Selasa, 19 Mei 2020 | 08:25 Wita

Problematika dan Realitas Obyektif Anak Yatim

Editor: Firman
Share

■ Sirah Aplikatif  005 : Drs. H. Ahkam Sumadiyana, MA, Anggota Dewan Muzakarah Pusat Hidayatullah

HidayatullahMakassar.id — Apa yang dapat kita pikirkan dan bayangkan ketika mendengar di sekitar kita ada anak yatim yang terlahir dalam keadaan miskin? 

Sepintas kita akan menyimpulkan bahwa kehadirannya akan menambah beban dan permasalahan dalam kehidupan. Problematika anak yatim seperti itu selalu mengiringi perjalanan hidupnya baik yang terjadi pada masa yang lampau, saat ini maupun yang akan datang.

Begitulah kira-kira yang dapat kita petik dari  realitas obyektif tentang adanya anak yatim, untuk lebih jelasnya mari kita tengok kembali bagaimana yang terjadi saat kelahiran Nabi Muhammad SAW, beliau terlahir dari ibunda Siti Aminah, janda miskin menempati sebuah rumah dengan seorang budak, Barakah Al-Habsyiyah (Ummu Aiman). 

Sementara sudah menjadi kebiasaan bangsawan Arab waktu itu, bayi yang baru dilahirkan akan disusukan kepada wanita lain. Wanita yang dipilih biasanya adalah wanita dusun. Alasannya supaya si anak dapat hidup di alam yang segar dan mempelajari bahasa Arab yang baku. 

Menunggu jasa wanita yang menyusui, Aminah menyusui sendiri Muhammad kecil, selama tiga hari. Lalu dilanjutkan oleh Tsuwaibah, budak Abu Lahab, paman Nabi Muhammad. Kemudian Muhammad dan bayi kalangan terpandang Arab akan disusui oleh murdi’at (para wanita yang menyusui bayi). 

Muhammad ditawarkan kepada murdi’at dari Bani Sa’ad yang sengaja datang ke Makkah mencari bayi-bayi yang masih menyusu dengan harapan mendapat bayaran dan hadiah. Namun mereka menolak karena Muhammad adalah anak yatim.  Namun masih ada satu orang yang belum mendapatkan bayi di antara mereka, dialah Halimah Sadiyah akhirnya diapun mengambil Muhammad sebagai anak susuannya.

Bukan Pilihan dan Tujuan Utama Menyusui Anak Yatim

Mengapa Murdi’at dari Bani Sa’ad tidak tertarik bahkan menolak untuk menyusui Muhammad?  Berikut jawaban aplikatifnya; 

Pertama, sengaja Allah SWT memilih seorang ibu yang akan menyusui  Muhammad adalah wanita yang tulus, penuh kasih sayang yang dapat memelihara seperti anak kandungnya. Bahkan tidak memiliki keinginan untuk mencari keuntungan pribadi.

Kedua, secara manusiawi memang semua orang ingin mendapatkan pekerjaan yang mudah dan menguntungkan, ingin kaya, berkuasa dan hidup mewah, tidak terkecuali Murdi’at Bani Sa’ad mereka pasti sudah membayangkan bagaimana beratnya mengurus anak yatim yang miskin. Sehingga pilihan terbaik adalah menolak Muhammad SAW.

Ketiga, memilih jalan pendakian, bukankah dalam kehidupan ini ternyata ada saja manusia yang tidak pernah berfikir sedikitpun untuk kaya raya, menjadi penguasa, dan hidup enak tanpa beban. Bahkan sebaliknya mereka rela berkurban dengan harta dan jiwanya untuk orang lain khususnya untuk anak yatim yang miskin.

Apa yang terbayang oleh sebagian besar manusia terhadap anak yatim lagi miskin?  Untuk menjawabnya, penulis punya kisah nyata;

Pada tahun 1990-an waktu itu ada Silaturrahim Nasional Hidayatullah di Gunung Tembak, tempat acaranya di Gues Hause dan Prasmanan pinggir danau waktu itu bangunan masih pakai kayu dan tripleks, puncak acaranya adalah pembahasan tentang sistem pendidikan atau tarbiyah di Hidayatullah.

Saya tidak ingat persisnya siapa pemateri utamanya tetapi yang masih penulis rekam adalah K.H. Abdullah Said Rahimahullahu Ta’alaa menguraikan dengan gamblang tentang bagaimana pendidikan di pesantren Hidayatullah yang menampung anak yatim, piatu, fakir, miskin dan terlantar agar dapat menjadi mujahid dakwah.■



BACA JUGA