Selasa, 21 September 2021 | 08:55 Wita

Jagad Raya Digital

Editor: Firman
Share

Oleh : Dr Irfan Yahya MSi, Ketua STAI Al Bayan Hidayatullah Makassar

HidayatullahMakassar.id — Era digital saat ini telah memaksa dunia berada dalam realitas perubahan yang begitu cepat dan mendasar pada segenap aspek kehidupan, sosial, budaya, ekonomi dan politik. Revolusi 4.0 atau 5.0 society melahirkan ragam bentuk kerawanan sosial yang timbul atas seteru para pesohor teknologi dalam merebut dominasi akses dan kuasa. Relasi sosial serta struktur jagad raya digital dikangkangi oleh kaum borjuis dan kapitalis digital, dan pada saat yang sama hadir entitas sosial yang termarginalkan lantaran tak kuasa dan tak memiliki akses atas relasi dan struktur jagad raya digital.

World Economic Forum baru-baru ini melansir sebuah istilah The Great Reset, bahwa dunia saat ini telah mengalami perubahan skala besar. Perubahan ini dipicu oleh dua peristiwa besar, yakni revolusi digital yang terjadi pada awal abad ke-21 dan wabah pandemi virus covid-19 yang meluluh lantahkan kehidupan dunia pada akhir tahun 2019 silam.

Episode kehidupan dunia telah beranjak dari episode kehidupan dengan corak masyarakat informasi menuju corak masyarakat serba otomatis. Pesatnya teknologi digital berbarengan dengan perangkat algoritma, suatu mekanisme urutan yang menjalankan tugas perangkat komputer yang cikal bakalnya berasal dari kalkulus temuan Isaac Newton.

Algoritma sendiri adalah perangkat instruksi matematis untuk mengolah, mengkalkulasi, dan memanipulasi data secara otomatis dengan tujuan pemecahan masalah. Perangkat ini disematkan dalam produk-produk massal yang dibuat oleh para pesohor industri teknologi. Akhirnya, sistem dan perangkat algoritma ini meransek masuk ke alam bawa sadar setiap individu lewat layar gawai pintar yang mereka genggam setiap saat.

Jagad raya digital dengan semesta algoritmanya kini dihuni oleh manusia-manusia paradoks. Manusia-manusia yang seolah-olah hidupnya kian bebas berselancar melalui perantara platform-platfrom digital dalam arus kehidupan dunia pada sudut-sudut ruang paling privasi miliknya, tapi sesungguhnya tanpa sadar semesta algoritma dengan leluasa merekam setiap jejak digital mereka, kemudian data prilaku sosial di dunia maya tersebut disimpan sebagai data yang siap olah dan kapan saja bisa dilegokan ke kaum borjuis dan kapitalis digital untuk mendukung kepentingan politik, dan kepentingan bisnis mereka.

Sindikat dagang seperti ini hukumnya halal di pasar ekonomi neoliberal dalam wujud kapitalisme digital. Rekam jejak digital milik pribadi dijadikan komoditas yang dapat diperjualbelikan di lapak-lapak pasar bebas. Produk jual beli ini tentu menjadi jualan yang menggiurkan dan sebaliknya mengorbankan para kostumer teknologi digital.

Ekspektasi manusia modern terhadap teknologi digital sebagai sebuah solusi hidup adalah patamorgana belaka. Faktanya manusia digital justru terjerembab dalam kubangan lumpur algoritma, mengubur para penikmat teknologi dalam pusaran informasi hasil rekomendasi algoritma dari rekam jejak digital yang menggambarkan pola prilaku konsumsi pengguna teknologi tersebut. Manusia digital terjebak oleh kapitalisme digital yang menciptakan arus konsumsi pasif dan ketergantungan pada mekanisme algoritmis.

Entah kebetulan atau tidak, sebuah rekayasa atau sesuatu yang alami saja terjadi, ketika ketergantungan tersebut semakin menggila menciptakan arus kuat pada saat hampir semua belahan dunia diporak porandakan oleh serangan wabah virus covid-19. Pola dan prilaku interaksi sosial, ekonomi dan politik sebagian besar manusia penghuni jagad ini sangat tergantung pada tenologi komunikasi yang terintegrasi. Platform-platform digital tumbuh subur bak jamur di musim penghujan dan dianggap sebagai dewa penyelamat manusia modern.

