Kamis, 22 Oktober 2020 | 12:25 Wita
Menegakkan Syura Dalam Organisasi
■ Sirah Aplikatif : Drs. H. Ahkam Sumadiyana, MA, Anggota Dewan Muzakarah Pusat Hidayatullah
HidayatullahMakassar.id — Kajian tentang system Syura secara normatif sudah sering kita jumpai, baik melalui tulisan, seminar dan ceramah-ceramah bebas. Bahkan wacana untuk mempraktekan system Syura dalam kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat, organisasi maupun pemerintahan sudah sering kita dapatkan.
Secara teori ummat Islam tidak akan mengalami kesulitan untuk menegakkan system Syura dalam semua lini kehidupan, karena system syura telah dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan para shahabat-Nya, bahkan telah disyari’atkan bagi ummat islam.
Sayangnya sampai saat ini masih sulit kita temukan dalam forum-forum tertentu yang sengaja mengadopsi system Syura, anehnya hal ini juga merasuki organisasi keagamaan. Tentu saja ini merupakan tantangan bagi ummat Islam untuk menegakkan syura dalam organisasinya.
Untuk menegakkan sistem syura dalam organisasi diperlukan keikhlasan dan lapang dada serta niat karena Allah, pemahaman yang kuat dan keinginan bersama dalam berorganisasi. Selanjutnya kita dapat mengikuti langkah-langkah sebagai berikut;
1. Memahami Makna dan Hakekat Syura
Pengertian Syura (Musyawarah) secara etimologi kata “syura” berasal dari kata sya-wa-ra, berarti mengeluarkan madu dari sarangnya. [Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah, Prenada Media, Jakarta, 2014, hlm. 214.]
Kata musyawarah, berasal dari bahasa Arab yang ‘Musyaawaratun’ merupakan bentuk isim mashdar dari kata kerja, Yusyaawiru- Syaawara. Kata ini terambil dari akar kata , Sya-Wa-Ra dan yang bermakna pokok mengambil sesuatu, menampakkan dan menawarkan sesuatu. [Ali Nurdin, Qur‟anic Society, PT. Gelora Aksara Pratama, 2006, hlm. 226]
Dalam kamus-kamus bahasa Arab dijelaskan arti kata ini adalah perkataan orang Arab syartu – al’asala: artinya “aku mengambil madu dari tempatnya”, juga ungkapan ‘Syaawartu Fulaanan’ artinya “aku mengemukakan pendapatku dan pendapatnya”. Jadi dengan demikian syura artinya mengambil sesuatu dari tempatnya, yakni dari seseorang yang memang pantas diambil pendapatnya. [ Muhammad Abed Al-Jabiri, Syura, Terj. Mujiburrahman, Lkis Yogyakarta, 2003,hlm 26].
Sedangkan secara istilah, beberapa ulama terdahulu telah memberikan definisi syura, diantara mereka adalah; Ibnu al-Arabi al-Maliki mendefinisikannya dengan berkumpul untuk meminta pendapat (dalam suatu permasalahan) dimana peserta syura saling mengeluarkan pendapat yang dimiliki [Ahkam al-Quran 1/297].
Sedangkan definisi syura yang diberikan oleh pakar fikih kontemporer di antaranya adalah proses menelusuri pendapat para ahli dalam suatu permasalahan untuk mencapai solusi yang mendekati kebenaran [Asy Syura fi Zhilli Nizhami al-Hukm al-Islami hlm. 14].
2. Organisasi sebagai Ahli Waris Sistem Syura
Ummat Islam terutama organisasi Islam telah mendapatkan warisan yang sangat istimewa dalam menyelesaikan permasalahan baik urusan pribadi, keluarga, bermasyarakat, organisasi sampai bernegara. Warisan tersebut adalah system syura atau musyawarah.
Tentu saja yang namanya warisan kita memiliki kebebasan untuk memanfaatkan atau membiarkannya, artinya secara fungsional semua organisasi Islam boleh menerapkan system syura sebagai rasa syukur atas warisan yang ada. Prakteknya kita boleh melihat bagaimana para shahabat meminta pendapat dan mewarisinya.
Faktanya para sahabat sering meminta pendapat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam masalah-masalah yang bersifat personal. Sebagai contoh Fathimah yang meminta pendapat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika Mu’awiyah dan Abu Jahm berkeinginan untuk melamarnya [HR. Muslim : 1480].
