Jumat, 11 Desember 2020 | 14:05 Wita

Menakar Gerakan Hidayatullah dalam Perspektif Sosiologi Kontemporer

Editor: Firman
Share

(Catatan Musyawarah Wilayah V DPW Hidayatullah Sulsel)

Oleh: Irfan Yahya ST MSi, Ketua STAI Al Bayan & Kandidat Doktor Ilmu Sosiologi (Bidang Sosiologi Pengetahuan)

LIPSUS MUSWIL, HidayatullahMakassar.id — Salah satu karunia terbesar hidup di akhir zaman ini adalah ditakdirkan hidup berkehidupan dalam naungan Imamah Jama’ah Hidayatullah. Mungkin ini dianggap subyektif, namun sebagai kader yang menulis risalah ini memiliki hak proregatif dan merasa perlu untuk menyampaikannya. Juga sebagai wujud pertanggung jawaban intelektual akademik sesuai disiplin ilmu yang kami miliki.  

Ibarat sebuah rumah, tentu kita akan menjumpai bagian-bagian tertentu dari rumah tersebut yang dianggap butuh maintance, memerlukan rehabilitasi, renovasi bahkan rejuvenasi – satu kosakata yang sedang viral dalam alam bawah sadar kader Hidayatullah saat ini— Begitu pulalah dengan Hidayatullah. Alhamdulillah Alaa Kulli Hal dengan segala kekurangan dan kelebihannya, ormas ini mengalami peningkatan yang cukup signifikan dalam berbagai bidang, khususnya dalam bidang tarbiyah, dakwah dan layanan sosial keumatan sebagai episentrum gerakannya.

Dalam menapaki derap langkah perjuangan, Hidayatullah lahir bermula hanya dari mimbar ke mimbar pengajian, lalu berkembang menjadi pesantren dan panti asuhan, kemudian tumbuh berkembang menjadi organisasi sosial dan kini berubah menjadi ormas, adalah sebuah proses metamorfosis sistem sosial yang lengkap dan paripurna. Walaupun dalam prosesnya tersebut sejumlah masalah hadir, seperti diantaranya; masalah kepemimpinan, manhaj, mutasi jabatan, manajemen dan struktur organisasi tentu tak dapat kita hindari bahkan oleh sebagian dari kader merasakan itu sebagai sebuah “turbulensi” yang membuncah adrenalin.

Harus disyukuri, agar kita tidak termasuk orang yang kufur nikmat, bahwa dengan segala problematika yang melingkupi dari masa transisi hingga saat ini, Hidayatullah tetap on the track dalam prinsip utamanya yang nilainya tak terhingga yakni: Kepemimpinan (imamah) dan Konsep Gerakan (manhaj). Kedua prinsip ini adalah harta karun peradaban nubuwwah yang berhasil ditemukan oleh Al Ustadz Abdullah Said, pendiri Hidayatullah, yang dijaga serta dirawat oleh ustadz-ustadz senior lembaga dan senantiasa berkobar dalam diri setiap kader muda milenial yang siap menjadi “kayu bakar” demi memastikan suluh api perjuangan ini tetap menyala hingga akhir zaman. 

Adapun soal struktur, manajemen, regulasi dan kebijakan administrasi dan keuangan boleh dikata itu urusan bentuk dan kemasan saja. Tapi walaupun sifatnya hanya kemasan, tidak pantas kita aggap sepele, karena fakta sosialnya, kita hidup di era masyarakat yang masih mendahulukan “bungkus” ketimbang “isi”. Kita masih berhadapan dengan masyarakat “kemasan”. Masyarakat yang rela membeli mahal popcorn yang dijual di Bioskop atau Mall tanpa menawar, beda jika ia membeli benno di pasar tradisional, sudah murah, masih ditawar setengah harga pula. Padahal sumber bahan bakunya sama-sama dari jagung. 

Dua prinsip utama inilah – imamah dan manhaj – yang harusnya dijadikan bekal para kader untuk percaya diri terjun dan tarung ke gelanggang juang, siap berinteraksi dalam sistem sosial mana pun juga. Dengan catatan bahwa setiap kader haruslah terlebih dahulu bertekad dan mampu memantaskan diri untuk mengemban amanah itu, amanah untuk menjadi “burung kicau” dengan celupan prinsip kepemimpinan dan manhaj ala Hidayatullah.

