Kamis, 4 Juni 2020 | 10:54 Wita

Dari Lemahnya Keluarga Hingga Rapuhnya Ukhuwah, 5 Tantangan Keummatan

Editor: Firman
Share

Oleh: Dr Hj Sabriati Aziz MPd.I, Ketua Presidium Badan Musyawarah Organisasi Islam Wanita Indonesia

HidayatullahMakassar.id — Realitas kehidupan berbangsa dan keadaan negara saat ini berupa lemahnya kemampuan pengelolaan negara, krisis multi dimensi hingga semakin merajalelanya tindak korupsi, setidaknya ada lima faktor utama sebagai akar permasalahan yang menjadi pemicunya.

Mulai dari masalah keluarga, pendidikan yang tidak hantarkan pada pembentukan akhlak, maraknya politik transaksional, kesenjangan ekonomi hingga rapuhnya ukhuwah Islamiyah.

Masalah keluarga di Indonesia saat ini dipicu oleh tidak kokohnya pemahaman tauhid dan keyakinan akidahnya. Keluarga masih lemah tanamkan aqidah/tauhid. Sehingga mudah goyah pada kesesatan dan kemaksiatan.

Kedua karena lemahnya pola asuh oleh faktor orangtua semakin terjebak pada kesibukan bekerja di luar rumah. Akibatnya, data menunjukan video porno makin banyak diakses dan perilaku seks bebas semakin mengkhawatirkan.

Ketiga, perkembangan teknologi yang tak seimbang dengan pendampingan orangtua. Anak makin mudah dan leluasa mengakses teknologi digital/selulat tanpa pengasuhan orangtua dan tanpa bekal aqidah yang baik sehingga mereka menjadi generasi yang lost control

Keempat, arus pengaruh globalisasi dengan adanya gerakan idiologi besar yang hendak merusak tatanan keluarga di Indonesia. 

Dalam perundang-undangan no 1 tahun 1974 tertuang hal terkait UU perkawinan yang menyatakan bahwa keluarga itu terdiri dari suami istri merupakan laki dan perempuan. Namun pada rancangan UU penghapusan kekerasan seksual yang dibahas beberapa waktu lalu hal itu dihilangkan.

UU ketahanan keluarga juga ditentang habis-habisan bahwa para penentang mengatakan tidak usah diangkat bahwa keluarga itu suami istri yang merupakan laki-laki dan perempuan. Karena mereka inginkan pernikahan itu tak mesti laki dan perempuan. Nauzubillah.

Kita lihat berbagai negara telah berhasil digolkan aturan yang memungkinkan terjadinya pernikahan sesama jenis.

Masalah kedua konsep pendidikan yang kurang twpay. Indonesia peringkat kesekian di bawah Malaysia. Tetapi pemeringkatan itu ukurannya lebih pada pembelajaran Matematika, teknologi dan sains.

Maka perlu dipikirkan agar konsep pendidikan nasional direstrukturisasi dan dikonsep ulang. Bahwa pendidikan dalam Islam itu fokusnya bagaimana membentuk insan kamil yang sehat lahir dan bathin. Tapi konsep pendidikan saat ini lebih perhatikan sains dan pemeringkatan atau rangking, bukan pada karakter atau akhlak.

Mengapa tidak kita kembali kepada konsep pendidikan yang bisa membentuk keseimbangan dan manusia secara utuh, seperti konsep Naqiup al Attas untuk menghantar manusia berilmu yang memiliki fikir dan zikir kemudian akhirnya menjadi ulil albab.

Jadi pendidikan yang menitikberatkan pada takdib dan adab mulai dari pengetahuan sekaligus aplikasi sehari-hari.

Masalah ketiga pada penerapan sistem demokrasi. Realitas demokrasi kita saat ini telah membentuk oligarki partai politik. Sangat kelihatan dan terasa pada event politik melahirkan perilaku politik transaksional.

Oligarki dan politik transaksional ini subur di lahan masyarakat yang sampai saat ini tidak miliki idialisme dan belum tercerahkan serta ketika tingkat kesejahteraan masyarakat terpuruk. Masyarakat lapar, ketika ditawarkan uang dan sesuatu maka tak pikirkan siapa yang dia pilih apa bisa perjuangkan nasibnya kelak atau tidak.

Pada akhir-akhir ini sangat terasa kekuatan oligarki makin otoriter, terutama dengan lahirnya Perpu Corona, UU Minerba untuk kepentingan asing juga kontroversi RUU Omnibuslow sangat membuat miris dan sedih.

Kita bisa berkesimpulan reformasi politik kita gagal, maka kenapa tidak dengan realitas tersebut kita kembali pada pemilihan tidak langsung.

Masalah keempat berupa kesenjangan ekonomi. Telah diketahui bersama perekonomian Indonesia saat ini telah dikuasai segelintir orang dan dikendalikan oleh kepentingan asing . Kesenjangan begitu kuat, dampaknya bukan saja memperparah kemiskinan ummat, juga bisa menjadi bom waktu permasalahan bangsa ini.

Sebagaimana yang terjadi di Amerika Serikat saat ini, kekacauan di sana akarnya bukan saja karena rasisme tapi juga karena frustasi dan tekanan yang dialami masyarakat oleh kapitalisme 

Maka di Indonesia pemerintah ataukah MUI segera menggerakkan dan menggandeng pelaku usaha untuk menggiatkan ekonomi kerakyatan. Meningkatan kapasitas pengusaha mikro kecil melalui pelatihan dan penguatan modal.

Jika tak dilakukan maka kemiskinan dan kesenjangan ekonomi bisa menjadi sarana permurtadan.

Masalah terakhir yakni rapuhnya ukhuwah Islamiyah. Padahal ukhuwah sangat penting. Ada satu kerinduan bahwa ummat Islam membangun kekuatan politik namun terhambat oleh ukhuwah yang terpecah.

Kita harap ormas besar NU dan Muhamadiyah memberi contoh dan uswah ukhuwah tersebut. Wallahuallam.■ fir

*) Dari catatan on the spot hidayatullahmakassar.id pada Rapat Pleno ke 60 Dewan Pertimbangan MUI Pusat.



BACA JUGA