Jumat, 1 Agustus 2025 | 09:38 Wita

Abdullah Said, Langkah Sunyi Dalam Naungan Cahaya Ilahi

Editor: admin
Share


SOSOK, HidayatullahMakassar.id— Malam itu telah lewat. Perahu tua itu pun perlahan lenyap di balik kabut laut dan waktu. Tapi kisahnya baru saja dimulai.

Di balik jerami dan suara embik sapi, seorang pemuda menyimpan bara perjuangan yang tak akan padam.

Muhsin Kahar, nama itu tak lagi hanya milik seorang anak Desa Panreng. Ia telah menjelma menjadi harapan, menjadi jembatan antara gelap dan terang, antara semak belukar keterasingan dan jalan besar peradaban.

Hijrah adalah jalan sunyi yang penuh arti. Dan malam yang mengantar Muhsin dari Parepare bukanlah sekadar malam pelarian tapi ia adalah malam penyerahan.

Sebab di saat banyak orang menggenggam dunia, ia memilih menggenggam keyakinan, di saat yang lain mencari aman, ia justru mencari medan juang.

Ia meninggalkan Parepare bukan sebagai pelarian yang takut, tapi sebagai pejuang yang memikul amanat.

Ia bukan pergi untuk bersembunyi, melainkan untuk menyiapkan tapak baru, tempat benih-benih dakwah ditanam, agar kelak tumbuh sebagai pohon rindang yang menaungi banyak jiwa.

Ia tidak membawa apa-apa, selain doa dan kepercayaan. Bukan harta yang ia bawa, tapi mushaf dan catatan. Bukan pasukan yang mengiringinya, tapi sahabat-sahabat yang diam-diam menyusun jalan, dengan iman yang tak goyah walau dunia memburu.

Dalam keheningan laut dan denting waktu, kita mendengar suara yang tak bersuara; doa ibu yang menggema hingga ke langit, air mata sahabat yang tak sempat mengucap kata perpisahan, dan janji yang dibisikkan diam-diam pada angin bahwa langkah ini akan berlanjut, bahwa nyala ini akan dijaga.

Di kapal tua itulah Muhsin benar-benar memulai perjalanannya menuju bumi asing, Kalimantan, tempat yang belum mengenalnya tapi telah dipilih Allah menjadi ladang amalnya.

Di sanalah ia akan menanam, merawat, dan memanen mimpi umat yang selama ini seolah tercecer. Dan para saksi bisu malam itu ombak laut, tali tambat, jerami, sapi, hingga lampu-lampu kapal tua itu kelak akan tahu, bahwa mereka pernah mengantar lahirnya sebuah gerakan, dari satu jiwa yang tak dikenal dunia, tapi dicintai langit.

Sesungguhnya perjuangan tak selalu dengan megah dan gemuruh. Kadang ia justru hadir dalam penyamaran, dalam pakaian koyak, dalam diam yang bersaksi. Tapi sungguh, Allah Maha Tahu siapa yang berjalan karena-Nya.

Muhsin Kahar adalah satu dari sekian hamba yang menjawab panggilan langit: “Berangkatlah, meski sendiri. Pergilah, meski tak pasti. Karena di ujung jalanmu, bukan hanya harapan manusia tetapi rida Tuhanmu menanti.”

Kisah ini berakhir di atas kapal yang mengantar Muhsin menjauh dari intaian mata-mata. Tapi dakwahnya baru akan dimulai di tanah hijrah.

Di balik gelap malam itu, telah tertulis janji Ilahi: Bahwa siapa yang hijrah karena Allah dan Rasul-Nya, maka tempat hijrah itu akan menjadi awal kemuliaan.
وَمَن يُهَاجِرْ فِى سَبِيلِ ٱللَّهِ يَجِدْ فِى ٱلْأَرْضِ مُرَٰغَمًا كَثِيرًا وَسَعَةً ۚ

“Barangsiapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang luas dan rezeki yang banyak.”

Kisah ini berakhir di satu pelabuhan, namun kisahnya belum selesai. Sebab sejarah bukan sekadar barisan tanggal dan peristiwa, tetapi nyawa-nyawa yang bertahan, yang terus bergerak meski dalam sunyi.

Dan dalam sunyi itulah, cahaya paling terang sering lahir. Muhsin Kahar sedang menjemput takdirnya. Dan kita, sedang menyaksikan kelahiran sebuah zaman yang akan ia bangun dengan sabar, luka, dan (cinta.habis/*)

*Oleh : Dr Abdul Qadir Mahmud MA, Ketua STAI Al Bayan Hidayatullah Makassar



BACA JUGA