Hidayatullah Menyonsong Era Disrupsi (4.0 atau 5.0 Society)

Disadari atau tidak era disrupsi 4.0 dan atau 5.0 society telah mengubah secara signifikan sistem sosial masyarakat, baik pada sistem ekonomi, sosial, politik serta dunia pendidikan. Dengan perubahan itu penduduk bumi, tidak terkecuali Indonesia telah mengalami persoalan hidup yang semakin kompleks dan ruwet, ibarat benang kusut yang susah ditemukan ujung pangkalnya. Dalam dunia pendidikan misalnya, IPTEK yang seolah telah dipertuhankan oleh manusia modern saat ini telah terbukti gagal mengantarkan manusia keluar dari segala macam persoalan hidup. Akar masalah dari persoalan ini menurut analisis Prof Syed Muhammad Naquib al-Attas adalah problem ilmu pengetahuan, orientasi orang menuntut ilmu. Kalau ilmu itu digunakan untuk orientasi materi semata, maka ilmu itu nantinya akan digunakan dengan segala macam cara untuk mencapai tujuan tersebut yang tidak sesuai dengan adab. Jadi akar masalah yang sedang kita hadapi saat ini adalah di sekitar pengertian ilmu. 

Ada kecendrungan  orang tersesat dalam menuntut ilmu, mereka menyekolahkan anaknya masuk di kedokteran supaya nanti jadi dokter dan menjadi kaya, mereka menyekolahkan anaknya menjadi insinyur agar nanti dapat kerja proyek dan dapat uang dan menjadi kaya, masuk ke fakultas ilmu pemerintahan dan politik agar kelak bisa jadi politisi dan kaya raya, tapi tidak terpikir sama sekali jika harta dan jabatan yang mereka dapatkan itu dari hasil sogok, hasil korupsi, ilmu bahwa sesuatu itu dicapai harus sesuai tuntunan syariat itu tidak ada sama sekali terbetik dalam pikiran orang saat ini, ini tentang pengetahuan, akal pikiran kita telah diliputi oleh masalah sifat dan tujuan ilmu yang salah, ilmu semata untuk materi. 

Inilah yang dikatakan “los of adab”. Ilmu tanpa adab, yang dimaksud adab bukan moral sopan santun, adab adalah kombinasi iman, ilmu dan amal. Kalau ilmu kita ini tidak mengantarkan kita pada keimanan, berarti ilmu kita ini salah. Orang Islam telah terperdaya dan secara tidak sadar menerima pengertian ilmu yang dianggap sama dengan pengertian dalam kebudayaan Barat yang materialis, ini yang terjadi. Jadi suap, korupsi, pelanggaran hukum, ujung-ujungnya adalah penggunaan ilmu untuk sesuatu yang tidak sesuai dengan worldview Islam.

Man Izdada ilman wa lam yazdad hudan lam yazdad Minallahi illa bu’dan: siapa yang tambah ilmunya tapi tidak tambah petunjuknya atau imannya dia akan tambah jauh dari tuhanNya, berarti ilmu harus menambah iman, ilmu kalau akhirnya meninggalkan iman berarti ilmunya salah.

Alhamdulillah dalam proses tumbuh kembangnya, berangkat dari semangat dan kesadaran tersebut, ritme dan denyut nadi pergerakan Hidayatullah hingga saat ini telah dirasakan seantero pelosok tanah air. Baik secara internal maupun eksternal, hingga saat ini Hidayatullah untuk skala nasional hadir dan telah berkiprah di 353 DPD dan kurang lebih 600 pondok pesantren. Khusus di Sulsel, ritme dan denyut nadi pergerakannya telah hadir dan berkiprah di 24 DPD dan 45 pondok pesantren dengan sebaran kader tingkat ula sebanyak 252 orang dan tingkat wusta sebanyak 148 orang. Sebuah pencapaian resources khususnya dalam aspek sumber daya manusia sebenarnya sudah layak untuk mendukung ekspansi dakwah Hidayatullah di Sulsel.  

Di bidang pendidikan pada level nasional, Hidayatullah telah mampu berkiprah serta mengukir prestasi gemilang. Kita telah memiliki sekian banyak sekolah dan madrasah, mulai dari PAUD, TK hingga Perguruan Tinggi. Bahkan di beberapa daerah, sekolah Hidayatullah menjadi tempat favorit dan unggulan yang cukup diminati oleh masyarakat. Bahkan hingga saat ini Hidayatullah banyak dikenal oleh masyarakat identik dengan lembaga pendidikannya. Untuk kita di Sulsel, rupanya butuh mujahadah dan komitmen yang lebih kuat lagi untuk terus berbenah dengan segala potensi yang kita miliki. Hingga saat ini kita belum mampu mengkapitalisasi resources yang kita miliki untuk kemaslahatan dan ekspansi dakwah Hidayatullah.

