Senin, 6 Februari 2023 | 09:06 Wita

Syiah Salah Satu Madzhab Dalam Islam, Benarkah ?

Editor: Humas Yayasan Al Bayan Hidayatullah Makassar
Share

Oleh: Ust Abd Qadir Mahmud MA, Rektor STAI Al Bayan Hidayatullah Makassar

HidayatullahMakassar.id — Tulisan ini sebenarnya sudah saya publish pada Jurnal Sipatokkong BPSDM Sulsel volume 3 Nomor 4 Desember 2022 dengan judul “Melacak Permasalahan Hubungan Sunni dan syi’ah”. Saya tertarik untuk menulisnya kembali dengan judul di atas karena terusik dengan seloroh seorang jama’ah yang masih berpandangan bahwa syi’ah merupakan salah satu madzhab fiqih dalam Islam sebagaimana madzhab-madzhab yang dipegangi oleh mayoritas kaum sunni atau ahlussunah wal jama’ah.

Sangat disayangkan karena masih banyak masyarakat awam yang memahami bahwa perbedaan Sunni dan Syi’ah hanya sebatas perbedaan furu’iyyah semata.

Sesungguhnya perbedaan dalam urusan fiqhiyyah anatara ahlussunnah dan syi’ah bukanlah hanya perbedaan memahami nash-nash hadits semata akan tetapi tradisi pengambilan hadits antara ahlussunaha dan syi’ah sangat jauh berbeda. Sehingga perbedaan yang terjadi tidaklah sesederhana yang difikirkan.

Ahlussunnah berpandangan bahwa hadits mempunyai peranan yang sangat urgen ketika disandingkan dengan Al-Qur’an dan menjadi salah satu sumber hukum setelah al-Qur’an.

Hadits sahih yang disepakati oleh mayoritas ulama ahlussunnah adalah mencakup sanad dan matan hadist yang rangkaian periwayat dalam sanad mulai dari sahabat rasulullah sampai kepada mukharrij hadits harus bersambung dan seluruh periwayat tersebut merupakan orang yang adil dan dhabit.

Sedangkan hadits yang difahami dalam tradisi syi’ah adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada yang ma’sum yaitu Rasulullah dan Imam dua belas, baik itu
berupa perkataan, perbuatan, maupun ketetapan.

Jadi hadits dalam terminologi syi’ah, segala sesuatu yang bersumber dari Rasulullah dan dua belas imam yang ma’sum merupakan sumber hukum kedua setelah Al-Qur’an.

Syi’ah tidak mengambil riwayat sahabat sekaliber Abu Bakar, ‘Umar, Utsman, Ibnu Umar, Ibnu ‘Abbas, Abu Hurairah dan yang lainnya.

Bagi ahlussunnah, para Sahabat Nabi berada pada posisi yang sangat krusial. Mereka menjadi jalan yang tak terhindarkan antara Nabi sallallahu ‘alaihi wasallam dan generasi berikutnya.

Mereka melihat dan mengalami secara langsung Nabi menerapkan wahyu. Dengan kata lain, mereka adalah satu-satunya agen atau hanya dari merekalah Al-Qur’an dan Sunnah Nabi dapat diketahui.

Jadi berdasarkan hal ini mayoritas ulama (Sunni) menganggap semua sahabat sebagai orang yang saleh (‘adl), artinya semua sahabat Nabi bersih dari menyebarkan hadis palsu dengan sengaja.

Oleh karena itu, mereka menerima begitu saja kesaksian para sahabat dalam hal yang berkaitan dengan hadis Nabi.

Menurut kepercayaan sunni, para sahabat Nabi, shallallahu ‘alaihi wa sallam, adalah generasi terbaik diantara ummat Islam. Mereka bertemu Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam, beriman kepadanya dan wafat sebagai muslim. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ

“Sebaik-baik manusia ialah pada generasiku, kemudian generasi berikutnya, kemudian generasi berikutnya.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Sementara Syi’ah melihat bahwa ukuran sahabat tidak lepas dari ayat-ayat Al-Qur’an dan fakta sejarah. Sahabat menurut mereka tidak ada bedanya dengan orang lain, ada yang shaleh, sebaliknya ada yang tidak shaleh dan terjerumus ke dalam jurang kehinaan dan kenistaan.

Satu-satunya perbedaan antara para sahabat dan lainnya adalah keuntungan mereka melihat cahaya kenabian, kesempatan untuk berkhidmat dan menyaksikan langsung mukjizat Nabi.

