Rabu, 21 April 2021 | 05:07 Wita

Ngopi (imajiner) Peradaban Bersama Sang Ideolog Dr Abdul Mannan Al Kindi

Editor: Firman
Share

Oleh : Irfan Yahya, Ketua STAI Al Bayan Hidayatullah Makassar

HidayatullahMakassar id — “Innalillahi wa inna ilaihi roji’un. Baru saja kembali kepada Allah, Ustadz Abdul Mannan. Semoga Allah mengampuni dosa Beliau. Mohon kerelaan jama’ah Hidayatullah untuk memaafkan kesalahan Beliau selama hidup. Terima kasih banyak atas kasih sayang jamaah selama ini. Jazakumullah khairan katsira”.  

Demikianlah pesan duka cita yang dishare secara berantai di sejumlah group WA Hidayatullah beberapa menit menjelang saat berbuka puasa untuk wilayah Makassar dan sekitarnya. Seketika frasa istirja terlontar otomatis, detak jantung seakan berhenti, dada terasa kaku tertimpa beban, terpompa adrenalin yang membuncah, dan buliran air menetes dari kedua kelopak mata; Innalillahi wa inna ilaihi roji’un, Allahummaghfirlahu warhamhu wa’afihi wa’fu’anhu. Sambil menghela nafas dalam-dalam kulanjutkan dengan do’a; Dzahabaz zhama’u wabtallatil ‘uruqu wa tsabatal ajru, insyaallah,

Bismillah lalu kutenguk air putih hangat tiga kali tegukan dan mencicipi hindangan ifthor lainnya dan bergegas menuju masjid untuk shalat Magrib. Usai shalat, Ketua Yayasan Al Bayan Kampus Utama Hidayatullah, Suwito bergegas maju kedepan meraih alat pengeras suara dan menyampaikan berita duka tersebut kepada seluruh jama’ah masjid Umar Al Faruq. Berita duka yang menghentak, rotasi dunia seolah terhenti sejenak, saat kabar duka itu datang menyapa seketika.

Dr, Abdul Mannan adalah sosok yang sangat tegas dan disiplin, sekali-kali berkelakar dengan gaya khas. Beliau adalah santri senior perintis Hidayatullah yang diberi amanah menahkodai DPP Hidayatullah dua periode dan Munas 2020 kemarin mendapat amanah sebagai Ketua Dewan Pertimbangan Hidayatullah.

Bertemu secara fisik dengan beliau boleh dihitung jari, namun sebuah kesan mendalam yang patut disyukuri karena pernah ditakdirkan dua kali ngopi ekslusif dengan beliau. Dua moment langka itulah yang kemudian menjadi salah satu faktor pelecut ghirah pribadi penulis untuk menekuni dan memperdalam pemahaman terkait Sistematika Wahyu dan Konstruksi Peradaban Islam.

Waktu terus bergulir, entah bagaimana persis awal ceritanya hingga penulis kemudian tertarik menjadikan Sistimatika Wahyu dan Konstruksi Peradaban Islam sebagai obyek penelitian penulis dalam menyelesaikan study magister jurusan sosiologi di Pasca Unhas. Begitupun ketika kurang lebih dua tahun lalu memutuskan untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan doktoral pada jurusan dan obyek penelitian yang sama dengan konteks yang lebih luas.

Bulan Februari lalu penulis mengajukan proposal penelitian dengan judul Konstruksi Sosial Miniatur Peradaban Islam Merujuk Pada Pola Sistematika Wahyu, dan alhamdulillah dalam ujian seminar penelitian, di hadapan para dosen penguji dan tim promotor, proposal penelitian penulis tersebut dinyatakan diterima dengan nilai sangat baik. Dan mulai saat itulah, nyaris waktu dan pikiran penulis benar-benar tersita untuk penyelesain proyek disertasi tersebut. Dan saat itu pulalah penulis merasa sangat dekat dengan sosok Ustad Abdul Mannan, tidak secara fisik namun dengan wujud pergulatan pikiran dan perasaan pada sebuah maha karya beliau “Era Peradaban Baru”.

Buku Era Perdaban Baru yang beliau tulis adalah salah satu referensi yang penulis jadikan rujukan utama dalam menulis disertasi. Sebuah buku yang memiliki bobot intelektual yang sangat kaya dan “bergizi” sebagai santapan dalam pengembaraan, pergumulan intelektual kontemporer dewasa ini, khususnya terkait tema Peradaban Islam.

Inilah yang kemudian penulis istilahkan “ngopi imajiner” Bersama Sang Murabbi Dr. Abdul Mannan. Betapa tidak, penulis merasakan seakan sosok beliau turut hadir di sampingku menemani menghabiskan dua tiga gelas kopi hitam pahit untuk melewati malam-malam yang panjang dan sunyi, duduk berkhalwat dengan laptop, menikmati irama keyboard yang beradu dengan jari jemari tanganku, merangkai kata, menyusun frasa, membuat klausa menjadikannya kalimat, hingga berhimpun menjadi pragraf dengan satu gagasan pokok dan akhirnya jadilah tumpukan lembaran dengan gagasan pokok tentang sebuah peradaban yang dikonstruksi dengan pola rujukan nubuwwah. 

Dalam buku Era Peradaban Baru, bagian muqaddimahnya, Dr. Abdul Mannan memulai tulisannya dengan menceritakan pengalamannya pada awal Agustus 2005, beliau melepas puluhan sarjana yang telah dinyatakan lulus untuk menuju ke berbagai pelosok Indonesia dalam rangka mendirikan atau menghidupkan atau merintis “kampus suaka generasi”, beliau meminjam istilah dari Pemimpim Umum Hidayatullah KH. Abdurrahman Muhammad, yang mengistilahkan Kampus Hidayatullah sebagai “kampus suaka generasi”.