Era disrupsi saat ini, mau tak mau telah memaksa kita untuk terus berbenah dan memaksimalkan segala resources yang telah Allah SWT anugerahkan kepada Hidayatullah. Di bidang Pendidikan misalnya, ada ekspektasi dari masyarakat akan tersedianya sekolah berkualitas sesuai selera mereka dan selerah pasar dan di satu sisi juga ada kebutuhan yang tak kalah pentingnya menyiapkan konsep sekolah yang menjadi model institusi pendidikan yang sesuai dengan “isi kepala” dan “isi dompet” para orang tua anak-anak warga dan jama’ah Hidayatullah sebagai pewaris dan pelanjut gerakan Hidayatullah di masa yang akan datang. 

Di bidang layanan sosial keummatan dituntut untuk menghadirkan satu program yang dapat dijadikan sebagai “role model”. Alhamdulillah Munas Hidayatullah yang baru saja digelar telah menetapkan program Rumah Qur’an sebagai salah satu program prioritas yang dihadirkan sebagai wujud layanan ummat. Kita berharap Rumah Qur’an ini segera berkembang pesat dengan harapan dapat diterima dengan baik kehadirannya oleh masyarakat. Satu yang menjadi masukan bagi kita semua, bahwa Rumah Qur’an ini idealnya bukan hanya hadir dalam rangka membenahi baca tulis Alqur’an saja, tetapi juga hadir sebagai solusi atas basic need masyarakat di tingkat struktur masyarakat paling bawah dalam segala aspek kehidupan. Rumah Qur’an diharapkan hadir sebagai solusi masalah ekonomi rumah tangga, solusi terhadap masalah kesehatan dan sanitasi dan lain sebagainya. Dengan pola ini, insya Allah Hidayatullah dapat masuk dalam alam bawah sadar masyarakat dengan cepat dan mudah.

Di bidang ekonomi, kita belum menemukan formula yang efektif untuk menjadikan Hidayatullah sebagai organisasi yang mandiri dalam hal pendanaan. Seyogianya kita mampu melahirkan sebuah model fundraising yang membuat lembaga ini bukan hanya sekedar mandiri secara internal tapi juga bisa menjadi lembaga donor bagi kemaslahatan masyarakat secara umum. Mental proposal untuk memenuhi kebutuhan lembaga secara perlahan harus kita tinggalkan karena baik langsung atau tidak langsung akan berdampak pada muru’ah Hidayatullah. Alhamdulillah semangat dan upaya menuju ke sana sudah mulai terasa dan nampak di pelupuk mata kita saat ini.

Di bidang politik untuk skala nasional memang selama ini masih sangat minim, tapi untuk kita di Sulsel, Hidayatullah hadir sebagai sebuah entitas politik yang layak diperhitungkan dalan setiap event politik dan lagi-lagi kita belum mampu mengkapitalisasi kondisi ini menjadi sesuatu yang menopang suksesnya ekspansi dakwah Hidayatullah di Sulsel.

Sistimatika Wahyu: Dasar-dasar Konstruksi Sosial Peradaban Islam

Meminjam teori Konstruksi Sosial sebagai pisau analisis yang diajukan oleh seorang sosiolog kontemporer, peletak dasar sosiologi pengetahuan Peter L Berger. Ia menyakini bahwa realitas merupakan hasil upaya manusia melalui kekuatan konstruksi sosial terhadap dunia sosial, dalam menyusun teorinya, ia bertolak pada dua gagasan sosiologi pengetahuan, yaitu “realitas” dan “pengetahuan”. 

Realitas didefenisikan sebagai kualitas yang melekat pada fenomena-fenomena yang diakui memiliki keberadaan yang tidak tergantung pada kehendak diri sendiri. Sedangkan kenyataan merupakan fakta sosial yang bersifat eksternal, umum, dan mempunyai kekuatan memaksa kesadaran masing-masing individu. Terlepas dari individu itu suka atau tidak, mau atau tidak mau, realitas itu tetap ada. Sedangkan pengetahuan diartikan sebagai keyakinan bahwa suatu fenomena-fenomena itu nyata dan mempunyai karakteristik. Pengetahuan merupakan realitas yang hadir dalam kesadaran individu.