Dalam kehidupan berkeluarga dan rumah tangga Allah berfirman;
فَإِنْ أَرَادَا فِصَالا عَنْ تَرَاضٍ مِنْهُمَا وَتَشَاوُرٍ فَلا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا وَإِنْ أَرَدْتُمْ أَنْ تَسْتَرْضِعُوا أَوْلادَكُمْ فَلا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِذَا سَلَّمْتُمْ مَا آتَيْتُمْ بِالْمَعْرُوفِ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ (٢٣٣)
Artinya; “Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan“. [Al Baqarah : 233].
Imam Ibnu Katsir mengatakan, Maksud dari firman Allah (yang artinya), ” Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya” adalah apabila kedua orangtua sepakat untuk menyapih sebelum bayi berumur dua tahun, dan keduanya berpendapat hal itu mengandung kemaslahatan bagi bayi, serta keduanya telah bermusyawarah dan sepakat melakukannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya. Dengan demikian, faidah yang terpetik dari hal ini adalah tidaklah cukup apabila hal ini hanya didukung oleh salah satu orang tua tanpa persetujuan yang lain. Dan tidak boleh salah satu dari kedua orang tua memilih untuk melakukannya tanpa bermusyawarah dengan yang lain [Tafsir al-Quran al-‘Azhim 1/635].
Dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, Demikian pula Allah telah memerintahkan rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam untuk bermusyawarah dengan para sahabatnya dalam setiap urusan. Allah Ta’ala berfirman,
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الأمْرِ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ (١٥٩)
Artinya; “Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu Berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu, Karena itu ma’afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya”. [Ali ‘Imran : 159].
Di dalam ayat yang lain, di surat Asy Syura ayat 38, Allah Ta’ala berfirman,
وَالَّذِينَ اسْتَجَابُوا لِرَبِّهِمْ وَأَقَامُوا الصَّلاةَ وَأَمْرُهُمْ شُورَى بَيْنَهُمْ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ
Artinya; “Dan orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Rabb-nya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka”. [Asy Syura : 36-39].
Maksud firman Allah Ta’ala (yang artinya), “sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka” adalah mereka tidak melaksanakan suatu urusan sampai mereka saling bermusyawarah mengenai hal itu agar mereka saling mendukung dengan pendapat mereka seperti dalam masalah peperangan dan semisalnya [Tafsir al-Quran al-‘Azhim 7/211].
Seluruh ayat al-Quran di atas menyatakan bahwasanya syura (musyawarah) disyari’atkan dalam agama Islam, bahkan sebagian ulama menyatakan bahwa syura adalah sebuah kewajiban, terlebih bagi pemimpin dan penguasa serta para pemangku jabatan. Ibnu Taimiyah mengatakan, “Sesungguhnya Allah Ta’ala memerintahkan nabi-Nya bermusyawarah untuk mempersatukan hati para sahabatnya, dan dapat dicontoh oleh orang-orang setelah beliau, serta agar beliau mampu menggali ide mereka dalam permasalahan yang di dalamnya tidak diturunkan wahyu, baik permasalahan yang terkait dengan peperangan, permasalahan parsial, dan selainnya. Dengan demikian, selain beliau shallallahu’alaihi wa sallam tentu lebih patut untuk bermusyawarah” [As Siyasah asy-Syar’iyah hlm. 126].
Sunnah nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menunjukkan betapa nabi shallallahu’alaihi wa sallam, senantiasa bermusyawarah dengan para sahabatnya dalam berbagai urusan terutama urusan yang terkait dengan kepentingan orang banyak.
Dalam rangka mewarisi dan mensyukuri system syura yang telah disyari’atkan dalam al-qur’an maupun as-sunnah, maka ormas Hidayatullah telah mufakat untuk menjadikan system syura dalam mengelola oranisasi. Wallahu a’lam.■
TERBARU
-
Difasilitasi BI Green House, Santri Putri Al Bayan Kembangkan Minat Berkebun
23/01/2025 | 18:25 Wita
-
Alhamdulillah.. Ketua STAI Al Bayan Tuntaskan Studi Doktoral
23/01/2025 | 06:46 Wita
-
Tausyiah Raker : “Kalau tak memiliki tak mungkin memberi.”
15/01/2025 | 17:20 Wita