Jumat, 4 September 2020 | 10:49 Wita

Hukum Memasang Sutrah Saat Shalat

Editor: Firman
Share

HidayatullahMakassar.id — Telah lewat sebelumnya pembahasan terlarangnya berlalu di depan orang yang shalat tanpa sutrah. Masih dengan tema yang sama lanjutan pembahasan kitab Bulugul Maram 

Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

سُتْرَةُ الرَّجُلِ فِي الصَّلَاةِ السَّهْمُ ، وَإِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ ، فَلْيَسْتَتِرْ بِسَهْمٍ

“Sutrah seseorang ketika shalat adalah anak panah. Jika seseorang diantara kalian shalat, hendaknya menjadikan anak panah sebagai sutrah” (HR. Ahmad)

Dalam sebuah hadits pula Rasulullah bersabda:

لَا تُصَلِّ إِلَّا إِلَى سُتْرَةٍ، وَلَا تَدَعْ أَحَدًا يَمُرُّ بَيْنَ يَدَيْكَ، فَإِنْ أَبَى فَلْتُقَاتِلْهُ؛ فَإِنَّ مَعَهُ الْقَرِينَ

“Janganlah shalat kecuali menghadap sutrah, dan jangan biarkan seseorang lewat di depanmu, jika ia enggan dilarang maka perangilah ia, karena sesungguhnya bersamanya ada qarin (setan)” (HR. Ibnu Khuzaimah

Dengan hadits ini para ulama memahami dengan beberapa hukum

1. Hukum memasang sutrah adalah wajib. Karena dalam hadits jelas dengan lafal perintah. Kecuali ada qarinah atau tanda-tanda hukum wajib itu beralih ke hukum lain. Pendapat ini oleh Syaikh al-Albani Rahimahullah dan Assauqani serta lainnya.

2. Sutrah itu sunah secara mutlak. Ini merupakan pendapat ulama syafi’iah dan merupakan salah satu pendapat Imam Malik.

3. Sutrah sunah jika dikhawatirkan ada yang lewat di depannya. Merupakan pendapat ulama Malikiyah dan Hanafiyah.

4. Sutrah sunnah muaqad bagi imam. Dan jika shalat sendiri. Namun tidak perlu bersutrah jika menjadi makmun. Sebagai pendapat Imam Ahmad bin Hambal.

Oleh jumhur ulama bahwa hukum menghadap sutrah ketika shalat hukumnya sunnah muakad (sunah yang dianjurkan tanpa penekanan yang kuat), Dengan beberapa penjelasan.

A. Berdasarkan hadits dari Abu Sa’id Al Khudri, ia berkata, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ إِلَى شَىْءٍ يَسْتُرُهُ مِنَ النَّاسِ ، فَأَرَادَ أَحَدٌ أَنْ يَجْتَازَ بَيْنَ يَدَيْهِ فَلْيَدْفَعْهُ

“Jika salah seorang di antara kalian shalat menghadap sesuatu yang membatasi dirinya agar tidak dilewati orang dan apabila ada yang tetap nekad melewati di hadapan ia shalat, maka hendaklah ia menolak/menghalanginya” (HR. Bukhari)

Hadits ini menurut ulama menjelaskan orang yang shalat saat zaman Rasulullah kadang-kadang saja atau sebahagian saja menggunakan sutrah.

B. Hadits dari Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata,

أَقْبَلْتُ رَاكِبًا عَلَى حِمَارٍ أَتَانٍ ، وَأَنَا يَوْمَئِذٍ قَدْ نَاهَزْتُ الاِحْتِلاَمَ ، وَرَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يُصَلِّى بِمِنًى إِلَى غَيْرِ جِدَارٍ ، فَمَرَرْتُ بَيْنَ يَدَىْ بَعْضِ الصَّفِّ وَأَرْسَلْتُ الأَتَانَ تَرْتَعُ ، فَدَخَلْتُ فِى الصَّفِّ ، فَلَمْ يُنْكَرْ ذَلِكَ عَلَىَّ

“Aku pernah datang dengan menunggang keledai betina, yang saat itu aku hampir menginjak masa baligh, dan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam sedang shalat di Mina tanpa menghadap dinding. Maka aku lewat di depan sebagian shaf kemudian aku melepas keledai betina itu supaya mencari makan sesukanya. Lalu aku masuk kembali di tengah shaf dan tidak ada seorang pun yang menyalahkanku” (HR. Bukhari no. 76, 493 dan 861).

Hadits dari Ibnu Abbas di atas menjadi qiranah bahwa “Rasulullah shalat di tempat terbuka lalu tidak ada yang menghalangi sebagai sutrah.”■ */bersambung

*) Dari catatan on the spot pada taklim rutin kajian kitab Bulugul Maram di Masjid Umar bin Faruq oleh Ust Abd Qadir Alqitri MA Ketua Dept Tarbiyah Yayasan Al Bayan Hidayatullah Makassar



BACA JUGA