Beliau secara jujur menuliskan suasana kebatinan dan perasaannya yang cukup dalam menyentuh kala melepas para kader sarjana tersebut. Suasana kebatinan yang mendalam itu timbul bukan lantaran diliputi keraguan bahwa para mahasantri-sarjana kader belia ini tidak akan mampu bertahan menghadapi medan dakwah yang penuh tantangan, namun karena beliau diliputi kebahagiaan sebab langkah kecil dan terbatas dari para mahasantri-sarjana kader ini ditujukan untuk menegakkan Kembali ‘peradaban baru’ yang didasarkan pada perintah ‘membaca dengan nama Tuhan’.

Ada hal yang menarik ketika membaca satu alinea pada bab satu, yang mengurai panjang lebar tentang segumpal darah, tentang perintah membaca dengan nama Tuhan, dan bacaan ini membuat saya kehilangan mood selama berhari-hari untuk menulis, setiap kali duduk di depan laptop, penulis seolah kehilangan semangat, daya nalar stag, otak terasa keram, air mata berlinang tak terbendung, jemari tak kuasa menekan deretan huruf alfabet pada keyboard laptop, kaku tanpa tak tahu sebabnya.

Wallahu musta’an, dengan tekad kuat mendisiplinkan diri secara ketat melakoni kehidupan dengan ber-GNH ria, termotivasi dengan statement beliau yang masyhur di kalangan para kader Hidayatullah; “seorang kader Hidayatullah, yang tidak melaksanakan salat lail di malam hari, maka kekaderannya dianggap cacat”. Alhamdulillah atas izin Allah Swt, hari-hari “bad mood” tersebut akhirnya terlalui. Sepintas teringat memori rekam jejak penulis sebelum ditakdirkan “tersesat” di jalan kebenaran, pada rumah besar perjuangan Hidayatullah. Kumohonkan ampun atas semua itu dalam setiap sujudku, pada sepertiga malam yang kulalui, pada waktu mustajab lainnya. Astaghfirullah wa atubu ilaih.

Pada buku itu di bab satu dalam salah satu alinea, Beliau tuliskan sebagai berikut:

“Saya terhenti di bagian ini dan kehilangan kata-kata ketika hendak melanjutkan penulisan. Saya membaca kembali uraian Alexis Carrel dan Emile Durkheim—terlepas dari pemikiran kontroversial Durkheim mengenai agama yang menyatakan bahwa agama tidak lain merupakan kreasi masyarakat yang berpangkal dari pembedaan antara yang sakral profan serta praktek totemisme -mengenai, ‘peradaban moral’ dan kemudian terhenti lagi beberapa kali hingga saya memutuskan untuk menulis kenyataan yang menggetarkan ini : bahwa Beliau (Nabi Muhammad Saw) yang kita cintai’ (shalawat dan salam semoga terlimpah selalu kepadanya) pernah berkata; 

“Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlaq”

Kemudian beliau menambahkan pada Alinea berikutnya sebagai penjelas dan penegasan dari pokok gagasan dari Alinea sebelumnya:

“Ketika Muhammad Saw mengatakan ‘sesungguhnya aku diutus’, beliau mendeklarasikan bahwa ada kesadaran relijius di balik peradaban yang Beliau Saw bawa dan tegakkan. Kata-kata ‘aku diutus’ menunjukkan adanya visi yang bukan atas kepentingan Beliau Saw, visi tersebut diwujudkan. Lalu ketika Beliau Saw mengatakan ‘untuk menyempurnakan kemuliaan akhlaq’, Beliau Saw mendeklarasikan bahwa visi peradaban yang Beliau Saw bawa adalah sepenuhnya tentang membangun kebaikan yang secara naluri diinginkan oleh semua manusia untuk terwujud, tentang sesuatu yang universal, tentang menyempurnakan tindakan manusia melalui apa yang sudah ada secara fitrah”. 

Peradaban yang dibawa oleh Muhammad Saw dengan demikian mencakup seluruh aspek yang didiskusikan oleh para sarjana, baik mereka yang menitik-beratkan pandangannya pada kesadaran relijius maupun mereka yang menitik-beratkan pandangannya pada kesadaran moral. Melalui kata-kata singkat ‘sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlaq’, Muhammad Saw menunjukkan secara utuh adanya aspek relijius dan aspek moral pada peradaban yang Beliau Saw bawa.

Aspek relijius yang terdapat pada deklarasi mengenai keberadaan Sang Pengutus ini kemudian dirangkum dalam kata tauhid, sedangkan aspek moral yang terdapat pada deklarasi mengenai tujuan pengutusan ini kemudian dirangkum dalam kata akhlaq. Kajian kita lebih lanjut akan membuktikan bahwa hanya pada dua kata kunci inilah peradaban Islam dikaji dan dimaknai : Tauhid dan Akhlaq.

Demikianlah, pengalaman empirik penulis alami, sebuah pergulatan pikiran dan perasaan tentang tema kajian Sistematika Wahyu dan Konstruksi Sosial Peredaban Islam dengan sosok besar seorang ideolog, sang murabbi, maha guru kehidupan Dr. Abdul Mannan, yang baru saja menhentak seantero jagad Hidayatullah dengan tiba-tiba, berita duka kepergian beliau untuk selamanya. Sungguh kami sangat merasa kehilangan atas kepergian beliau dan hanya kepada Allah Azza Wajallah tempat kami memohonkan segala kebaikan atas beliau, diterima segala amal kebaikannya, dilapangkan kuburannya, dan kelak insya Allah akan dipertemukan kembali kami semua di kampung keabadian, Syurga Allah Swt. Amiin.■

Kampus Utama Hidayatullah Makassar, Rabu, 02.26 dini hari. 



BACA JUGA