Rabu, 19 Mei 2021 | 07:50 Wita

Manhaj Qur’ani, Mudah Memahami dan Aplikan Al-Qur’an

Editor: Firman
Share

■ Oleh : Drs. H. Ahkam Sumadiyana, MA, Trainer Nasional, Anggota Dewan Muzakarah Pusat Hidayatullah 2015-2020

HidayatullahMakassar.id — (Iftitah) Pembahasan berikutnya adalah Manhaj Qur’ani, mengingat tema ini memiliki korelasi dan relevansi yang sangat kuat dengan tulisan manhaj sebelumnya, dengan harapan agar dapat mengantarkan ummat Islam menjadi lebih mudah dalam memahami dan mengaplikan Al-Qur’an baik dalam kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat maupun bernegara.

Sebenarnya sudah menjadi pengetahuan umum bahwa Al-Quran memiliki banyak definisi, karena karya dan tuliskan para ulama, walaupun antara pendapat yang satu dengan yang lainnya berbeda-beda namun pada dasarnya bisa saling menambahkan atau melengkapi.

Pengertian Al-Qur’an

Lafazd kata al-Qur’an yang akar katanya terdiri dari huruf   قرأ yang secara etimologi adalah bermakna mengumpulkan atau berkumpul. [Abu al-Husain Ahmad ibn Faris ibn Zakariya, Mu’jam Maqayis al-Lugah, (Bairut: Dar al-Fikr, t. th.), Jilid 5 h. 78-79].

Al-Lihyani mengatakan bahwa Al-Qur’an itu bentuk mashdar dari fi’il madhi ( يقرأ – قرأ), maknanya adalah talaa (تلا) yang berarti membaca. Pendapat inilah yang barangkali paling sering kita dengar dari banyak kalangan. Namun sebagian ulama ada yang berpendapat lafadz Al-Qur’an itu adalah nama asli dan bukan bentukan dari kata lain, maksudnya tidak punya akar kata.

Argumentasinya mengapa al-Qur’an diberi nama demikian karena di dalamnya terkumpul hukum-hukum, kisah-kisah dan lain sebagainya. Namun secara terminology Manna’ al-Qatthan menyatakan bahwa al-Qur’an adalah;

كلام الله المنزل على محمد ص  المتعبد بتلاوته

 Artinya; “Kalam Allah yang diturunkan terhadap Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam. sebagai bacaan ibadah. [Dr. Manna’ al-Qatthan, Mabahis fi ‘Ulum al-Qur’an.  (Cet. XIX, Bairut: Muassasah al-Risalah, 1406 H./1983 M.) h. 21].

Tertib Mushafi dan Tertib Nuzuli

Tartib dalam bahasa Arab terdiri dari huruf “رتب” memiliki makna sesuatu yang tetap (tidak bergerak). [Muhammad Ibn Mukrim Ibn Manzur al-Afriqi, Lisan al-‘Arab (Cet. I; Bairut: Dar Sadir, t. th.). Jilid 1 h. 409.]. 

Selanjutnya dalam kajian Ulumul Qur’an cukup dikenal dengan istilah Tartib Mushafi dan Tartib Nuzuli. [“Di dalam kitab Mu’jam ‘Ulum al-Qur’an dinyatakan: “Urutan-urutan surah berdasarkan mushaf telah diketahui melalui mushaf-mushaf yang beredar. Tidak ada keraguan bahwasanya urutan surah berdasarkan susunan mushaf berbeda dengan urutan turunnya (tartibun nuzul), di antara dalilnya bahwa di dalam al-Qur’an terdapat ayat-ayat Madaniyah yang turun setelah hijrah, namun bersambung dengan ayat-ayat Makkiyah yang turun sebelum hijrah”. Ibrahim Muhammad al-Jurmiy, Mu’jam ‘Ulum al-Qur’an, Damaskus: Dar al-Qalam, cet. 1, 2001/1422 H, hal. 88”].

Dengan demikian pembahasan ‘Manhaj Qur’ani’  meliputi  persoalan yang menyangkut apa, mengapa dan bagaimana ‘Tertib Mushafi’ sebagai landasan syar’i/konsesional kemudian ‘Tertib Nuzuli’ sebagai landasan Manhaji/operasional. 

Untuk  memahaminya kita perlu mencermati surah al-Maidaah ayat 48 sebagai berikut;

… لِكُلٍّ جَعَلْنَا مِنكُمْ شِرْعَةً وَمِنْهَاجاً وَلَوْ شَاء اللّهُ لَجَعَلَكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلَـكِن لِّيَبْلُوَكُمْ فِي مَا آتَاكُم فَاسْتَبِقُوا الخَيْرَاتِ إِلَى الله مَرْجِعُكُمْ جَمِيعاً فَيُنَبِّئُكُم بِمَا كُنتُمْ فِيهِ تَخْتَلِفُونَ ﴿٤٨﴾

Artinya; “…Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu,” [Al-Maidaah:48].

Allah Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan bahwa tiap-tiap umat memiliki syariat dan manhaj masing-masing.

لِكُلٍّ جَعَلْنَا مِنْكُمْ شِرْعَةً وَمِنْهَاجًا ۚ

Artinya; ”Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang.”

Menurut Ibnu Abbas dan Mujahid, syir’ata (شرعة) adalah tuntunan, minhaja (منهاجا) adalah jalan, Syaikh Wahbah Az Zuhaili menjelaskan, syir’ata (شرعة) adalah apa yang disyariatkan Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk para hambaNya berupa agama, sistem, aturan dan hukum-hukumnya. Sedangkan minhaja (منهاجا) adalah jalan terang yang ditempuh manusia dalam beragama. Ibnu Katsir menjelaskan, seluruh Nabi dan Rasul, menyampaikan ajaran tauhid yang sama. Yaitu menyeru kepada laa ilaaha illallah dan menjahui thagut. Sebagaimana firman-Nya:

وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولًا أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ

Artinya; “Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): “Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu” (QS. An Nahl: 36)

Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan kepada hamba-hamba-Nya agar berlomba-lomba dalam kebaikan.

وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ لَجَعَلَكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلَٰكِنْ لِيَبْلُوَكُمْ فِي مَا آتَاكُمْ ۖ فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ 

Artinya; “Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat, tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu. Maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan.

Ibnu Katsir menjelaskan, Allah telah menetapkan berbagai macam syariat untuk menguji hamba-hambaNya dengan memberi pahala kepada orang yang taat dan menyiksa mereka yang durhaka. “Berlomba-lombalah kamu semuanya berbuat pekerjaan-pekerjaan yang baik di dalam dunia ini, dengan memegang pokok pertama yaitu ketaatan kepada Allah dan percaya bahwa di belakang hidup yang sekarang ini ada lagi hidup akhirat,” [M.Abdul Ghoffar E.M. Terj.Tafsir Ibnu Katsir, Pustaka Imam Syafi’i Jilid 3 h. 103].■ fir



BACA JUGA