Kamis, 16 Januari 2020 | 16:57 Wita
Eksistensi Manusia Dalam Al-Qur’an
■ Manusia Milenial, Oleh : Drs. H. Ahkam Sumadiyana, MA
HidayatullahMakassar.id — Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
هَلْ أَتَى عَلَى الْإِنسَانِ حِينٌ مِّنَ الدَّهْرِ لَمْ يَكُن شَيْئاً مَّذْكُوراً ﴿١﴾ إِنَّا خَلَقْنَا الْإِنسَانَ مِن نُّطْفَةٍ أَمْشَاجٍ نَّبْتَلِيهِ فَجَعَلْنَاهُ سَمِيعاً بَصِيراً ﴿٢﴾ إِنَّا هَدَيْنَاهُ السَّبِيلَ إِمَّا شَاكِراً وَإِمَّا كَفُوراً ﴿٣﴾ إِنَّا أَعْتَدْنَا لِلْكَافِرِينَ سَلَاسِلَا وَأَغْلَالاً وَسَعِيراً ﴿٤﴾
Artinya; “Bukankah telah datang atas manusia satu waktu dari masa, sedang dia ketika itu belum merupakan sesuatu yang dapat disebut?, Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur yang Kami hendak mengujinya (dengan perintah dan larangan), karena itu Kami jadikan dia mendengar dan melihat, Sesungguhnya Kami telah menunjukinya jalan yang lurus; ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir, Sesungguhnya Kami menyediakan bagi orang-orang kafir rantai, belenggu dan neraka yang menyala-nyala”. (al-Insaan [76]:1-4).
Eksistensi manusia akan senantiasa menarik untuk dikaji dan digali baik awal mula terciptanya, aktivitas kehidupnya hingga kematiannya bahkan kehidupan sesudah mati masih menjadi pembahasan yang sangat menarik untuk kita semua. Uniknya kajian dan penelitianpun terus berlanjut meskipun sudah menemukan bukti secara ilmiyah dan argumentasi melalui wahyu al-qur’an.
Mungkin saja karena persoalan subyektifitas dan kepentingan masing-masing manusia sebagai penyebab utama sehingga mengapa kajian tentang manusia tersebut tetap berlajut sepanjang hayat masih dikandung badan.
Namun yang tidak kalah menarik ternyata Al-qur’an begitu detail menginformasikan kepada kita tentang siapa, mengapa dan bagaimana manusia. termasuk memberikan sebutan manusia dengan nama yang berbeda-beda sesuai dengan maqam intelektual, spiritual dan pisiknya.
Sayangnya nama-nama dan predikat tersebut belum menjadi informasi dan inspirasi bahkan tidak serta merta dapat menjadi pelajaran bagi kebanyakan manusia.
Panggilan dan predikat manusia, yang berbeda-beda dihadapan Allah Ta’alaa tersebut pada hakekatnya sangat sesuai dengan derajat dan kuwalitas masing-masing manusia dalam al-qur’an, dan untuk lebih jelasnya berikut ini kami sajikan istilah dan sebutan manusia dengan yang berbeda-beda; Basyar, Insan, An-Naas, Muslim, Mu’min, Muhsin, Mukhlis, Muttaqin.
Tentu saja sebutan yang berbeda-beda itu bukan tanpa maksud dan makna, bahkan perbedaan itu membawa konsekuwensi yang sangat luar biasa bagi manusia dihadapan Rabb-Nya.
Al-quran telah menginformasikan dengan jelas, terhadap esistensi manusia yang beraneka ragam yang merujuk kepada pandangan tentang manusia itu sendiri, misalnya sebutan al-Basyar yang lazim diartikan manusia sebagai makhluk biologis, namun tetap dituntut dan dituntun mengikuti norma dan nilai-nilai yang benar bahkan para Nabi dan Rasul juga makhluk biologis.