Penilaian negatif syi’ah terhadap para sahabat terkadang sangat ekstrem dan sangat bertentangan dengan pandangan Ahlus Sunnah.
Al-Kulaini (salah seorang ulama panutan syi’ah) menceritakan dari Hamran bin A’yun bahwa “setelah kematian Rasulullah, semua sahabat murtad kecuali tiga orang”.

Yang dimaksud tiga orang oleh Al-Kulani tersebut adalah: Al-Miqdad bin Al-Aswad, Abu Dzar Al-Ghiffari, dan Salman al-Farisi. Al-Kulaini juga mengatakan hal ini dengan jelas; “Abu Bakar As-Shidiq dan Umar bin Khattab meninggal dalam keadaan tidak bertaubat dari Allah, sehingga mereka layak dihukum oleh Allah, para malaikat dan semua manusia”.

Al-‘Iyasyi dalam Tafsirnya dan al-Majlisi dalam Bihar al-Anwar menyatakan bahwa “kematian Nabi karena Aisyah dan Hafshah meracuninya”.

Dalam “Kitab al-Taharah”, pemimpin Revolusi Iran, Khomeini menyatakan bahwa “Aisyah, Talhah, Zubair, Mu’awiyah dan orang seperti mereka, meskipun tidak kotor secara lahiriah, akan tetapi orang-orang ini lebih buruk dan lebih menjijikkan daripada babi dan anjing.

Cara pandang syi’ah terhadap sahabat seperti ini pada akhirnya berdampak pada kepemimpinan kaum muslimin. Kaum Syiah tidak mengakui kepemimpinan tiga khalifah pertama (Abu Bakar, ‘Umar dan ‘Utsmān) dan percaya bahwa ‘Ali bin Abū Thālib dan Ahlul Bayt (termasuk imam dua belas) adalah penerus sah Rasulullah dan berhak mengambil tampuk kepemimpinan ummat muslim.

Sikap inilah yang kemudian berkembang menjadi sebuah teologi imamah. Menurut Syiah, keyakinan pada Imamah merupakan prasyarat untuk diterimanya perbuatan baik.

Dalam sebuah hadits dari Abi Abdillah sebagaimana dikutip oleh al-Kulayni, dia berkata:“Sesungguhnya, hal pertama yang dituntut dari seorang hamba ketika berdiri di hadapan Allah adalah shalat wajib, zakat, puasa haji, dan imamah bagi Ahli Bait.

Jika mereka mengaku percaya Imamah kami, lalu mati maka doa mereka, puasa, zakat dan hajinya akan diterima. Namun, jika dia tidak percaya pada Imamah (kepemimpinan kami) di hadapan Allah, maka amalannya tidak akan diterima.”

Hamid Famy Zarkasy, dalam Teologi Dan Ajaran Shi’ah Menurut Referensi Induknya, mengutif bahwa Khomayni, salah satu tokoh spiritual Syiah, pernah menulis dalam bukunya Al-Hukumah Islamiyah, “Ajaran para Imam seperti ajaran Al-Qur’an, kita harus mengikutinya dan menerapkannya.

Para imam memiliki derajat yang tinggi, posisi yang terpuji, kekuatan alami yang di hadapannya semua atom dunia ini tunduk.

Para Imam Syi’ah adalah tuhan-tuhan dengan sifat-sifat Tuhan yang tidak lupa, tidak ngantuk dan tidak tidur.
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa Syi’ah tidak lagi membicarakan mazhab seperti Syafi’i, Hanafi, Hanbali dan Maliki dalam kontek Imamah.

Hal ini karena dalam Syiah jika berbicara tentang Imamah, hal itu berarti berbicara tentang Usuliyyah atau masalah mendasar yaitu Aqidah, sebagaimana yang dikatakan oleh Nizhamuddin Muhammad Al-A’zhami yang mengatakan;

“Perbedaan antara kami (Ahlus Sunnah) dengan mereka (Syiah) tidak hanya berpusat pada perbedaan urusan fiqhiyyah yang sifatnya furu’iyyah, seperti soal nikah mut’ah, lagi-lagi tidak, perbedaan itu hakekatnya adalah perbedaan pada hal yang sangat mendasar, yaitu dalam segi aqidah. Wallahu ‘alam bish shawwab.(*)



BACA JUGA