Sabtu, 29 April 2023 | 17:31 Wita

Esensi dan Eksistensi Al Insan

Editor: Humas Yayasan Al Bayan Hidayatullah Makassar
Share

Oleh : Drs KH Ahkam Sumadiana MA, Murabi Nasional Hidayatullah dan Dewan Pembina Yayasan Al Bayan Hidayatullah Makassar

HidayatullahMakassar.id — Dalam al-qur’an ada satu surah “al-Insan” maknanya secara bahasa, kata إنسان (Insan) menurut Ibn Mandzhur diambil dari tiga akar kata, yaitu; أَنَسَ (anasa), أَنَّسَ (annasa) serta نَسِيَ (nasiya).

Kata أَنَسَ (anasa) memiliki arti أَبْصَرَ (abshara), عَلِمَ (‘alima), إِسْتَاذَنَ (istadzana). Kata أَبْصَرَ (abshara) berarti melihat, bernalar, berpikir.

Dengannya manusia dapat mengambil pelajaran dari apa yang mereka lihat. Kata عَلِمَ (‘alima) berarti mengetahui atau berilmu.

Dengan ilmunya manusia dapat membedakan suatu perkara apakah itu benar atau salah.

Sedangkan kata إِسْتَاذَنَ (istadzana) memiliki arti meminta izin. Manusia merupakan makhluk yang beradab yang kadang meminta izin ketika akan melakukan sesuatu atau menggunakan sesuatu yang bukan miliknya.

Kata “al-Insan” dapat diartikan sebagai makhluk yang mempunyai kemampuan untuk menalar, makhluk yang berilmu serta makhluk yang beradab. [Ibnu Mandzhur, Lisan al-‘Arab, (Baerut: Dar al-Ihya al-Turats al-Arabi, 1988), hal. 306-314].

Kata أَنَّسَ (annasa) berarti jinak, ramah. [Ahmad Warson Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), cet. 14, hal. 43]. Manusia merupakan makhluk yang bersahabat dan ramah pergaulan. Sedangkan kata نَسِيَ (nasiya) berarti lupa. [ Ibid, hal. 1416].

Kata “insan” terambil dari akar kata “uns” yang berarti jinak, harmonis dan tampak. Pendapat ini jika ditinjau dari sudut pandang Al-Qur’an lebih tepat dari yang berpendapat bahwa ia terambil dari kata nasiya (lupa) atau nasa-yanusu (berguncang). [Abd. al-Lathif Muhammad al-Abduh, al-Insan fi Fikr Ikhwan al-Shafa, (Beirut: al-Maktabah al-Syabiyah, tt.].

Sedangkan kalimat “Al-Insi” dan “Al-Insan” mempunyai tinjauan yang sama di antara keduanya, yaitu dari asal kata: “anisa” yang artinya jinak kebalikan dari kalimat “wahsyi” yang berarti buas. Al-Quran mengkhususkan di antara dua kalimat itu mempunyai arti sendiri-sendiri secara khusus.

Kalimat “Al-insi” selamanya selalu dikaitkan dengan kata “Al-Jinni” sebagai lawan katanya dan berturut-turut tidak pernah berpisah dalam setiap ayat yang ada kalimat “Al-insi” yang berjumlah 18 ayat, [Ibn Arabiy, Abu Bakar Muhammad ibn Abdullah, Ahkam al-Quran, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1988), Jilid II].

Perbedaan di antara kalimat “Al-Insi dan Al-Insan”, walaupun artinya sama yakni jinak tetapi dapat dibedakan, manusia yang disebut dalam Al-Quran dengan kalimat Al-Insi selalu dirangkaikan dengan kalimat Al-Jinni seperti dalam ayat berikut;

وَلَقَدْ ذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيراً مِّنَ الْجِنِّ وَالإِنسِ لَهُمْ قُلُوبٌ لاَّ يَفْقَهُونَ بِهَا وَلَهُمْ أَعْيُنٌ لاَّ يُبْصِرُونَ بِهَا وَلَهُمْ آذَانٌ لاَّ يَسْمَعُونَ بِهَا أُوْلَـئِكَ كَالأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ أُوْلَـئِكَ هُمُ الْغَافِلُونَ ﴿١٧٩

Artinya:”Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka Jahannam kebanyakan dari jin dan “Al-Ins”, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai”.[Al-A’raaf [7]:179].