Kajian ini dapat memberikan spirit dan pemikiran yang lebih komprehensip dalam upaya manusia menemukan hakekat dan jati dirinya, terutama yang digali dari sudut pandang Al-quran.
Upaya pencarian jatidiri bagi manusia adalah sebuah fenomena yang tetap aktual sepanjang kehidupan. Mari kita awali kajian dari informasi al-qur’an tentang proses penciptaan manusia;
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَكُم مِّن تُرَابٍ ثُمَّ إِذَا أَنتُم بَشَرٌ تَنتَشِرُونَ ﴿٢٠﴾
Artinya; “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan kamu dari tanah, kemudian tiba-tiba kamu (menjadi) ‘basyarun’ yang berkembang biak”. (Ar-ruum;20).
Mencari dan mengenal hakekat manusia tidak boleh bertumpu pada pandangan subyektifitas manusia, apalagi menjadikan pandangan dan pemikiran manusia untuk membuat kesimpulan tentang manusia dan hakekatnya dalam kehidupan.
Dalam kehidupan modern bahkan di era milenial ini semakin banyak persepsi tentang manusia dan kehidupannya. Yang demikian dapat terjadi karena melihat persoalan manusia hanya semata-mata dari sudut pandang manusia sendiri sebagai obyek studi yang tidak ada kaitannya dengan sang Pencipta, sehingga dapat mengabaikan status dan fungsi manusia dihadapan Rabb-NYa.
Sebagai bukti dan contoh nyata jika melihat eksistensi ‘al-basyar’ lepas dari Rabb-Nya, sehingga salah dalam membuat kesimpulan seperti Iblis sebagai berikut;
قَالَ لَمْ أَكُن لِّأَسْجُدَ لِبَشَرٍ خَلَقْتَهُ مِن صَلْصَالٍ مِّنْ حَمَإٍ مَّسْنُونٍ ﴿٣٣﴾
Artinya; “Berkata Iblis: “Aku sekali-kali tidak akan sujud kepada manusia yang Engkau telah menciptakannya dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk”. (al-Hijr:[15];33).
Subyektifitas dan arogansi Iblis muncul karena melihat eksistensi al-basyar, sebagai alasan untuk menolak perintah bersujud kepada al-basyar, bukan melihat dirinya adalah makhluq ciptaan Allah.
Berikut pengertian Istilah ‘al-basyar’ dalam ayat ini dipakai untuk menyebut semua makhluk, termasuk manusia baik laki-laki maupun perempuan, satu maupun banyak.
Kata basyar adalah jamak dari kata basyarah yang berarti permukaan kulit muka, wajah dan tubuh yang menjadi tempat tumbuhnya rambut. Ibn Barjah mengartikannya sebagai kulit luar.
Al-Laits mengartikannya sebagai permukaan kulit pada wajah dan tubuh manusia, karena itu kata mubasyarah diartikan mulamasah yang berarti persentuhan antara kulit laki-laki dan kulit perempuan, disamping itu kata mubasyarah diartikan sebagai al-wath’ atau al-jima` yang berarti bersetubuh (Manzhur, 1968: 124-126).
Apalagi pemakaian kata basyar di dalam Alquran memberikan pengertian bahwa yang dimaksud adalah anak adam yang biasa makan dan berjalan di pasar-pasar, dan di dalam pasar itu mereka saling bertemu atas dasar persamaan (al-Syathi’, 1966:11).
*) Anggota Dewan Pembina Yayasan Al Bayan Hidayatullah Makassar
TERBARU
-
Abdullah Said The Man of Action, Kehidupan Kampung Menggurat Hati
27/01/2025 | 04:01 Wita
-
Abdullah Said The Man Of Action, Warisan Spiritual di Tengah Kesederhanaan
25/01/2025 | 18:13 Wita
-
Buka Rakor Zona KTI, Dewan Pertimbangan Motivasi Penguatan Peran Murabbi
25/01/2025 | 14:21 Wita