Selasa, 25 Mei 2021 | 05:49 Wita

Tartib al-Mushaf Sebagai Landasan Syar’i

Editor: Firman
Share

Oleh : Drs H Ahkam Sumadiyana MA, Trainer Nasional Hidayatullah

HidayatullahMakassar.id — (Iftitah) Fitrah manusia membutuhkan agama dalam kehidupannya, sedangkan agama yang benar dan sesuai dengan fitrah manusia adalah Islam. Demikianlah yang dapat kita simpulkan setelah kita mengkaji Manhaj Qur’ani. Namun untuk lebih memahami dan meyakininya, ummat Islam seharusnya mampu membedakan bahwa al-qur’anul kariim terdiri dari ‘Tartib Mushfi’, dan ‘Tartib Nuzuli’.

Pentingnya memahami dengan baik dan benar tentang ‘Tartib al-Mushaf’ agar ummat Islam menyadari bahwa sesungguhnya penyusunan al-Qur’an berdasarkan urutan-urutan surah dan ayat memang diajarkan langsung oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam kepada para shahabat-Nya.

Namun permasalahan berikutnya tetap ada karena al-Qur’an belum terkumpul dalam satu mushaf, sedangkan al-Qur’an tidak turun dalam satu lokasi, waktu dan kondisi yang sama, sehingga al-Qur’an membutuhkan penjagaan dari Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam dan para shahabat-Nya.

Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam kemudian memerintahkan para shahabat untuk menghafal al-Qur’an, kemudian perintah untuk menulis al-Qur’an, dan pelarangan menulis selain al-Qur’an, selanjutnya perintah untuk mengajarkan al-Qur’an. [Bukti Rasulullah menjaga al-Qur’an dengan hafalan adalah ayat yang berbunyi: ولا تعجل بالقرآن من قبل أن يقضى إليك وحيه “ Dan janganlah kamu tergesa-gesa membaca al-Qur’an sebelum disempurnakan mewahyukannya kepadamu.” (QS. Taha: 114).

Sedangkan bukti penjagaan al-Qur’an dengan tulisan adalah hadis Nabi: لا تكتبوا عنى ومن كتب عنى غير القرآن فليمحه “Janganlah kalian menulis sesuatu apapun dariku selain al-Qur’an, barangsiapa yang menuliskan selain al-Qur’an maka hendaklah dia menghapusnya”. Lihat: Abu al-Husain Muslim Ibn al-Hajjaj al-Qusyairi, op.cit., Jilid 8 h. 229.]. 

Begitu pentingnya penulisan al-qur’an sehingga Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam mengangkat sekretaris untuk menulis semua ayat atau surah al-Qur’an yang turun kepadanya dan ditulis langsung di lokasi turunnya atau pasca turunya. [Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu al-Qur’an/Tafsir, (Cet. XIV; Jakarta: Bulan Bintang, 1992 M), h. 69]. 

Padahal waktu itu alat-alat tulis masih sangat terbatas, belum lagi benda-benda yang dapat ditulisi yang juga sangat langka dan sulit didapatkan. Akhirnya para sekretaris menulis al-Qur’an dengan menggunakan pelapah kurma, lempengan batu, kulit hewan, dedaunan, pelana dan potongan tulang binatang. [Manna’ Khalil al-Qatthan, Mabahis fi ‘Ulum al-Qur’an.  (Cet. XIX, Bairut: Muassasah al-Risalah, 1406 H./1983 M.) h. 186].    

Pembahasan ‘Tartib al-Mushaf’ ini, kita fakuskan pada Tartib al-ayat dan Tartib al-Suwar, agar ummat Islam lebih konsen terhadap hakekat diturunkannya al-qur’an yaitu untuk membangun peradaban Islam. Sekaligus dapat terhindar dari jebakan dan konstroversi tentang penulisan al-qur’an.

Adapun yang dimaksud dengan ‘Tartib al-ayat’, yaitu menulis al-Qur’an sesuai dengan urutan ayat-ayat dalam satu surah. Menurut pendapat yang kuat, membaca ayat-ayat secara berurutan hukumnya wajib. Pendapat tersebut diamini oleh Daud al-‘Attar dengan alasan bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam membaca beberapa surah secara berurutan ayat-ayatnya.

[Hukum tersebut jika ayat-ayat yang dibaca terdapat dalam satu surah, akan tetapi boleh tidak menyelesaikan satu surah, bahkan boleh beralih membaca surah lain asalkan ayatnya dibaca secara berurutan. Hal itu berdasarkan apa yang dilakukan Rasulullah dan menjadi dasar sebagian ulama bahwa tartib al-ayat dalam al-Qur’an tauqifi dalam pembukuan dan penulisannya. Lihat: Daud al-‘Attar, Mujaz fi ‘Ulum al-Qur’an, Op.Cit. h. 174].

