Kamis, 21 Mei 2020 | 13:54 Wita

Dasyatnya Aqidah dan Loyalitas Anak Yatim

Editor: Firman
Share

■ Sirah Aplikatif  006 : Drs. H. Ahkam Sumadiyana, MA, Anggota Dewan Muzakarah Pusat Hidayatullah

HidayatullahMakassar.id — Sejarah telah mencatat bahwa yatim sosiologis maupun biologis merupakan lahan yang sangat subur untuk menyemaikan nilai-nilai aqidah, loyalitas serta pengorbanan tak terbatas dalam kehidupan. Walaupun secara lahiriyah anak yatim yang miskin sering dipandang sebelah mata, bahkan sebagian besar manusia berani berkesimpulan bahwa anak yatim yang miskin tidak punya masa depan yang menjanjikan.

Padahal anak yatim yang miskin secara otomatis masih terpelihara dengan baik nilai-nilai fitrah dirinya, karena belum banyak bercak dan noda yang mengotorinya. Pada saat yang bersamaan mereka menginginkan adanya kemerdekaan, perlindungan, ketenangan dan jaminan sebagaimana anak-anak yang seumuran mereka, dan momentum inilah merupakan lahan subur untuk ditarabiyah.

Di sinilah letak rahasianya mengapa Allah Ta’alaa memerintahkan kepada kita untuk mentarbiyah pada fase keyatiman ini menjadi skala prioritas, karena dalam rekruitmen dan kaderisasi memang membutuhkan Sumber Daya Insani [SDI] yang memiliki aqidah yang kuat komitmen terhadap Islam dan loyal terhadap perjuangan sekaligus rela berkorban.

Sikap Inferior Bersama Anak Yatim yang Miskin

Mengapa orang cenderung tidak pede bersama anak yatim yang miskin, tetapi superior sekalipun hanya berkumpul dengan anaknya orang kaya? Anehnya permasalahan seperti ini sudah berjalan sejak Nabi lahir hingga sekarang, bahkan dirasakan oleh orang-orang yang mengaku mencintai Nabi. Padahal predikat yatim begitu istimewa di sisi. Seharusnya membuat superioritas bagi yang memelihara anak yatim karena secara otomatis mendapatkan perlindungan Allah SWT. 

Betapa strategisnya memelihara anak yatim hingga Allah SWT menurunkan ‘Mega Proyek Sosial’ dalam al-qur’an seperti yang terdapat dalam surah Adh-dhuhaa. Proyek tersebut adalah mentarbiyah anak yatim sekaligus untuk mengentaskan kemiskinan.

وَالضُّحَى ﴿١﴾ وَاللَّيْلِ إِذَا سَجَى ﴿٢﴾ مَا وَدَّعَكَ رَبُّكَ وَمَا قَلَى ﴿٣﴾ وَلَلْآخِرَةُ خَيْرٌ لَّكَ مِنَ الْأُولَى ﴿٤﴾ وَلَسَوْفَ يُعْطِيكَ رَبُّكَ فَتَرْضَى ﴿٥﴾

Artinya; “Demi waktu matahari sepenggalahan naik, dan demi malam apabila telah sunyi, Tuhanmu tiada meninggalkan kamu dan tiada (pula) benci kepadamu, dan sesungguhnya akhir itu lebih baik bagimu dari permulaan. Dan kelak Tuhanmu pasti memberikan karunia-Nya kepadamu, lalu (hati) kamu menjadi puas.” [Adh-dhuhaa;1-5].

Ayat yang mulia ini dimulai dengan sumpah terhadap waktu, baik permulaan siang atau malam. Kemudian adanya garansi bahwa Rabb tidak akan meninggalkan dan membencinya, sekaligus jaminan bahwa akhir itu lebih baik daripada permulaan. Puncaknya karunia yang membuat hati menjadi puas. Yang lebih menarik untuk meyakinkan kepada hambanya, Allah SWt mengingatkan Nabi akan massa lalunya; 

أَلَمْ يَجِدْكَ يَتِيماً فَآوَى ﴿٦﴾

Artinya; “Bukankah Dia mendapatimu sebagai yatim, lalu Dia melindungimu.” [Adh-dhuhaa; 6].

Fase keyatiman, serba sendirian, tanpa kasih sayang dan perlindungan dari bapak, sebagaimana anak-anak lainnya. Sangat luar biasa cara Allah SWT mentarbiyah Nabi, agar wahyu dapat terlaksana maka Allah mengingatkan kembali pengalaman Nabi sebagai anak yatim. Wallahu a’lam.■ 



BACA JUGA