Kamis, 27 Mei 2021 | 13:21 Wita
Tartib al-Nuzul Sebagai Landasan Manhaji
■ Oleh : Drs. H. Ahkam Sumadiyana, MA, Trainer Nasional, Anggota Dewan Muzakarah Pusat Hidayatullah 2015-2020
HidayatullahMakassar.id — (Muqaddima) Setelah kita memahami bahwa konsepsi ‘Tartib al-Mushaf’ merupakan satu kesatuan sistem yang sempurna dan paripurna yang ditawarkan al-qur’an bagi kehidupan manusia, maka secara otomatis sistem ini juga memiliki methodologi yang sistematis dalam mewujudkan peradaban Islam.
Methodologi yang sistematis inilah yang kemudian ummat Islam dapat mengambil pelajaran bahkan Ittiba’ langsung kepada Tartib Nuzuli sekaligus napak tilas perjalanan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan para shahabat-Nya. Hal ini dilakukan sebagai bentuk realisasi firman Allah Ta’ala:
وَمَا آَتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا
Artinya; “Dan apa saja yang datang dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada kalian, maka ambillah (laksanakanlah), dan apa saja yang kalian di larang untuk mengerjakannya, maka berhentilah (tinggalkanlah)! ” [Q.S.Al-Hasyr: 7].
Apa sajakah yang datang dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam? kepada para shahabat-Nya dan ummat Islam? Salah satunya adalah methodologi da’wah yaitu ‘Manhaj Tartib Nuzuli’, Manhaj ini terasa begitu sempurna dan istimewa, dibandingkan dengan Manhaj da’wah para Nabi dan Rasul terdahulu.
Karena manhaj da’wah ini begitu jelas dan terang benderang dari mana Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam mengawali perjuangan [Membangun Peradaban Islam] dan di mana mengakhirinya. Pertama, Nabi mulai dari diri kemudian keluarga, lalu kerabat, selanjutnya masyarakat. Kedua, mulai dari surah al-alaq ayat 1-5 sampai mencapai kesempurnaan yaitu surah al-maidaah ayat 3. Ketiga, memulai di kota Makkah kemudian kota Madinah dan di akhiri dengan futuh Makkah.
Namun keberhasilan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam melandingkan al-qur’an dalam kehidupan manusia merupakan rekayasa langsung dari Allah Ta’alaa. Bahkan Nabi shallallahu alaihi wa sallam telah dipersiapkan dan diproteksi oleh Allah Swt jauh sebelum beliau lahir di atas dunia. Hal itulah yang dapat kita simpulkan dari firman Allah sebagai berikut;
وَإِذْ قَالَ عِيسَى ابْنُ مَرْيَمَ يَا بَنِي إِسْرَائِيلَ إِنِّي رَسُولُ اللَّهِ إِلَيْكُم مُّصَدِّقاً لِّمَا بَيْنَ يَدَيَّ مِنَ التَّوْرَاةِ وَمُبَشِّراً بِرَسُولٍ يَأْتِي مِن بَعْدِي اسْمُهُ أَحْمَدُ فَلَمَّا جَاءهُم بِالْبَيِّنَاتِ قَالُوا هَذَا سِحْرٌ مُّبِينٌ ﴿٦﴾
Artinya; “Dan (ingatlah) ketika Isa Putra Maryam berkata: “Hai Bani Israil, sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu, membenarkan kitab (yang turun) sebelumku, yaitu Taurat dan memberi kabar gembira dengan (datangnya) seorang Rasul yang akan datang sesudahku, yang namanya Ahmad (Muhammad)” Maka tatkala rasul itu datang kepada mereka dengan membawa bukti-bukti yang nyata, mereka berkata: “Ini adalah sihir yang nyata”.[Ash-Shaaf:6].
Tentu saja kita harus mengambil pelajaran dari kisah Bani Israil, agar kita tidak memandang sebelah mata terhadap syari’ah dan manhaj yang dibawakan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Khususnya Manhaj Da’wah Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam dan para Shahabat-Nya.
