Kamis, 13 Mei 2021 | 09:05 Wita
Khutbah Ied : Meraih Kemenangan Hakiki dengan Ramadan
■ Oleh : Ust Abdul Qadir Mahmud MA, Kepala Departemen Dakwah dan Layanan Ummat Yayasan Albayan Hidayatullah Makassar
HidayatullahMakassar.id — idak ada satu detikpun hidup yang kita jalani kecuali pada saat itu ada nikmat Allah yang menyertai kita, udara yang sedang kita hirup, darah yang masih mengalir di tubuh kita, denyut jantung yang tak pernah berhenti, serta nikmat-nikmat yang lainnya yang takkan pernah bisa kita hitung jumlahnya.
Itu artinya bahwa Allah SWT tidak pernah melupakan hambaNya meskipun sesaat, akan tetapi hambaNyalah yang selalu melupakan Dia, bahkan sebagian dari hamba Allah itu justru menggunakan nikmat yang diberikan untuk berbuat maksiat kepadaNya, untuk itu mari kita sadari dan kita renungkan, semoga kita tidak termasuk kedalam golongan tersebut, akan tetapi kita harus menjadi hambaNya bersyukur agar nikmat itu selalu bertambah bagi kita. Allah SWT berfirman:
(( لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيْدَنَّكُمْ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِيْ لَشَدِيْدٌ )) (سورة إبراهيم: 7)
“Jika kalian bersyukur terhadap nikmatku niscaya akan aku tambah nikmat tersebut, tetapi jika kalian kufur sungguh azabKu sangatlah pedih” (Q.S. Ibrahim: 7 )
Kita patut bersyukur, Idul Fitri tahun ini dapat diselenggarakan lebih semarak, lebih ramai, dan lebih khidmat. Kita bisa melaksanakan shalat Idul Fitri di masjid atau di lapangan terbuka dengan jama’ah yang lebih besar. Tidak seperti tahun lalu, sebahagian dari kita melaksanakan shalat Idul Fitri di rumah masing-masing atau di tempat-tempat yang tersembunyi.
Pada hari yang mulia ini ditengah musibah corona yang mendera, umat Islam di barbagai belahan dunia beramai-ramai melantunkan kata-kata Takbir, Tahmid dan Tahlil sebagai wujud rasa bahagia dalam menyambut hari kemenangan. Mereka semua berbahagia karena sebulan penuh telah berhasil melawan hawa nafsu serta mengisi detik-detik waktunya dengan berbagai macam bentuk kebaikan yang akan mendekatkan diri mereka kepada Allah SWT.
Berpuasa di siang hari, shalat di malam hari, memperbanyak tilawah Al-Quran, berdo`a dan beristighfar, berinfaq dan bersedekah, menjalin hubungan silaturrahim, dan lain sebagainya, seraya berharap semua kebaikan tersebut diterima hendaknya oleh Allah SWT dan dapat memperpanjang catatan amalan kebaikan kita yang akan diperlihatkan di akhirat kelak.
Orang yang berbahagia sesungguhnya adalah mereka yang telah mendapatkan ampunan dan maghfirah Allah SWT karena telah memanfaatkan detik-detik Ramadhan secara maksimal untuk berbagai bentuk kebaikan yang dilaksanakan atas dasar iman dan penuh harapan. Sesuai dengan sabda Nabi SAW:
(مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ) (رواه البخاري ومسلم)
“Siapa yang melaksanakan puasa Ramadhan dengan penuh iman dan mengharapkan pahala dan ampunan maka diampuni dosa-dosanya yang telah berlalu” (H.R. Al-Bukhari dan Muslim)
( مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ ) (رواه البخاري ومسلم)
“Siapa yang menghidupkan malam ramadhan dengan dasar iman dan mengharapkan pahala dan ampunan maka diampuni dosa-dosanya yang telah berlalu” (H.R. Al-Bukhari dan Muslim)
Perbuatan dan amal baik yang sudah menjadi kebiasaan umat Islam untuk dilakukan selama Ramadhan diharapkan mampu membentuk karakter dan tabi`at mereka untuk berbuat hal yang sama setelah Ramadhan berlalu, janganlah pernah menjadikan Ramadhan sebagai topeng dalam kehidupan kita, tapi jadikanlah sebagai wajah asli kita dalam menjalani sebelas bulan kehidupan berikutnya.