Sedangkan ‘Tartib al-suwar’, yaitu menulis al-Qur’an sesuai dengan urutan surah-surah dalam mushaf Usmani. Walaupun hukum membaca surah secara berurutan tidak wajib, bahkan para pembacanya diperkenankan memilih surah-surah yang ingin dibaca sesuai dengan kemampuannya, karena Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pernah shalat malam dengan membaca surah al-Baqarah kemudian surah al-Nisa’ kemudian surah Ali Imran. [Abu ‘Abdillah Ahmad Ibn Muhammad Ibn Hambal, Musnad Ahmad Ibn Hambal, (Cet.I; Bairut: ‘Alam all-Kutub, 1419 H./1998 M.) Jilid 5 h. 400].

Dalam sejarah kita juga dapat menjumpai beberapa model penyusunan dan penulisan al-qur’an setidaknya kita harus mengetahui dan memahami penulisan dalam tiga versi atau model yaitu:

Pertama, Tartib al-mushaf berdasarkan panjang-pendeknya surah-surah al-Qur’an. [Para Ulama membagi al-Qur’an dalam empat kategori, yaitu: al-tiwal (surah-surah panjang) yang mencakup tujuh surah yaitu al-Baqarah, Ali Imran, al-Nisa’, al-Maidah, al-An’am, al-A’raf dan al-Anfal digabung dengan Baraah, al-maun (surah yang lebih dari seratus ayat), al-masani (surah yang ayatnya mendekati seratus dan al-mufassal (surah-surah pendek). Lihat: Salahuddin Arqadan, Mukhtasar al-Itqan fi’Ulum al-Qur’an li al-Suyuti, (Cet. II; Bairut: Dar al-Nafais, 1407 H./1987 M.) h. 74-75]       

Tertib ini ditempuh oleh Ubai Ibn Ka’ab dan Abdullah Ibn Mas’ud ra dalam mushafnya dengan mendahulukan al-Baqarah, al-Nisa’ dan Ali Imran. [Jalaluddin al-Suyuti, al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an, dikutip dari CD al-Maktabah al-Syamilah dari webside:http://www.alwarraq.com].

Kedua, Tartib Mushaf Abu Bakar ra yaitu penulisan al-Qur’an yang mengurut ayat-ayatnya saja tanpa mengurut surah-surahnya. [Lihat: Muhammad Abd ‘Azim al-Zarqani, Manahil al-‘Irfan fi ‘Ulum al-Qur’an (Cet. I; Bairut: Dar al-Fikr, 1996 M.), Jilid 1 h.182]  

Ketiga, Tartib mushaf usmani yaitu penulisan urutan-urutan surah berdasarkan apa yang tercantum dalam mushaf Usman Ibn ‘Affan ra yang dikenal dengan rasm al-usmani. [Lihat Muhammad Abd ‘Azim al-Zarqani, Manahil al-‘Irfan fi ‘Ulum al-Qur’an (Cet.I; Bairut: Dar al-Fikr, 1996 M.), Jilid 1 h. 73].

Namun yang perlu kita garis bawahi bahwa para sahabat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam sepakat dalam menulis urutan ayat-ayat al-Qur’an, adapun perbedaan mereka hanya pada penyusunan surah-surahnya. Yang demikian itu terjadi karena memang Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam telah menunjukkan letak setiap ayat yang turun kepada para sahabat-Nya melalui malaikat Jibril. [Lihat hadis dalam kitab sunan Abi Daud, op.cit. Jilid 1 h. 268].

Penegasan dan penetapan ‘Tartib al-mushafi’ besifat tauqifi sesuai dengan ‘Jumhur Ulama Ahlussunah wal jama’ah’ Pendapat para ulama bahwa pola rasm Utsmani bersifat tauqifi dengan alasan bahwa para penulis wahyu adalah sahabat-sahabat yang ditunjuk Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, pola penulisan tersebut bukan ijtihad para sahabat. Dan pola penulisan tersebut juga dipertahankan para sahabat dan tabi’in, sehingga menurut pendapat ini hukum mengikuti rasm Usmani adalah wajib, dengan alasan bahwa pola tersebut merupakan petunjuk Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersifat tauqifi. 

Tentu saja ada perbedaan pendapat antara yang tauqifi dan yang ijtihadi namun penulis fokus terhadap pendapat yang tauqifiyah. Wallahu A’lam.■



BACA JUGA