Peter L Berger lebih lanjut menjelaskan adanya dialektika antara individu dengan dunia sosio-kultural yang berlangsung dalam suatu proses yang mengandung tiga momen yang berlaku secara simultan, yakni eksternalisasi, obyektivasi dan internalisasi. Dalam perspektif yang lebih luas, dengan memandang masyarakat sebagai proses yang berlangsung dalam ketiga momen tersebut serta masalah legitimasi yang berdimensi kognitif dan normatif, maka realitas sosial tak lain adalah suatu konstruksi sosial upaya masyarakat sendiri dalam perjalanan sejarahnya, dari masa silam ke masa kini menuju masa depan.

Sebelum pemilik teori ini lahir ke dunia dan menemukan serta menyebarkan teorinya, tiga moment dialektika individu dengan dunia sosio-kultural yang berproses secara simultan ini telah sukses dipraktekkan oleh masyarakat Madinah berpuluh abad sebelumnya. Di bawah arahan Rasulullah SAW atas tuntunan lima surah yang pertama kali diturunkan secara bertahap oleh Allah SWT melalui perantaraan malaikat Jibril. Dan oleh Hidayatullah dipopulerkan dan dijadikan manhaj gerakan dengan istilah Sistimatika Wahyu.

Sesuai pengalaman empirik dan aktual Hidayatullah memaknai peradaban Islam sebagai manifestasi nilai-nilai keimanan dalam kehidupan nyata. Sebagai visi gerakan, membangun peradaban Islam seharusnya dipahami secara sadar dan baik oleh setiap kader dan jama’ah Hidayatullah. Bahkan tidak hanya itu, selain harus dipahami dan diimplementasikan dalam kehidupan nyata, juga harus percaya diri membahasakannya secara tepat dan benar kepada pihak esternal Hidayatullah sebagai bagian dari kewajiban dakwah fardiah masing-masing kader Hidayatullah. 

Secara singkat dapat kita jelaskan dengan pendekatan teori konstruksi sosial tersebut, ketiga moment dialektika yang beproses secara simultan pada setiap interaksi individu dengan sosio-kulturalnya jika dimerujuk pada pola Sistimatika Wahyu dapat kita tarik benang merahnya. Walaupun secara substansi sangat jauh berbeda. Apalagi jika dikaitkan pada aspek epistemologinya sungguh sangat jauh berbeda. Namun dalam konteks ini kita tidak sedang membahas itu, teori ini hanya kita jadikan satu pisau analisis guna menakar laju gerakan sosial yang sedang dan telah Hidayatullah bangun ini dalam perspektif lain dari yang selama ini jamak dipakai di internal Hidayatullah.

Bahwa kita sebagai kader Hidayatullah dalam mengemban visi dan misi gerakannya tentu akan berhadapan dengan kenyataan sosial yang dalam pandangan sosiologi pengetahuan – salah satu cabang sosiologi kontemporer— kenyataan sosial merupakan hasil (eksternalisasi) dari internalisasi dan obyektivasi manusia terhadap pengetahuan. Atau bahasa simpelnya, eksternalisasi dipengaruhi oleh stock of knowledge (cadangan pengetahuan) yang dimilikinya. Cadangan sosial pengetahuan adalah akumulasi dari common sense knowledge (pengetahuan akal sehat). Common sense adalah pengetahuan yang dimiliki individu bersama individu-individu lainnya dalam kegiatan rutin yang dirumuskan secara sadar dalam ikatan struktur kehidupan sehari-hari.

Tiga surah pertama dalam pola Sistimatika Wahyu, yakni Al Alaq, Al Qalam dan Al Muzammil dapat dimaknai sebagai proses internalisasi dan menjadi bekal untuk masuk pada moment dialektika interaksi setiap individu dengan sosio-kulturalnya. Sedangkan Al Mudatsir dapat dimaknai sebagai proses ekternalisasi dan dijadikan spirit setiap individu berinteraksi dengan sosio-kulturalnya. 

Untuk menjaga nilai-nilai wahyu yang sudah terinternalisasi pada setiap individu itu dibutuhkan sejumlah perangkat dan regulasi sehingga dapat melekat kuat bagi setiap individu yang hidup dalam ikatan struktur nilai dalam kehidupan sehari-hari yang mereka telah buat sendiri, proses inilah yang kemudian dalam teori konstruksi sosial dikenal sebagai proses obyektivasi sehingga melahirkan tatanan hidup bermasyarakat sesuai yang digambarkan dalam Surah Al Fatihah. Gerakan Nawafil Hidayatullah adalah salah satu cotoh kongkrit bahwa proses obyektivasi itu berlansung.     

