dan hikmah kepada kami semua manusia.

Diantara pelajaran berharga diberikan covid antara lain:

Mengajarkan tauhid yang tinggi kepada kita semua, khususnya kepada kaun Ateis yang selama ini tidak mengakui ada Tuhan hanya dengan alasan bahwa Tuhan tidak bisa dilihat, diraba dan diterawang dengan indra mata. Namun mahluk halus yang namanya Covid19 kita yakin ada berkerumunun di tubuh pasien atau di sekitar lingkungan kita padahal Covid19 tidak pernah mampu dilihat dengan mata kepala.

Yang kita lihat hanyalah efek atau dampak keberadaan covid19. Maka sebegitu mudah itulah memahami dan meyakini adanya Tuhan sekalipun Tuhan tidak Nampak oleh mata yang sangat terbatas ini, tetapi fenemona adanya “ciptaan” (makhluk) bukti terang benderang adanya pencipta yang kita definisikan Tuhan dengan nama resminya Allah subhana wa tala.

Jangan lagi jauh dari Allah, yang Maha Kuasa baik di dunia maupun di akhirat. Bukankan Covid-19 telah mendidik kita, dalam suasana wabah Covid-19 semua orang ketakutan dan semua orang baru mendekat bertobat, berdzikir dan berdoa memohon perlindunganNya.

Mengajarkan sifat rendah diri, jangan lagi ada angkuh, sombong, dan merasa hebat serba bisa. Bukankah “mahluk halus”  ciptaan Allah yang namanya covid19 ini membuat kita semua kalang kabut tidak berdaya ketika menyebar di tubuh manusia tanpa mengenal status sosial miskin atau kaya, tua atau muda pembesar atau rakyat biasa, orang bejat atau orang alim, semua potensi dihinggapi Covid19

Mengingatkan kita semua agar konsumsi makanan yang  halal lagi baik, sehat bergizi dan tidak berlebihan. Jauhi makanan dan minuman haram. Bukankah sangat mungkin awalnya virus muncul setelah hewan liar, buas dan kelelawar atau tikus dimakan hidup-hidup, bahkan ada manusia yang sudah gila memakan bayi manusia  yang baru lahir.

Menyadarkan kita untuk selalu meningkatkan stamina tubuh dengan cara menjaga asupan jasmani melalui makanan sehat halal dan bergizi serta  asupan rohani melalui dzikir, ibadah dan mental serta akhlaq yang mulia. Bukankah covid19 dalam tubuh hanya ampuh dilumpuhkan oleh antibody ketika stamina tubuh dan mental kita kuat.

Mengajarkan kita agar jangan lagi berpakaian  minim lagi ketat mengumbar aurat. Bukankah Covid-19 telah mendidik kita berpakaian serba tertutup? 

Jaga mulut, mata dan pendengaran. Bukankah masker Covid-19 telah mendidik kita  menutup mulut, lidah, telinga dan hidung, ketika ketiga lubang tersebut sangat dijaga saat ini.

Jangan lagi ada “pergaulan bebas” tanpa batas, free sex, perilaku homo, LGBT. Bukankan perilaku amoral itu semua pemicu percepatan penularan berbagai penyakit termasuk virus Covid19. Bukankah Covid-19 telah mendidik kita untuk Sosial Distancing dan Physical Distancing, jaga jarak, bahkan bersalamanpun dilarang?, 

Jangan lagi malas ke rumah Allah untuk beribadah yaitu masjid. Bukankah Covid-19 telah mendidik kita, bagaimana sedih kita ketika seolah masjid menuntupkan pintu buat kita untuk jumatan dan shalat wajib?.

Jangan lagi abaikan rumah bersama keluarga dengan terlalu sibuk di luar rumah. Bukankan Covid-19 telah mendidik kita untuk banyak tinggal di dalam rumah bersama keluarga ?

Jaga kebersihan dan ketertiban. Bukankah Covid-19 telah mendidik kita agar selalu menjaga kebersihan badan, pakaian, barang dan lingkungan dengan rajin mandi, mencuci tangan, semprot antiseptik dan disinfektan, dan tidak sembarangan membuang sampah?

Tingkatkan semangat kebersamaan dan solidaritas. Jangan lagi semua dihitung berdasarkan kepentingan pribadi dan pamrih. Bukankah Covid-19 telah mendidik kita bahwa kita tidak mampu mengurus diri sendiri seorang diri, kita butuh orang lain .

Terakhir Covid19 sebagai “guru” yang mengajarkan kita untuk selalu mempersiapkan diri untuk kehidupan Akhirat dengan perbanyak  ibadah dan amal saleh. Penyebaran covid di seluruh dunia yang begitu cepat dengan daya mematikan yang begitu dahsyat membuat mata berkaca-kaca menerawang, seolah kiamat sudah nampak di depan mata, sementara amal masih minim tidak seimbang dengan dosa yang menumpuk. 

Akhiru qalam, Subhanallah, walhamdulillah, laa haula wala quuwata illah billah.

Wallahu wa’lam ■



BACA JUGA