Selanjutnya apa itu ‘Tartib al-Nuzul’ yang dimaksudkan adalah penyusunan al-Qur’an dengan mengikuti urutan-urutan ayat atau surah yang turun atau berdasarkan turunnya al-Qur’an. Penyusunan al-Qur’an secara tartib al-nuzul beragam sesuai dengan pengetahuan masing-masing shahabat. [Muhammad al-Tahir Ibn Muhammad Ibn Muhammad Ibn ‘Asyur, Muqaddimah al-Tahrir wa al-Tanwir, dikutip dari CD al-Maktabah al-Syamilah, Jilid 2 h.125].
Untuk mengetahui lebih detail tentang ‘Tartib an-Nuzul, yang kelak kemudian dapat dijadikan sebagai ‘Manhaj Tartib Nuzuli’ serta konsistensi dan konsekuwensinya bagi ummat islam. Ada baiknya kita mengikuti uraian sebagai berikut;
Tentang penyusunan konseb ‘Tartib an-Nuzul’ yang kelak menjadi manhaj da’wah islamiyah dapat dikelompokkan dalam dua pola penulisan yaitu:
Pertama, Tartib secara umum, yaitu mengelompkkan semua surah-surah makkiyah sebelum surah-surah madaniyah tanpa mengurutnya secara berurutan.
Kedua, Tartib secara khusus, yaitu mengurut satu persatu surah-surah al-Qur’an mulai dari yang pertama kali turun hingga yang terakhir, seperti yang dilakukan oleh Ali Ibn Abi Talib dalam mushafnya dengan mendahulukan Iqra’, al-Mudassir, Nun, al-Muzammil, dan seterusnya mulai dari awal surah Makkiyah hingga akhir surah Madaniyah. [Bahkan Abu Bakar memberikan beberapa argument, antara lain: Malaikat Jibril yang mengajarkan penempatan surah dan ayat al-Qur’an kepada Rasulullah Shallallahu alahi wa sallam, kesulitan menempatkan surah al-Fatihah apakah di makkiyah atau di madaniyah, keharusan memisahkan ayat 235-240 surah al-Baqarah di akhir al-Qur’an dan penyusunan al-Qur’an secara berurutan mengandung hikmah-hikmah seperti munasabah al-huruf, munasabah al-Ayat atau munasabah al-suwar. lihat Abu Abdillah Muhammad Ibn Bahadir al-Zarkasyi, al-Burhan fi ‘Ulum al-Qura’an, Bairut: Dar al-Ma’rifah, 1391 H. Jilid 1 h. 259].
Selama ini ummat islam sudah sering membaca kitab tafsir berdasarkan ‘Tartib Mushafi’ yang jumlahnya cukup banyak, namun masih sangat sedikit yang membaca kitab tafsir yang mengacu kepada tulisan berdasarkan ‘Tartib Nuzuli’ karena memang jumlahnya juga masih sedikit.
Agar ummat islam mendapatkan ilmu dan pemahaman lebih sempurna, maka ada baiknya kita membaca kitab tafsir berdasarkan ‘Tartib Nuzuli’ karya mufassir sebagai berikut;
Satu. At-Tafsir Al Hadits karya Muhammad Izzat Darwazah
Secara personal, Izzat Darwazah lahir pada tahun 1888 M. dan meninggal pada tahun 1984 M. Ia merupakan seorang cendekiawan, sastrawan, penerjemah, politikus, dan mufassir asal Nablus Palestina di zaman Ottoman dan ia meninggal di Damaskus Syria. Tercatat ia piawai bahasa Arab, Inggris, Turki, dan Prancis, sehingga ia turut mengikuti berbagai percaturan politik di negaranya. Ia termasuk penulis yang produktif dan berhasil menulis 30-an karya, salah satunya adalah At-Tafsir Al-Hadis.
At-Tafsir Al-Hadis merupakan kitab tafsir yang dicetak sebanyak 12 jilid. Kitab ini termasuk pionir tafsir nuzuli yang ditulis dengan analisa mendalam (tahlili). Dengan analisanya, Izzat Darwazah mengombinasikan sumber tafsir dari berbagai riwayat (bil ma’tsur) dengan pemikirannya (bil-ra’yi). Selain itu, tafsir ini secara detail membahas hal-hal yang besar maupun kecil, asbabun nuzul, kata-akata asing, hingga nasakh-mansukhnya. Karena ditulis dengan pendekatan kronologis, Izzat Darwazah menghadirkan suasanan pewahyuan bagi para pembacanya.