Dari uraian di atas, beberapa hal penting yang perlu perhatian serius adalah bahwa asas peradaban Islam adalah Tauhid dan upaya membangun peradaban Islam haruslah dimulai dari sebuah komunitas kecil. Dari komunitas kecil inilah yang menjadi katalisator dan dinamisator mewujudkan komunitas yang lebih besar dan berkembang lebih luas. Membangun peradaban Islam juga tidak dapat dipisahkan dengan ilmu pengetahuan, karena Islam adalah satu satunya peradaban yang lahir dan tumbuh berdasarkan teks wahyu yang didukung oleh tradisi intelektual.

Dalam kajian dan literatur perubahan sosial, semua ahli sepakat dengan sejumlah persyaratan yang harus dimiliki oleh sebuah komunitas atau organisasi sosial jika ingin melakukan perubahan sosial. Dan apa yang dipersyaratkan tersebut semuanya Hidayatullah miliki. Bahkan apa yang dimiliki Hidayatullah oleh komunitas atau organisasi lain tidak mereka miliki dan luput dari analisa para ahli yaitu basis nilai dan konsep kepemimpinan. Adapun syarat terjadinya perubahan sosial yang sering dipaparkan oleh para ahli yaitu: basis komando, basis teritorial, basis massa, investasi pendidikan dan investasi politik. Semua syarat itu dimiliki oleh Hidayatullah dan dua syarat lainnya yang justru harusnya menjadi syarat utama dalam teori perubahan sosial, yakni basis nilai (manhaj) dan konsep basis komando (imamah) tidak dimiliki dan luput dari perhatian para ahli.

Hadirnya kampus-kampus Hidayatullah menjadi tantangan tersendiri bagi kita untuk menata kelola sistem kehidupan yang layak dan refresentatif. Sebuah kampus yang idealnya menjadi etalase peradaban Islam. Bukan cuman itu, hadirnya kampus juga diharapkan sebagai basis kultur dan tradisi intelektual khususnya bagi generasi muda milenial Hidayatullah. Semangat ulil albab dengan konsep Islamic worldview, konsep ilmu (epistemology) menurut Islam harus terus digelorakan dan dipahamkan secara baik oleh generasi muda milenial Hidayatullah agar menjadi asas lahirnya islamisasi ilmu yang berlandaskan tauhid.

Kita merindukan lahirnya para pemikir, intelektual sekaligus ideolog muslim yang lahir dari rahim kampus-kampus peradaban milik Hidayatullah. Sejarah peradaban telah mencatat bahwa perubahan yang terjadi di masyarakat banyak ditentukan oleh hasil olah pemikiran para ilmuwan dan intelektual. Sejarah ulama Imam Mazhab telah mewariskan hasil pemikiran (ijtihad) yang kini dianut oleh ummat Islam di seluruh belahan dunia. Juga dalam sejarah kebudayaan Barat para intelektual sekaliber Karl marx, Auguste Comte, Emile Durkheim, Emmanuel Kant, Adam Smit dll telah menjadi rujukan dan banyak mempengaruhi pemikiran masyarakat, terkhusus masyarakat kampus.

Blue Print Gerakan untuk Mewujudkan visi Hidayatullah 

Untuk mewujudkan visi dan misi Hidayatullah, diperlukan sebuah blue print dan strategi planning gerakan Hidayatullah kini, esok dan akan datang dan mampu “berselancar” di era disrupsi saat ini. Bonus demografi yang dianugerahkan bangsa ini, dapat kita jadikan sebagai peluang dan tantangan bagi gerakan Hidayatullah untuk melakukan rekruitmen kader “setengah matang”. Kader merupakan asset utama dan ujung tombak dalam sebuah gerakan. 

Memproyeksikan bagaimana wajah Hidayatullah sepuluh hingga dua puluh lima tahun ke depan dapat dilihat pada kualitas kader yang ada saat ini. Hidayatullah harus berani melakukan ekspansi gerakan ke kampus-kampus yang terkemuka di setiap wilayah melalui diskusi-diskusi lepas, training, seminar hingga halaqah taklim. Alhamdulillah saat ini kita sedang membangun markas intelektual berbasis masjid di lingkungan kampus Unhas, semoga bisa disusul di kampus-kampus lainnya. Sejarah gemilang pergerakan Hidayatullah berbasis aktivis kampus ini pernah kita jumpai pada masa perintisan awal Hidayatullah Makassar, Surabaya dan juga Jakarta.   