***

Manusia disebut “al-insan” dalam Al-Quran berkenaan dengan proses penciptaan dan potensi yang dimilikinya, berawal dari firman Allah;

هَلْ أَتَى عَلَى الْإِنسَانِ حِينٌ مِّنَ الدَّهْرِ لَمْ يَكُن شَيْئاً مَّذْكُوراً ﴿١﴾ إِنَّا خَلَقْنَا الْإِنسَانَ مِن نُّطْفَةٍ أَمْشَاجٍ نَّبْتَلِيهِ فَجَعَلْنَاهُ سَمِيعاً بَصِيراً ﴿٢

Artinya:”Bukankah telah datang atas “Al-Insan” satu waktu dari masa, sedang dia ketika itu belum merupakan sesuatu yang dapat disebut? Sesungguhnya Kami telah menciptakan “Al-Insan” dari setetes mani yang bercampur yang Kami hendak mengujinya (dengan perintah dan larangan), karena itu Kami jadikan dia mendengar dan melihat.[Al-Insaan [76]:1-2].

Allah Swt. menceritakan keadaan “Al-Insan”, bahwa Dia telah menciptakannya dan mengadakannya ke alam Wujud ini, padahal sebelumnya dia bukanlah merupakan sesuatu yang disebut-sebut karena terlalu hina dan sangat iemah. Untuk itu Allah Swt. berfirman:

“Bukankah telah datang atas “Al-Insan” satu waktu dari masa, sedangkan dia ketika itu belum merupakan sesuatu yang dapat disebut”? (Al-Insan: 1) Kemudian dijelaskan dalam firman selanjutnya:

“Sesungguhnya Kami telah menciptakan “Al-Insan” dari setetes mani yang bercampur”. [Al-Insan: 2]

Firman Allah Swt: “yang Kami hendak mengujinya”.

Maksudnya, Kami hendak mencobanya. Semakna dengan apa yang disebutkan dalam ayat lain melalui firman-Nya: “supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya”. [Al-Mulk [76]: 2]

Adapun firman Allah Swt: “karena itu Kami jadikan dia mendengar dan melihat”. [Al-Insan:2].

Yakni Kami menjadikan untuknya pendengaran dan penglihatan sebagai sarana baginya untuk melakukan ketaatan atau kedurhakaan.[Tafsir Ibnu Katsir]

Bahkan “Al-Insan” adalah makhluk ciptaan Allah Swt yang paling sempurna;

لَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنسَانَ فِي أَحْسَنِ تَقْوِيمٍ ٤ ثُمَّ رَدَدْنَاهُ أَسْفَلَ سَافِلِينَ ٥

Artinya:”Sesungguhnya Kami telah menciptakan “Al-Insan” dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya (neraka),”.[At-Tiin [95]:4-5].

“Al-Insan” itu tidak sekedar makhluk yang memakan makanan dan berjalan di pasar-pasar, tetapi lebih dari itu, kalimat “Al-Insan” memberikan arti bahwa manusia patut ditingkatkan martabatnya sampai kepada tingkatan untuk memiliki keahliannya untuk menduduki jabatan khilafah (penguasa) di atas bumi ini dan kemungkinan untuk dibebani kewajiban-kewajiban dan kepercayaan atau amanat lainnya.

Sebab hanya “Al-Insan”lah yang secara khusus dilengkapi dengan akal fikiran, kecakapan dan kecerdasan serta hal-hal yang bertalian dengan itu semua, seperti adanya cobaan, yang baik maupun yang buruk, adanya ujian yang menipunya karena sudah mampu dan kuat, dan adanya keangkuhan karena sudah mencapai derajat, pangkat, kedudukan dan jabatan yang tinggi.

