Sabtu, 5 Juni 2021 | 18:54 Wita

Hakekat Manhaj Tartiib  Nuzuuli

Editor: Firman
Share

■ Oleh : Drs. H. Ahkam Sumadiyana, MA, Trainer Nasional, Anggota Dewan Muzakarah Pusat Hidayatullah 2015-2020

HidayatullahMakassar.id — (Muqaddimah), Sungguh ‘Manhaj Tartiib Nuzuuli’ ini memiliki keunikan tersendiri, karena dapat memberikan rujukan dan informasi dengan jelas terhadap ‘Minhajun nubuwah’ baik secara teoritis maupun aplikatif.

Manhaj ini menawarkan kemudahan bagi ummat Islam untuk memahami rahasia tentang mengapa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan para shahabat-Nya mampu menegakkan peradaban Islam secara efektif dan efesien. Ternyata sejarah telah membuktikan bahwa ‘Manhaj Tartiib Nuzuuli’ dapat mengantarkan perjuangan ini bekerja secara sistemik dan sistematis.

Untuk memperkuat hipotesa tersebut di atas penulis juga mengambil ungkapan dari ‘Imam As-Suyuthi’ tentang Al-Quran diturunkan secara bertahap yaitu memperlihatkan suatu manhaj/methodologi yang sangat bermanfaat dalam pembentukan pribadi muslim.

Secara bertahap juga bersifat alamiyah untuk memperbaiki jiwa manusia, meluruskan perilaku dan  membentuk kepribadian serta menyempurnakan keislamannya. Karena pada akhirnya jiwa itu dapat tumbuh dengan tegak di atas pilar-pilar yang kokoh dan mendatangkan hasil yang baik bagi umat manusia seluruhnya dengan izin Allah Ta’alaa. [Manna’ Kholil Al-Qattan, Sutdi Ilmu-ilmu Al Quran, terj. Drs. Mudzakir A.S., Lentera Nusa, Bogor 1987, hlm. 144.].

Berkenaan dengan ‘Tartib Nuzuli’ Allah Swt mempertegas dengan firmannya;

وَبِالْحَقِّ أَنزَلْنَاهُ وَبِالْحَقِّ نَزَلَ وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلاَّ مُبَشِّراً وَنَذِيراً ﴿١٠٥﴾ وَقُرْآناً فَرَقْنَاهُ لِتَقْرَأَهُ عَلَى النَّاسِ عَلَى مُكْثٍ وَنَزَّلْنَاهُ تَنزِيلاً ﴿١٠٦﴾

Artinya; “Dan Kami turunkan (Al-Qur’an) itu dengan sebenar-benarnya dan Al-Qur’an itu telah turun dengan (membawa) kebenaran. Dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan sebagai pembawa berita gembira dan pemberi peringatan. Dan Al-Qur’an itu telah Kami turunkan dengan berangsur-angsur agar kalian membacakannya perlahan-lahan kepada manusia dan Kami menurunkannya bagian demi bagian.[Al-Isra’:105-106].

Ayat yang mulia tersebut di atas menurut Ibnu Katsir bahwa Allah Swt berfirman yaitu bahwa Al-Qur’an itu diturunkan dengan sebenar-benarnya, di dalamnya terkandung perkara yang haq, maksudnya, dalam Al-Qur’an terkandung ilmu Allah yang Dia kehendaki untuk diperlihatkan kepada manusia, yaitu mengenai hukum-hukum-Nya, berupa perintah, dan larangan-Nya.

وَبِالْحَقِّ أَنزَلْنَاهُ وَبِالْحَقِّ نَزَلَ

Artinya; “Dan Kami turunkan (Al-Qur’an) itu dengan sebenar-benarnya dan Al-Qur’an itu telah turun dengan (membawa) kebenaran”. [Al-Isra: 105].

Yakni Al-Qur’an diturunkan kepadamu, hai Muhammad, seraya dijaga dan dipelihara, tiada ada sesuatu pun dari selainnya yang mencampurinya; dan tiada tambahan serta pengurangan padanya, melainkan disampaikan kepadamu dengan sebenar-benarnya. Karena sesungguhnya Al-Qur’an itu diturunkan melalui malaikat yang sangat kuat, terpercaya, berkedudukan tetap di sisi Tuhannya lagi ditaati di kalangan malaikat yang ada di langit tertinggi.

وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلا مُبَشِّرًا وَنَذِيرًا

Artinya; “Dan Kami tidak mengutus kamu melainkan sebagai pembawa berita gembira dan pemberi peringatan”. (Al-Isra: 105)

Maksudnya pembawa berita gembira kepada orang-orang yang taat kepadamu dari kaum mukmin, dan peringatan terhadap orang yang durhaka kepadamu dari orang kafir. Kemudian tentang;

وَقُرْآنًا فَرَقْنَاهُ لِتَقْرَأَهُ عَلَى النَّاسِ عَلَى مُكْثٍ وَنزلْنَاهُ تَنزيلا

Artinya; “Dan Al-Qur’an itu telah Kami turunkan dengan berangsur-angsur agar kamu membacakannya kepada manusia secara perlahan-lahan, dan Kami menurunkannya bagian demi bagian.” [Al-Isra: 106]

Menurut para ulama yang membacanya secara takhfif tanpa tasydid, maknanya ialah Kami turunkan sekaligus dari Lauh Mahfuz ke Baitul Izzah di langit yang terdekat, kemudian diturunkan secara berangsur-angsur kepada Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam, sesuai dengan kejadian-kejadian yang dialaminya dalam masa dua puluh tiga tahun. Demikianlah menurut pendapat Ikrimah dari Ibnu Abbas.