Apabila selama Ramadhan kita selalu menyempatkan diri untuk membaca Al-Quran, mendatangi masjid untuk shalat berjama`ah, bangun di sepertiga malam untuk sahur dan tahajud, berempati terhadap fakir miskin, meneteskan air mata saat bermunajat dan bersimpuh di hadapan Allah SWT, serta berbagai kebaikan lainnya, maka janganlah sampai kebaikan-kebaikan tersebut menjadi wajah indah kita yang bersifat sesaat, akan tetapi jadikanlah ia sebagai perhiasan jiwa yang tetap bertahan dan terlaksana setelah Ramadhan meninggalkan kita. Ketahuilah bahwa Tuhannya Ramadhan adalah Tuhannya Syawwal juga, dan Tuhan sebelas bulan berikutnya.
Oleh karena itu hari raya idul fitri yang dijadikan sebagai agenda terakhir dari seluruh rangkaian ibadah Ramdhan pada hakikatnya bukanlah saat-saat berakhirnya peluang untuk mendulang kebaikan, tapi justru sebaliknya bahwa idul fitri adalah saat awal memulai kehidupan baru dengan hati yang baru dan semangat yang baru pula.
قال عمر بن عبد العزيز:
لَيْسَ الْعَيْدُ لِمَنْ لَبِسَ الْجَدِيْدَ إِنَّمَا الْعَيْدُ لِمَنْ خَافَ يَوْمَ الْوَعِيْدِ
Umar Bin Abdul Aziz berkata:
Hari raya itu bukanlah milik orang yang memakai pakaian baru
Akan tetapi hari raya adalah milik orang yang takut dengan hari pembalasan
وقال الحسن البصري: ” كُلُّ يَوْمٍ لَا يُعْصَى اللهُ فِيْهِ فَهُوَ عَيْدٌ، وَكُلُّ يَوْمٍ يَقْطَعُهُ الْمُؤْمِنُ فِيْ طَاعَةِ مَوْلَاهُ وَذِكْرِهِ وَشُكْرِهِ فَهُوَ لَهُ عَيْدٌ “
Imam Hasan Al-Bashri berkata: “Setiap hari yang di dalamnya tidak ada kedurhakaan kepada Allah SWT maka hari itu adalah hari raya, dan setiap hari di mana seorang mukmin tetap berada dalam ketaatan Rabnya serta berzikir dan bersyukur kepadaNya maka bagi dia hari itu adalah hari raya”.
Inilah hakikat Idul Fitri yang sesungguhnya, meraih kemenangan dengan prestasi taqwa serta mempertahankan prestasi taqwa tersebut di masa yang akan datang.
Kemenangan seperti apakah yang akan diraih oleh umat Islam melalui ibadah Ramadhan?.
Ada tiga bentuk kemenangan bagi umat Islam:
Pertama, Kemenangan Spritual.
Kemenangan spiritual adalah kemenangan jiwa, jiwa yang menang adalah jiwa yang selalu bersih dan suci dari berbagai noda dan penyakit seperti syirik, sombong, hasad dan dengki, dan berbagai penyakit hati lainnya yang diharapkan melalui Ramadhan dapat terkikis habis. Allah SWT berfirman:
)) قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا وَقَدْ خَابَ مَنْ دَسَّاهَا )) ( سورة الشمس: 9-10)
“Sungguh telah menang dan beruntung orang yang mensucikan jiwanya, dan sungguh merugi orang yang mengotorinya” (Q.S. Asy-Syams: 9-10)
Jiwa yang menang adalah jiwa yang selalu berupaya untuk membentengi diri dari berbagai bentuk penyimpangan dan penodaan terhadap aturan yang telah ditetapkan oleh Allah SWT, dan itu adalah hakikat taqwa sesungguhnya yang ingin dicapai melalui ibadah puasa. Sesuai dengan firman Allah SWT:
))يَا آيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْن )) (سورة البقرة: 183(
“Hai orang-orang yang beriman diwajibkan bagi kalian untuk berpuasa sebagaimana yang telah diwajibkan kepada orang-orang sebelum kalian, semoga kalian menjadi orang yang bertaqwa” (Q.S. Al-Baqarah: 183).
Taqwa adalah suatu kondisi iman dan semangat spiritual yang harus selalu terpatri dalam jiwa seseorang, agar secara berkesinambungan ia selalu merasakan kehadiran dan pengawasan Allah dalam setiap gerak langkah aktifitas yang dilakukannya, sehingga dengannya ia termotivasi untuk tetap taat dan memperbanyak ibadah kepada Allah SWT.
Apabila sifat taqwa itu sudah tumbuh subur dalam jiwa seseorang maka ia akan selalu rela dan senang hati untuk menerima dan melaksanakan aturan Allah, apapun konsekwensi yang akan dihadapinya, meskipun akan mengorbankan sesuatu yang paling dia cintai, atas nama cinta kepada Allah dan Rosulnya. Jika itu berhasil ia lakukan maka saat itu ia sedang merayakan puncak kemenangan spritualnya.
