Sabtu, 23 Januari 2021 | 11:47 Wita

Manajemen Organisasi Ala Nubuwwah

Editor: Firman
Share

Ngopi Peradaban: Irfan Yahya, Ketua STAI Al Bayan, Kandidat Doktor Sosiologi Sekolah Pasca Unhas Makassar

(Catatan dari Arena Raker Yayasan Al Bayan Kampus Utama Hidayatullah Makassar

HidayatullahMakassar.id — Alhamdulillah, tiada kata yang patut diucapkan selain ucapan rasa syukur atas segala nikmat yang Allah SWT berikan kepada kita semua. Atas hidayah dan maunah dari Allahlah sehingga kita masih berada dan dapat bertahan berjibaku di jalan perjuangan “rumah besar” Hidayatullah yang sama-sama kita cintai ini.

Dua hari dua malam, mempertautkan hati, rasa serta pikiran dalam satu frekuensi profetik untuk menapaki amanah kelembagaan yang dibebankan di pundak kita masing-masing. Membangun argumentasi, mengurai nalar untuk sebuah rancang bangun program lima tahunan. Kadang sepintas berkelabat dalam alam pikir bawah sadar kita, bahwa apa yang sedang kita lakoni ini adalah sesuatu yang berada di luar batas nalar pikiran kita.

Capaian kesadaran mengantarkan pada satu pemakluman bahwa sungguh ada banyak kelemahan dalam lingkup keseharian “rumah besar” kita ini. Namun kesadaran itu tidak kemudian menghadirkan turbulensi pada sikap dan mental kita, bahkan ini dinilai sebagai sebuah kesyukuran karena apa yang menjadi temuan kesadaran itu bukanlah sebuah kesalahan yang disengaja, melainkan sebuah kekurangan yang menantang kita untuk terus berbenah diri dengan sandaran kesadaran manhaj yang kita miliki.

Tanpa sandaran kesadaran manhaj ini, apa yang ditulis dan didiskusikan selama dua hari dua malam hanyalah sebatas deretan angka-angka dan program kerja yang buat kita stress dan cepat lelah. Apa yang kita rumuskan hanyalah selembar kertas mati tanpa arti. Olehnya itu penting hal-hal yang bersifat rasional ini kita bungkus dengan hal-hal yang bersifat spiritual dan ideologis. 

Turbulensi yang muncul adalah respon yang bersifat alamiah dan lumrah bagi diri manusia pada umumnya. Namun dengan sandaran kesadaran manhaj yang kita miliki kemudian turbulensi itu justru menjadikan kita semakin kokoh untuk tandang ke gelanggang perjuangan. Rotasi dari daerah “basah” ke daerah “kering”, mutasi jabatan, maisyah dan lain sebagianya hanyala menjadi bumbu penyedap dalam lakon kehidupan ini.

Sangat sulit menemukan ada organisasi masyarakat yang besar mampu menjalankan dengan mulus urusan rotasi dan mutasi jabatan lintas wilayah dan daerah. Demikianlah salah satu wujud hidayah Allah SWT yang hinggap di “rumah besar” kita dan menjadi modal besar untuk hadir di tengah-tengah masyarakat. Insnya Allah.

Masyarakat adalah sebuah fenomena yang alamiah. Sang sosiolog muslim legendaris Ibnu Khaldun  menyebutkan ada tiga alasan utama mengapa manusia bersatu untuk hidup bersama dalam sebuah kelompok yang disebut masyarakat.

Pertama alasan ekonomi, yakni alasan untuk saling membantu untuk memenuhi kebutuhan hidup dan selanjutnya melahirkan konsekuensi- konsekuensi yang ditimbulkan oleh distribusi kerja.

Kedua alasan keamanan dan keyamanan, manusia berkumpul dan berkelompok untuk mempertahankan diri dari gangguan dari pihak luar dan yang ketiga alasan otoritas, dipandang sebagai karakter khusus manusia, kebutuhan otoritas manusia mampu mempertahankan wilayah wilayah yang menjadi garis demarkasinya. Manusia tidak akan mampu bertahan tanpa ketiga hal tersebut, demikian kesimpulan Ibnu Khaldun.

Dengan kesadaran itulah yang mengharuskan kita mengelola “rumah besar” ini. Sebuah kesadaran profetik penuh inspirasi. Adalah hal yang patut disyukuri atas strategi dasar yang telah dirumuskan oleh para ustad senior kita, guru besar kehidupan bagi para generasi pelanjut sebagai pedoman dasar mengelola “rumah besar” ini. Sebuah strategi dasar yang bersumber dari air kehidupan nubuwwah yang supercanggih.

Tiga penopang dasar dan utama “rumah besar” ini adalah konsolidasi idiil, konsolidasi organisasi dan konsolidasi wawasan. Topangan pertama dan utama adalah konsolidasi ideologi manhaj dan jatidiri, terdiri dari enam pilar dan bermuara pada kesadaran tauhid, komitmen berjihad dalam arti luas serta komitmen ketaatan pada pemimpin. Gerakan nawafil adalah unsur inti untuk menilai mutu dan kualitas seorang kader.

Topangan kedua dan utama adalah konsolidasi organisasi yang juga memiliki enam pilar; administrasi, regulasi, manajemen, kepemimpinan, kultural dan spiritual. Dan Topangan ketiga dan utama adalah konsolidasi wawasan yang terdiri dari memiliki fikrah yang salim, akhlaq dan keilmuan dalam memandang dan memposisikan dunia ini.

Disinilah letak kecanggihan manajemen organisasi “rumah besar” ini, mampu mengawinkan dua usur sekaligus yang sangat mustahil didapatkan dalam konsepi organisasi apa pun di dunia ini. Unsur imamah jamaah sebagai penyuplai ruh perjuangan dan konsolidasi enam pilar organisasi yang membuat “rumah besar” ini senantiasa luwes beradaptasi dengan segala kondisi, termasuk kemampuan “berselancar” di era disrupsi saat ini.

Eksistensi kesyukuran ini berwujud pada kemampuan kitab ber-fastabiqul khaerat baik secara pribadi atau pun secara kelembagaan. Tanpa minat dan kemampuan itu, bisa jadi kita abai akan nikmat yang telah Allah SWT berikan ini, sehingga kita tergolong orang yang kufur nikmat. Naudzubillah. Sepantasnya orang-orang beriman itu selalu menghasilkan karya nyatanya untuk perjuangan ini, namun jika seandainya tidak, maka minimal tidak menjadi beban bagi perjuangan ini.

Dan pada akhirnya mari kita sama-sama saling mendo’akan dalam kesabaran dan kebaikan untuk menuju puncak pencapaian predikat muhsinin. Bukankah janji Allah SWT; “Walladzina jahadu fina lanahdiyannahum subulana. Wa innallaha lama’al-muhsinin” Allah akan lebih bersungguh-sungguh menuntun orang yang bersungguh-sungguh dan Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik. “ Wallahualam.■

Bontoramba, menanti Mentari fajar 24 Januari 2021.  



BACA JUGA