Kedua, Ma’arij al-Tafakkur wa Daqaiq al-Tadabbur karya Abdurrahman Hasan Habannakah Al Maidani
Syekh Habannakah lahir di Syria pada tahun 1345 H./1926 M. dan meninggal pada 1425 H./ 2004 M. ia mengenyam pendidikan di Universitas Al Azhar namun menjadi dosen di berbagai kampus, seperti Universitas Imam Muhammad bin Saud Riyadh, dan Universital Ummul Quro Makkah. Sebelum menysusu kitab tafsir Ma’arij al-Tafakkur wa Daqaiq al-Tadabbur, ia terlebih dulu menuliskan kaidah-kaidah penafsiran dengan judul Al-Qawaid al-Amtsal litadabburi kitabillah.
Ma’arij al-Tafakkur wa Daqaiq al-Tadabbur ini, disusun berdasarkan kitab kaidahnya. Kemudian selama meyusun tafsirnya, ia merujuk pada urutan kronologis turunnya surah yang ada dalam mushaf Syekh Muhammad Ali Kholaf al Husaini al Mashri. Ia berusaha menghadirkan makna-makna ayat sejalan dengan tema sentral surah yang menghimpunnya.
Kitab ini dicetak cukup tebal dengan 15 jilid yang komperehensif. Syekh Habannakah memberikan sentuhan kebahasaan, qiraat, dan riwayat-riwayat penafsirannya. Yang menarik menurut catatan Gus Awis adalah, kitab ini menampilkan tema dan pelajaran dari masing-masing ayat, sehingga selain berfungsi sebagai tafsir, kitab ni cocok untuk tadabbur.
Tartib Nuzuli ini memiliki paradigma dan pola yang berbeda dengan manusia yang ingin mendapatkan hasil secara sempurna tetapi tidak mau melalui proses dan tahapan yang baik dan benar. Sebagaimana protesnya orang kafir terhadap turunnya al-qur’an sebagai berikut;
وَقَالَ الَّذِينَ كَفَرُوا لَوْلَا نُزِّلَ عَلَيْهِ الْقُرْآنُ جُمْلَةً وَاحِدَةً كَذَلِكَ لِنُثَبِّتَ بِهِ فُؤَادَكَ وَرَتَّلْنَاهُ تَرْتِيلاً ﴿٣٢﴾
Artinya; “Berkatalah orang-orang yang kafir: “Mengapa Al Qur’an itu tidak diturunkan kepadanya sekali turun saja?”; demikianlah supaya Kami perkuat hatimu dengannya dan Kami membacakannya secara tartil”. [al-Furqaan:32].
Padahal Al Quran secara bertahap memperlihatkan suatu methode yang berfaedah dalam membentuk pribadi muslim. Yaitu secara bertahap dan bersifat alami untuk memperbaiki jiwa manusia, meluruskan perilakunya, dan membentuk kepribadian, serta menyempurnakan eksistensinya. Akhirnya, jiwa itu tumbuh dengan tegak di atas pilar-pilar yang kokoh dan mendatangkan buah yang baik bagi kebaikan umat manusia seluruhnya dengan izin Allah swt. [Manna’ Kholil Al-Qattan, Sutdi Ilmu-ilmu Al Quran, terj. Drs. Mudzakir A.S., Lentera Nusa, Bogor 1987, hlm. 144.]
Wallahu A’lam
TERBARU
-
Transformasi dan Transmisi di Masa Transisi Hidayatullah
24/11/2024 | 07:58 Wita
-
Nilai dan Keutamaan Hidup Muhammad Sebelum jadi Rasul
22/11/2024 | 06:04 Wita
-
Raih Belasan Medali, Atlet Tapak Suci Pesantren Ummul Quro Hidayatullah Tompobulu Terbaik di Kejurnas UINAM Cup
18/11/2024 | 05:42 Wita