Ada satu karakter jiwa yang ingin dibina oleh Ramadhan yaitu, jujur atau amanah. Ibadah puasa adalah ujian bagi kejujuran kita, tidak ada yang mengetahui kepastian orang yang berpuasa selain daripada Allah SWT, berbeda dengan ibadah yang lain seperti shalat, haji, zakat dan lain sebagainya.
Kejujuran adalah satu kekuatan yang terdapat dalam jiwa yang membuat pemiliknya mampu melakukan tugas-tugas besar yang diembankan kepadanya. Dengan kejujuran berbagai persoalan dalam hidup dapat diselesaikan, sebaliknya tanpa kejujuran berbagai problematika kehidupan akan selalu bermunculan. Oleh karena itu menghiasi diri dengan sifat jujur adalah satu tuntutan yang dibebankan kepada seluruh elemen masyarakat; pemimpin, pejabat, hakim, politikus, pengusaha, wartawan, kaum akademisi, rakyat dan lain sebagainya.
Dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara jangan sampai terjadi krisis kejujuran karena hanya akan melahirkan kehancuran demi kehancuran. Itulah fakta dan kenyataan; korupsi merajalela, keserakahan pejabat terjadi di mana-mana, pengangguran susah diatasi, kesenjangan sosial dan penindasan rakyat kecil sudah menjadi pajangan kasat mata, ketidakharmonisan dalam kehidupan rumah tangga, dan lain sebagainya, itu semua berawal dari ketidakjujuran dan ketidakadilan.
Maka apabila pemimpin sudah mampu untuk jujur terhadap rakyatnya, para pejabat jujur dalam mengemban amanah jabatannya, para hakim jujur dalam menyelesaikan perkara persidangannya, para suami jujur dalam memimpin keluarganya, serta semua kita mampu untuk jujur terhadap diri kita sendiri, jujur kepada Allah dan jujur kepada masyarakat maka yakinlah kedamaian hidup pasti akan dirasakan, persoalan demi persoalan akan semakin dapat disingkirkan dari jalan peradaban, dengan demikian kita dapat menghiasi dinding-dinding harapan dengan penuh optimis dalam menatap masa depan diri dan bangsa.
Kedua: Kemenangan Emosional
Ibadah Ramadhan akan membimbing umat Islam menuju kemenangan emosional. Emosi adalah sifat perilaku dan kondisi perasaan yang terdapat dalam diri seseorang. Ia bisa berupa rasa ingin marah, rasa takut, rasa cinta atau keinginan yang kuat untuk mencintai dan membenci, rasa cemas, rasa minder dan lain sebagainya.
Emosi yang menang adalah apabila ia terkendali, yang dalam istilah agama disebut dengan sabar. Jika kita perhatikan ternyata konsep kecerdasan emosi ini berbanding sama dengan konsep kesabaran dalam Islam.
Sabar dalam Islam bukanlah satu kelemahan, tetapi sabar justru merupakan satu kekuatan. Di dalam Al-Quran QS Al-Anfal: 65-66 dijelaskan bahwa satu orang yang sabar mampu mengalahkan sepuluh lawan dalam pertempuran, atau setidaknya mereka mampu menghadapi lawan sebanyak dua kali jumlah mereka.
Ketika seorang bersabar dan dapat menahan amarahnya dalam menghadapi satu perkara yang ia hadapi maka dia bukanlah orang yeng lemah, akan tetapi justru dia adalah orang yang memiliki kecerdasan emosional yang tinggi. Dalam sebuah ungkapannya Rasulullah SAW bersabda: “ orang yang kuat bukanlah orang yang selalu menang dalam berkelahi, akan tetapi orang kuat adalah orang yang dapat menahan diri saat dia marah” (H.R Imam Al-Bukhari).
Keterkaitan antara puasa dengan membangun kecerdasan emosional begitu terlihat dalam penjelasan Rasulullah SAW yang mengatakan: “Apabila seseorang sedang berpuasa lalu ada yang menghina dia atau mengajaknya untuk berkelahi maka hendaklah ia mengatakan: saya sedang berpuasa, saya sedang berpuasa” (H.R. Al-Bukhari dan Muslim).
Dengan arti kata kondisi seseorang yang sedang berpuasa akan dapat menahan emosinya agar tidak membalas cacian dan dendam dengan perbuatan yang sama.
Ibadah puasa akan selalu membimbing umat Islam untuk dapat mengendalikan jiwa dan nafsunya dengan cara zikir dan syukur kepada Allah SWT. Jika seseorang sudah mampu untuk selalu berzikir dan bersyukur, apalagi jika hal itu sudah menjadi bagian yang tak terpisah dari diri dan kehidupannya, maka itu adalah indikasi dari emosional yang terkendali, sehingga dengannya ia akan selalu menghadapi berbagai persoalan hidup dengan tenang dan percaya diri, dan itu adalah puncak kemenangan emosional.