Telah diriwayatkan pula dari Ibnu Abbas bahwa ia membacanya dengan bacaan tasydid, yaitu farraqnahu, yang artinya Kami turunkan Al-Qur’an itu ayat demi ayat seraya dijelaskan dan ditafsirkan.Yakni untuk kamu sampaikan kepada manusia dan kamu bacakan kepada mereka, secara bertahab, sedikit demi sedikit (tidak sekaligus). [Lihat, Tafsir Ibnu Katsir Jilid 5, Abdullah bin Muhammad bin Abdurrahman bin Ishaq Alu Syaikh, Penerjemah: M. Abdul Ghoffar Cet. 1 Jakarta : Pustaka Imam Asy-Syafi’i, 1414 H/1994 M hal. 221-222]. 

Betapa pentingnya kita mengambil pelajaran secara langsung terhadap pendapat ‘Muhammad Izzah Darwazah’ yang menulis sebuah ‘kitab al-Tafsir al-Hadits’ setebal 12 jilid, Izzat Darwazah meletakkan surat-suratnya berurutan berdasarkan kronologis turunnya wahyu al-qur’an (Tartib Nuzuli).

Menariknya tafsir ini menawarkan prinsip-prinsip dasar dalam tafsirnya yaitu bahwa Al-Qur’an adalah satu-satunya kitab suci yang memiliki hubungan secara faktual dan logis dengan masyarakat, sekaligus dijadikan perangkat untuk membaca sejarah kenabian Muhammad shallallahu alaihi wa sallam  yang melibatkan tiga dimensi sejarah kenabian, pertama, yaitu sejarah pra wahyu atau pra kenabian, Kedua, Pribadi Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam, Ketiga, Era Kenabian  Muhammad shallallahu alaihi wa sallam, Hal ini sebagaimana yang tertuang dalam karyanya, Ashr al-Nabi qabla al-Bi’tsah, Sirah Rasul, dan al-Dustur al-Qurani fi Syu’un al-Hayah.[Muhammad Izzat Darwazah, al-Tafsir al-Hadits, jilid 1…, h. 5].

Masih menurut ‘Izzat Darwazah’, sesungguhnya susunan kronologis tersebut merupakan Manhaj/metodologi terbaik dalam memahami al-Qur`an. Alasannya mufassir tidak hanya mengikuti perjalanan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dari waktu ke waktu, melainkan juga dapat mencermati tahap demi tahap perwahyuan secara lebih tepat dan jelas. Hal tersebut juga lebih memungkinkan pembaca tenggelam dalam suasana seputar perwahyuan Al-Qur’an, serta dalam makna dan cakupannya, sehingga hikmah turunnya Al-Qur’an dapat tersingkap dengan benar.

Darwazah menolak pendapat yang mengatakan bahwa penafsiran berdasarkan ‘Tartiib Nuzuuli’ ada hubungannya dengan kesucian mushaf yang dibolak balik, alasannya, karena di satu sisi kitab tafsir bukanlah mushaf al-qur’an tetapi merupakan kegiatan akademis atau ilmiah. Sehingga menafsirkan tiap surat merupakan kegiatan yang secara substansial bersifat independen/mustaqillan yang tidak terkait dengan urutan mushaf al-qur’an. Sehingga methodologi seperti ini tidak menjamah kesucian urutan wahyu al-qur’an. [Muhammad Izzat Darwazah, al-Tafsir al-Hadits,h.9].

Yang lebih menarik walaupun Izzat Darwazah menafsirkan al-qur’an berdasarkan ‘Tartiib Nuzuuli’ atau kronologis  turunnya al-qur’an, bukan berarti ia menolak Al-Qur’an berdasarkan ‘Tartiib Mushafi’. Dalam hal ini karena Darwazah membedakan posisi Al-Qur’an sebagai kitab suci dengan posisinya sebagai kitab tafsir. Sebagai kitab suci Darwazah tetap menggunakan Al-Qur’an berdasarkan urutan ‘Tartib Mushafi’, tetapi dalam posisinya sebagai kitab tafsir dan pemahaman, ia menggunakan susunan Al-Qur’an berdasarkan ‘Tartib Nuzuli’. [Lihat, Abdul Majid Abdus Salam, Visi dan Paradigma Tafsir Kontemporer, terj. Moh. Maghfur Wachid, (Bangil: Al-Izzah, 1997) h.54].

Hakekat kitab ‘Tafsif Tartiib Nuzuuli’ secara teoritis dan historis begitu autentik dan orisionil, bahkan secara rasional maupun secara emosional kita terbawa dalam suasana dimana Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan para shahabat-Nya bagaikan sedang berjuang menegakkan al-qur’an dan membangun peradaban islam.

Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana ‘Tartiib Nuzuuli’ ini dalam tinjauan secara aplikatif ?, atau istilah yang sudah populer adalah bagaimana agar ‘Tartiib Nuzuuli’ ini dapat membumi. Masalah ini menjadi penting mengingat ummat islam sangat menantikan dan merindukan eksisnya peradaban islam.

Jawaban agar ‘Tartib Nuzuli’ dapat terlaksana secara aplikatif dalam kehidupan ummat islam, terlebih dahulu harus dimulai dengan pemahaman dan keyakinan yang baik dan benar terhadap ‘Manhaj Tartiib Nuzuuli’ atau yang Ormas Hidayatullah mengistilahkan dengan ‘Manhaj Sistematika Wahyu’. Selanjutnya ummat islam harus bersedia napak tilas perjuangan Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam dan para shahabat-Nya. Napak tilas inilah ummat islam akan merasakan al-qur’an secara aplikatif dalam kehidupan. Untuk  lebih  jelasnya ikuti kajian ‘Manhaj Sistemati Wahyu’ berikutnya. Wallahu A’lam.■



BACA JUGA