Rabu, 11 Agustus 2021 | 18:45 Wita

Welcome to Al Fatihah Wahai Generasi Muda

Editor: Firman
Share

Oleh: Mujahid Mansur Salbu, Sekretaris Wilayah DPW Hidayatullah Kepulauan Riau

HidayatullahMakassar.id — Taujih pemimpin umum dan ketua umum Hidayatullah dan para asatidz pada milad Hidayatullah ke 50 secara garis besar menegaskan, di saat para perintis dan mayoritas asatidz sudah sepuh, maka di pundak generasi muda perjuangan ini selanjutnya diletakkan.

Sanggupkah generasi muda Hidayatullah hari ini mengemban amanah besar ini. Jawaban kembali pada setiap kader muda. Road map telah diprint out dan terpampang di langit-langit kampus peradaban. Generasi muda tinggal menapakkan kaki mengikuti jejak para pendahulu.

Road map itu adalah manhaj nabawi yang dijabarkan dalam konsep sistematika wahyu, garis starnya sudah jelas demikian juga garis finis. Dimulai dari pra wahyu lalu masuk ke al Alaq sebagai penguatan aqidah, Al Qalam, penajaman cita-cita berquran, Al Muzammil, menghimpun kekuatan spiritual, Al Mudatstsir, aplikasi di lapangan dan Al Fatihah sebagai garis finis.

Ketika seorang kader sampai di tahapan Al Muzammil, maka pada saat itu, mulai terjadi lompatan-lompatan capaian yang tidak terduga, jika kader itu seorang pemimpin di daerah, kampus yang dikelola akan mengalami kemajuan yang pesat, pendidikan maju, warganya sejahtera, dakwah disambut antusias.

Pada tahapan ini, perjuangan bisa disebut telah eksis dan memberikan pengaruh, gelombang lingkaran dakwah dan tarbiyah mampu memberi getaran dalam radius yang luas. Mulai tukang ojek, pengusaha, pejabat akan terpana dengan pribadi-pribadi aktivis Hidayatullah, kagum dengan wajah peradaban Islam yang diperagakan di kampus-kampus.

Lokasi yang tadinya tandus dan sepi kini ramai, hati-hati manusian condong ke tempat itu. Lalu diberikan rezeki yang melimpah sehingga mampu membangun gedung megah. Organisasi yang awalnya dipandang sebelah mata kini mendapat tempat yang istimewa, bertahta di hati ummat.

Saat itu, harakah atau organisasi telah siap untuk berdiri tegak memberi peringatan sebagaimana perintah Allah Ta’ala di surah selanjutnya yaitu Al Mudatstsir. Mengapa pada tahapan Al Muzammil ada efek yang dahsyat?. Sebab, itulah titik kulminasi dari akumulasi keyakinan yang kokoh, cita-cita berislam dan berjuang yang kuat ditopang kekuatan spiritual. Sehingga jangan kaget ketika terjadi banyak keajaiban dalam perjalanan perjuangan.

Namun, di satu sisi, tahap ini, sejatinya merupakan situasi yang paling krusial, sebab merupakan tahap akhir sebelum masuk garis finis yaitu surah Al Fatihah. Sejumlah ujian akan menghampiri; merasa diri telah sukses, mulai menghitung pengorbanan, menimbang setiap tetesan keringat yang mengalir. Seorang kader, khususnya da’i, akan menuai pujian dari banyak pihak, sebab ia tidak sekadar menyampaikan teori tetapi bukti yang dapat disaksikan di kampus-kampus. Inilah tantangan berat.

Karena itu, Allah Ta’ala mengingatkan, wa rabbaka fakabbir (maka Rabb-mu Agungkanlah). Seorang yang telah meraih kesuksesan tiba-tiba diminta membasuh keringatnya dengan kesadaran, menepikan pengorbanan dari pikiran dan tidak menuntut kompensasi dan apresiasi dari harakah, sebab menyadari kompensasi dan apresiasi dari langit yang menjadi orientasinya. Di saat ia berada di puncak ia dituntut turun ke lembah yang paling dasar.