Menu sajian yang dijajakan laku terjual karena dianggap dapat memfasilitasi setiap orang untuk tetap berada dalam sudut ruang rumahnya, namun tetap dapat beraktivitas menjangkau setiap jengkal belahan dunia manapun untuk memenuhi setiap kebutuhannya. Yaa dengan wabah virus corona manusia dipaksa untuk bekerja di rumah, Work from Home, tentu kondisi ini melahirkan pengalaman yang beragam pada masing-masing orang.

Demikian juga adanya, ketika Inggris dilanda wabah bubonic pada tahun 1665, warga masyarakat Inggris terpaksa melakukan Work from Home, sama dengan yang sedang dilakukan kita saat ini. Tidak terkecuali seorang jenius Isaac Newton, salah seorang mahasiswa Trinyti College, Cambridge University. Pada saat itu dalam kondisi Work from Home, Isaac Newton menghabiskan seluruh waktunya untuk menelusuri asal-usul gerak, ruang, dan waktu yang tertulis dalam alkitab, ensiklopedia, dan ragam referensi filsafat teologi.

Sebenarnya dalam tradisi intelektual dunia Islam, apa yang sedang diamati oleh Newton sudah lama dirumuskan oleh Al Khawarizmi yang hidup ratusan tahun sebelum Newton dilahirkan.

Pada masa itu Newton merumuskan suatu rumusan penting yang menjadi basis ilmu pengetahuan modern, Philosophiae Naturalis Principia Mathematica. Rumusan inilah yang kemudian mempercepat laju revolusi industri Inggris dan menghasilkan pola hidup ala Newtonian culture and Mechanical World View.

Arus kehidupan kapitalisme digital yang sedang berjingkrak di jagad ini, dengan segala macam mekanisme kalkulasi hidup yang algoritmis dan individualis tersebut, kaum akademis dan dunia intelektual, khususnya yang bergelut dalam ilmu sosial dituntut untuk dapat berkonstribusi memberikan solusi alternatif yang lebih manusiawi.

Umur kehidupan jagad ini sudah menjelang senja, tidak cukup waktu lagi untuk berspekulasi dengan mengadakan berbagai eksperimen guna menemukan satu jalan kehidupan yang mengembalikan manusia hidup pada fitrahnya. Terlalu naif rasanya bila kita cuman mengandalkan akal pikiran manusia yang sangat terbatas itu untuk mencari konsep dan pedoman dalam mengarungi jagad raya digital ini. Apalagi jika kita hanya sekedar mengulang-ulang menapaki jalur kehidupan yang terus menerus menemui kegagalan di tengah perjalanan.

Sebenarnya bukanlah hal yang sulit untuk menemukan konsep dan pedoman hidup itu. Islam sebagai World View sudah terbukti mampu melahirkan peradaban dunia yang tidak ada tandingannya hingga akhir saman. Islam sebagai pandangan hidup sesungguhnya memiliki kerangka filosofi, ideologis, serta operasional yang mumpuni sebagai pedoman untuk tetap survive di era digital saat ini.

Kerangka filosofi, ideologis, serta operasional itu termaktub pada Al-Qur’an surah-surah yang turun pada periode awal menuntun lansung Nabiyullah Muhammad Saw bersama para sahabatnya mengkonstruksi peradaban Islam di Madinah.

Adapun surah-surah awal tersebut adalah surah Al Alaq ayat ke-1 sampai ayat ke-5 yang merupakan kunci utama bagi muslim dalam membangun kesadaran hidup bertauhid. Surah Al Qalam ayat ke-1 sampai ayat ke-7 yang membimbing manusia agar memiliki cita-cita hidup yang jelas. Surah Al Muzzammil ayat ke-1 sampai ayat ke-10, menuntun setiap muslim agar memiliki mental yang harus disiapkan untuk menghadapi segala situasi. Surah Al Muddatsir ayat ke-1 sampai ayat ke-7 merupakan adalah bekal setiap muslim untuk tampil ke gelanggang memberikan peringatan kepada manusia dan Surah Al Fatihah ayat ke-1sampai ayat ke-7 yang memberikan informasi utuh yang menggambarkan satu kesatuan tentang ajaran Islam. Wallahualam.■

Semesta Jagad Tamalanrea, 21 September 2021.



BACA JUGA