Selanjutnya aspek yang cukup penting menjadi perhatian serius kita berikutnya adalah pada konsep pendidikan. Paradigma pendidikan yang dibangun tidak boleh lepas dari akar filosofis tentang manusia, karena sesungguhnya fokus perhatian pendidikan itu intinya pada manusia. Olehnya itu Hidayatullah hadir menjadikan gerakan tarbiyah sebagai salah satu fokus gerakannya mengusung konsep pendidikan yang integral, kombinasi potensi yang diberikan kepada manusia dua sekaligus yakni potensi kehambaan dan potensi kekhalifaan. 

Di sinilah urgensinya manhaj Sistimatika Wahyu, sebuah proses tarbiyah nubuwwah yang telah sukses menorehkan tinta emas sejarah peradaban Islam yang tiada taranya hingga akhir zaman. Untuk mengimplementasikan konsep pendidikan nubuwwah ini dibutuhkan uswah dan bi’ah yang kondusif. Sebagaimana dicontohkan oleh Baginda Rasulullah Sallallahu Alaihi wa Sallam. Periode awal membangun peradaban Islam di Madinah. Beliau sendiri menjadi uswah bagi sahabat dan para pengikutnya dan Madinah sebagai lingkungan yang paling kondusif pada waktu itu. 

Demikianlah seharusnya, Hidayatullah harus percaya diri tanpil menonjolkan ciri khas konsep pendidikan manhaj nubuwwah ini dan tidak larut dengan konsep pendidikan yang sedang trend di tengah masyarakat, walaupun harus tetap menyesuaikan pada batas-batas tertentu.

Hal lain yang perlu menjadi perhatian khusus Hidayatullah untuk ekspansi gerakannya adalah capacity building untuk peningkatan mutu sumber daya insani. Sumber daya insani adalah salah satu faktor penentu dalam upaya percepatan ekspansi gerakan. Dibutuhkan kader-kader yang berkualifaid, baik dari aspek spiritual, intelektual, leadership, tangguh dan militan. Sebagai pabrikan harus digencarkan program pengkaderan jalur formal dan informal yang menyesuaikan dengan situasi dan kondisi yang ada.

Berikutnya hal yang penting dan mendesak adalah aspek ekonomi dan keuangan. Gerakan fundraising harus segera dicarikan formatnya. Sudah menjadi sunnatullah bahwa dana merupakan faktor utama dan penentu dalam suksesnya perjuangan Islam. Gerakan entrepreneurship perlu digalakkan untuk mencetak entrepreneur-entrepreneur handal dari kalangan kader Hidayatullah. Untuk menopang laju pergerakan organisasi dan diri kader dan keluarga masing-masing. Mental proposal harus secara perlahan kita tinggalkan. Kita cetak Khadijah-Khadijah baru di kalangan ummahat Hidayatullah, kita lahirkan Abdurrahman Bin ‘Auf- Abdurrahman Bin ‘Auf baru dari kalangan kader dan jama’ah Hidayatullah. 

Khusus kita di Sulsel, salah satu bentuk resources yang belum mampu kita kapitalisasi secara maksimal hingga saat ini adalah jaringan dan trust yang terhampar luas di masyarakat Sulsel. Hidayatullah Sulsel mendapatkan kedua modal itu tidak secara kebetulan saja, melainkan dibangun secara sadar dan penuh pengorbanan oleh para senior lembaga ini, oleh para kader, jama’ah dan simpatisan Hidayatullah. Dan juga secara subyektif ingin mengatakan bahwa kedua modal ini salah satu aspek dominannya diperoleh lewat personifikasi salah satu tokoh senior lembaga Hidayatullah Ustadz Dr. Abdul Aziz Qahhar Mudzakkar, M.Si yang relah melebur masuk dalam arus pusaran politik praktis baik di DPD RI mau pun di perhelatan Pemilihan Gubernur Sulsel. 

Demikianlah sekelumit catatan kaki ini, sekedar sumbang pemikiran dalam perspektif sosiologi kontemporer yang mungkin masih kurang familiar di lingkungan internal Hihayatullah. Dengan segala kekhilafan dan kedhaifan yang kami miliki, berharap agar catatan kaki ini menjadi bagian dari keragaman khazanah intelektual kita, khususnya di Hidayatullah Makassar dan sekitarnya. Wallahu a’lam. ■    



BACA JUGA