Kegagalan internalisasi paradigma “Wa Rabbaka fakabbir” ke dalam jiwa akan mempengaruhi banyak hal, termasuk ketaatan pada imamah, soliditas jamaah dan kesuksesan program kerja. Karena tidak siap untuk turun dari hero menjadi zero. Memelihara sikap ini sama dengan membangun tembok di tengah jalan yang menghubungkan Al Mudatstsir dan Al Fatihah. Gagal di fase ini, berarti harus kembali mengulang dari star awal, khususnya Al Alaq bahkan jika kondisinya lebih ekstrim mundur lebih jauh ke fase pra wahyu yaitu fase keyatiman (hanya bergantung kepada Allah Ta’ala)

Namun, jika mampu melewati fase ini. Meski merasa berat karena seolah-olah tidak mendapat apresisasi dan kompensasi yang memadai, ia tetap berjalan di bawah komando imamah (assam’u wa tha’a). Lalu ia juga berhasil melewati ujian, untuk tidak melakukan maksiat kepada Allah Ta’ala. Maka ia akan melenggang dengan wajah berseri-seri memasuki pintu gerbang Al Fatihah dengan kalimat tahmid “Alhamdulillahi Rabbil ‘alamin”.

Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

‎وَّمَهَّدْتُّ  لَهٗ  تَمْهِيْدًا  

“Dan Aku berikan baginya kelapangan (hidup) seluas-luasnya,” )QS. Al-Muddassir 74: Ayat 14)

Jalan lurus yang ditempuhnya secara konsisten mendapat ganjaran “An’amta ‘alaihim”
“(yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepadanya; bukan (jalan) mereka yang dimurkai, dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.”
(QS. Al-Fatihah 1: Ayat 7)

Nikmat iman yang meliputi juga nikmat berjuang adalah puncak pencapaian segala usaha, di dalam Islam syahid adalah puncak kenikmatan. Para sahabat dan kaum muslimin selalu menyongsong setiap perang dengan antusias.

Bahkan mereka sedih ketika tidak bisa ikut berperang. Dalam surah At Taubah ayat 92 dikisahkan Ada tujuh orang miskin yang tak punya bekal menghadap Rasulullah ingin ikut perang Tabuk melawan orang Romawi. Lokasinya jauh dekat Syam. Jaraknya 750 km lebih dari Madinah. Tiap orang butuh kendaraan dan bekal yang cukup. Namun, Rasulullah dengan sedih menyampaikan tidak ada biaya untuk memberangkatkan mereka, maka kembalilah tujuh orang miskin ini dengan bercucuran air mata. Masya Allah.

Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman: “Dan tidak ada (pula dosa) atas orang-orang yang datang kepadamu (Muhammad), agar engkau memberi kendaraan kepada mereka, lalu engkau berkata, Aku tidak memperoleh kendaraan untuk membawamu, lalu mereka kembali, sedang mata mereka bercucuran air mata karena sedih, disebabkan mereka tidak memperoleh apa yang akan mereka infakkan (untuk ikut berperang).”
(QS. At-Taubah 9: Ayat 92)

Kematian adalah resiko paling berat dalam hidup. Tetapi para sahabat dan kaum muslimin menyambut resiko itu dengan semangat sebab didorong oleh kenikmatan berjuang yang akan mengantarkannya pada kenikmatan sejati di surga-Nya kelak.

“An’amta ‘alaihim” inilah titik pencarian dan perburuan para kader dalam berjuang. Ketika gagal tidak menyerah, terus mencoba lagi memperbaiki diri, ketika jatuh bangkit lagi. Gerakan tarbiyah dan dakwah melalui berbagai media seperti majalah Hidayatullah dan dakwah fardhiyah lainnya, adalah upaya untuk agar ummat ini juga bisa merasakan kenikmatan berislam.

Seorang da’i bercerita kepada penulis, ada seorang pengusaha yang tadinya belum tertib shalatnya, istri dan anaknya belum menutup aurat, namun, setelah didekati dengan majalah Hidayatullah dan silaturrahim rutin, alhamdulillah, saat ini sudah rajin shalat, istri dan anaknya sudah menutup aurat dengan sempurna, dan mengatakan dulu setiap bulan kami mendapatkan rejeki minimal 500 juta sebulan tetapi hidup ini terasa hambar, alhamdulillah sekarang terasa keberkahan dan kenikmatan dari rejeki yang kami dapatkan.

Maka alangkah naifnya, jika mad’u (objek dakwah) telah merasakan nikmatnya berislam sementara para kader belum bisa mencicipi apa yang disampaikan. Para generasi muda pewaris perjuangan bergeraklah, mulai dari diri sendiri, dengan secara serius mengkaji dan merenungkan manhja nabawi berupa konsep sistematika wahyu. Agar kelak mampu membawa diri, keluarga, jamaah, harakah dan masyarakat memasuki gerbang Al Fatihah, sebuah tatanan kehidupan yang diliputi keberkahan dan kenikmatan dalam bingkai nilai-nilai Islam. Wallahu A’lam.■

Tj Pinang, 2 Muharram 1443 H



BACA JUGA