Satu lagi pelajaran penting yang dapat ditarik bahwa ibadah puasa akan menghapus sekat-sekat pemisah antara yang kaya dengan yang miskin, semua mereka sama di hadapan Allah SWT, apa yang dirasakan oleh orang-orang miskin selama ini, itu jugalah yang dapat dirasakan oleh orang kaya saat ia berpuasa, maka puasa akan membangun jembatan untuk menyatukan perasaan antar sesama umat Islam tanpa memandang status sosial untuk saling mencintai, saling membantu, dan saling berbagi.
Mungkin ini jugalah salah satu dari rahasianya kenapa zakat fitrah itu diwajibkan kepada semua orang, yang miskin sekalipun. Supaya semua kita, dan juga mereka yang biasa meminta-minta, pernah merasakan nikmatnya memberi, minimal sekali dalam setahun. Inilah salah satu bentuk didikan emosional yang kita dapatkan dari ibadah puasa.
Ketiga: Kemenangan Intelektual
Ibadah Ramadhan juga akan melahirkan sosok-sosok pribadi muslim yang menang secara intelektual. Kemenangan intelektual ditandai dengan kecerdasannya dalam memahami realita yang selalu dapat memberikan keseimbangan pada diri dan pemikiran.
Namun ada satu hal yang harus kita pahami bahwa terminologi kecerdasan intelektual dalam Islam tidak berbanding sama dengan teori kecerdasan yang dipahami oleh banyak orang. Selama ini banyak orang yang mengukur kecerdasan lewat pencapaian-pencapaian angka dalam batas tertentu. Sehingga seorang anak dikatakan cerdas apabila nilai rata-ratanya di sekolah 9 atau 10. Seorang mahasiswa dianggap cerdas ketika ia sudah mampu menghapal banyak diktat perkuliahannya lalu menghasil nilai IPK tertinggi, begitu seterusnya.
Sementara di dalam Islam kesuksesan dan kecerdasan diukur secara proporsional antara kwalitas dan kwantitas. Kecerdasan ada pada mereka yang menempatkan ilmu di hati bukan sekedar di lidah dan retorika saat berdiskusi tapi tidak disertai dengan aksi. Rasulullah SAW bersabda:
( اَلْكَيِّسُ مَنْ دَانَ نَفْسَهُ وَعَمِلَ لِمَا بَعْدَ الْمَوْتِ) (رواه الترمذي)
Orang yang berakal (cerdas secara intelektual) adalah orang memperbudak dirinya sendiri dan selalu berbuat untuk kepentingan akhirat) (H.R. At-Tirmizi)
Kecerdasan intelektual dalam perspektif Islam ditandai dengan apabila selalu bisa membedakan mana yang halal dan mana yang haram. Selalu mempertimbangkan antara manfaat dan mudhorat. Selalu mengerti akan hak dan kewaiban.
Inilah tiga kemenangan besar yang diharapkan dapat diraih secara nyata dalam setiap pribadi muslim melalui pelaksanaan ibadah puasa. Sebagai seorang muslim yang setiap tahun melaksanakan ibadah ramadhan harus selalu menginstropeksi dirinya di setiap penghujung hari ramadhan, agar ia tahu apakah ia hari ini benar-benar berbahagia untuk dirinya, atau untuk orang lain. Intropeksi itu menjadi penting untuk dilakukan agar Ramadhan tidak sebatas rutinitas tahunan. Demikianlah khutbah ini disampaikan, semoga bermanfaat.
Mari kita bersama untuk mempertahankan kemenangan yang sudah dicapai selama Ramadhan, ibarat sebuah bangunan ia bagaikan sebuah istana megah yang mengagumkan maka janganlah diruntuhkan kembali, ibarat sebuah tenunan ia sudah menjadi pakaian yang sangat indah dipandang mata maka janganlah diurai kembali benang yang sudah ditenun itu ketika Ramadhan berlalu meninggalkan kita.■ fir
*) Disarikan dari naskah khutbah Idul Fitri 1442 H di Masjid Nurul Badar Borong Antang, Makassar
TERBARU
-
Transformasi dan Transmisi di Masa Transisi Hidayatullah
24/11/2024 | 07:58 Wita
-
Nilai dan Keutamaan Hidup Muhammad Sebelum jadi Rasul
22/11/2024 | 06:04 Wita
-
Raih Belasan Medali, Atlet Tapak Suci Pesantren Ummul Quro Hidayatullah Tompobulu Terbaik di Kejurnas UINAM Cup
18/11/2024 | 05:42 Wita