Berdasarkan pemaparan di atas, dapat di simpulkan bahwa “al-Insan” dapat diartikan sebagai makhluk yang memiliki kemampuan menalar dan berpikir yang dengannya manusia dapat mengambil pelajaran dari apa yang mereka lihat sehingga ia dapat maju dan berkembang.

Ia merupakan makhluk yang berilmu, sehingga dengan ilmunya ia dapat membedakan suatu perkara apakah itu benar atau salah. Ia merupakan makhluk yang pada hakikatnya memiliki adab sehingga ia tidak suka merampas dengan mengambil hak orang lain tanpa meminta izin.

Ia merupakan makhluk yang pada hakikatnya ramah dalam pergaulan serta bersahabat dengan lingkungan, namun terkadang ia lupa (Khilaf) sehingga dengan mudah dipengaruhi Syaithan untuk melaju ke jalan yang salah. [Muhammad Fuad ‘Abdul Baqi, Mu‘jam al-Mufahras li al-Fadz al-Qur‘an al-Karim, (Bairut: Darul Fikri, 1987), hal. 93-94].

Secara umum kata “al-Insan” dalam Al-quran digunakan untuk menggambarkan keunggulan manusia, yang merupakan makhluk yang beraqal dan berilmu serta memiliki kemampuan untuk mengembangkan ilmunya karena Allah Swt memberi manusia potensi untuk itu.

[Baca. Nasaruddin Umar, Kajian Tematik Al-Qur’an tentang Kemasyarakatan, Wanita dalam Perspektif Al-Qur’an, (Bandung: Angkasa, 2008), hal. 235].

“Al-Insan” merupakan makhluk Allah yang paling sempurna, karena Allah Swt memberikan potensi yang berbeda dengan makhluk Allah lainnya dengan memberikan Jasad, Ruh, Nafsu dan akal yang menjadikannya sempurna.

Manusia dapat melakukan dua hal secara bersamaan seperti berdiri tegak seta berjalan dengan kedua kakinya sambil memegang sesuatu. Berbeda dengan makhluk Allah lain yang tidak dapat melakukan hal tersebut secara bersamaan karena mereka menggunakan tangannya untuk berjalan.

Melalui kesempurnannya sehingga “Al-Insan” terikat oleh aturan dan hukum yang merupakan manifestasi dari akal sehingga dapat hidup lebih teratur. Berbeda dengan hewan yang hanya bergantung pada hukum alam sebagai manifestasi dari naluri mereka, kehidupan mereka sepenuhnya diatur oleh alam.

“Al-Insan” mampu menguasai alam dan menjadikan alam tunduk terhadap dirinya. Sekaligus membantunya untuk mengelola serta mengolah apa yang terdapat di alam sebagai wasilatul hayat sarana dan prasarana hidup.

Terkadang kita jumpai istilah “Al-Insan adalah hewan yang berpikir”. Istilah tersebut bukan untuk menyamakan manusia dengn hewan, tetapi justru untuk membedakan dan membatasi pengertian manusia terhadap hewan. Sehingga manusia yang tidak menggunakan akal pikirannya tidak jauh berbeda dengan hewan’

Menurut Koentjaraningrat, naluri manusia adalah suatu keadaan dalam kesadaran individu seseorang yang tidak ditimbulkan karena pengaruh pengetahuannya, tetapi karena sudah terkandung dalam gen yang dibawanya sejak lahir. [Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, (Jakarta: Rineke Cipta, 1990), hal.109].

Akal yang dimiliki manusia membuatnya dapat menciptakan karya serta budaya ataupun mengembangkan ilmu pengetahuan. Budaya adalah manifestasi dari akal pikiran. Budaya sangatlah berbeda dengan naluri. (*)



BACA JUGA