Jumat, 1 Agustus 2025 | 09:18 Wita

Abdullah Said, Rahasia di Balik Debur Pelabuhan

Editor: admin
Share

SOSOK, HidayatullahMakassar.id — Rabu 25 Desember 1969. Hari itu adalah hari paling sunyi yang penuh makna dalam sejarah gerakan bawah tanah para aktivis PII dan Muhammadiyah Parepare.

Tak ada rapat resmi, tak ada aba-aba, tak terdengar seruan lantang, namun setiap orang seolah tahu peran masing-masing dan seolah semua telah sepakat dalam diam. Malam ini adalah malam pergerakan.

M Yunus bertanggung jawab atas pengamanan Muhsin, mengatur jalur keluar yang aman dari intaian mata-mata. H Tahir Parenta mengurus kapal dan identitas samaran.

H Badiu dengan tenang namun cekatan menyiapkan bekal sekadarnya. Sementara Abdurrahim Yunus, sang sepuh, menyusun jalur pelarian hingga detil terakhir.

Semua bergerak dalam senyap, dalam semangat yang menyatu oleh satu cita yaitu menyelamatkan kader yang membawa bara perjuangan.

Saat matahari perlahan tenggelam di barat, menyisakan semburat merah di langit yang mulai muram, Muhsin duduk dalam kamar kecil yang telah lama menjadi tempat perlindungannya.

Ia melipat satu demi satu pakaian yang tersisa. Baju lusuh yang ia bawa lari dari hotel tempo hari disusunnya dalam tas tua, dan dengan lirih ia berdoa:

“Ya Allah… jangan pandang lemahnya hamba-Mu ini. Cukupkan yang sedikit ini sebagai bekal. Kuatkan langkahku… demi agama-Mu.”

Di luar, angin mulai bergeser membawa udara laut yang asin. Langit menggantung awan tipis, tanda malam segera datang. Malam yang bisa berarti segalanya, entah awal hijrah atau akhir perjalanan.

Tapi satu hal yang pasti: Muhsin tak lagi sendiri. Malam itu, ia membawa amanah dari banyak hati.
Rabu malam, langit Parepare berselimut mendung.

Pelabuhan Cappa Ujung tampak senyap tapi waspada. Di dermaga, kapal kayu tua bernama K.M. Ganda Ria bersandar dengan tenang. Perahu dagang yang biasanya memuat sayur dan ternak itu, malam ini menyimpan rahasia yang bisa mengguncang kota.

Nahkodanya seorang Nasrani, tapi para ABK adalah orang-orang terlatih dan terpercaya dari jaringan H Tahir. Mereka paham malam ini bukan pelayaran biasa.

Di geladak, sayur-sayuran dari Enrekang dimuat dalam karung, sapi-sapi dari Bone berdiri dalam kandang darurat. Suara kokok ayam bercampur bau jerami, solar, dan asin laut.

Semua sibuk menyiapkan kapal seolah rutinitas biasa, padahal di balik tiap gerakan, ada perhitungan taktis dan kecemasan dalam dada Muhsin dan para sahabat yang mengantarnya.

Rombongan kecil yang mengantar Muhsin tiba dan berhenti hingga tak jauh dari kapal. Di sana, ia berganti pakaian.

Baju kaos oblong yang sobek, celana yang digunting hingga menggantung di betis, sandal jepit tak serasi, sarung lusuh diselempangkan, dan sebuah palo-palo daung ta’ (topi penggembala dari daun lontar) di kepala.

Ia bukan lagi Muhsin yang dikenal aparat yang selalu berpakaian rapih, tapi seorang penggembala, penjaga sapi dari pegunungan.

Di sekitar pelabuhan Cappa Ujung, para pemuda seperti Muh Said Abdul Shamad menyebar dalam diam. Mereka tampak seperti remaja biasa yang lalu-lalang, menyatu dengan riuh suasana pelabuhan.

Tapi sejatinya, setiap langkah mereka adalah penjagaan yang tak berseragam. Mereka bukan hanya pengintai, mereka adalah tameng tanpa nama, pelindung tanpa pamrih.

Tiba-tiba, dari arah geladak kapal, terdengar suara keras seorang anak buah kapal yang telah diberi tugas khusus oleh H Tahir Parenta.“Hei! Mana penjaga sapi? Cepat naik, jaga itu sapi baik-baik! Kapal sebentar lagi berangkat!”.

Teriakan itu mungkin terdengar biasa di telinga khalayak, tapi bagi yang paham, itu adalah isyarat, teriakan itu merupakan kode sunyi bahwa situasi di atas kapal telah aman.

Saat itulah Muhsin tahu, saatnya naik. Saatnya melangkah menuju babak baru dalam pelayaran yang bukan sekadar menyeberangi lautan, tapi menembus batas nasib dan sejarah.

Sebelum naik, ia memeluk Abdul Fattah. Tak ada kata. Hanya peluk yang menahan getar, dan mata yang basah menahan tanya. M Yunus berdiri tak jauh, menunduk dalam diam, hanya sempat menepuk pundak sahabatnya lalu mundur ke balik bayang-bayang.

“Teruslah berjuang, dan jangan padamkan api yang sedang kau bawa,” bisik H Badiu.

Lalu suara H. Tahir Parenta, pelan tapi menghujam: “Di Kalimantan tanahnya luas, tapi medan tetap keras. Jaga semangatmu, jaga agamamu. Namamu dalam manifest adalah Abdullah si penjaga sapi. Tugasmu satu; diam, tak terlihat, tetap hidup… untuk kelangsungan perjuangan.”

Kapal mulai bergeser pelan, mengayun air laut yang gelap dan dalam. Di antara jerami dan kaki sapi, Muhsin duduk, bersandar ke dinding kayu kapal.

Di genggamannya tas kecil berisi mushaf, buku catatan, dan sisa pakaian. Angin malam menggerakkan topi daun di kepalanya. Dari kejauhan, cahaya Parepare mulai memudar.

Tapi kenangan di tanah pelarian itu tak ikut menjauh.
Di tengah laut, di bawah sinar lampu kapal, Muhsin membuka catatannya. Tangannya gemetar oleh udara dan rasa, tapi tulisannya tetap mengalir:

Bismillahirrahmanirrahim…
Jika surat ini sampai, mungkin aku telah jauh,
bukan menjauh tapi mencari jalan pulang yang sejati.
Pulang kepada janji,
kepada ladang yang telah lama disiapkan oleh Rabbku
untuk menanam benih-benih perjuangan yang belum sempat tumbuh di sini.

Aku tidak membawa banyak,
hanya keyakinan bahwa langkah ini bukan pengkhianatan,
tapi ketaatan pada suara dari langit
yang menggema sejak aku pertama kali bersujud sebagai seorang da’i.

Ibu… Ayah…
Maaf jika aku pergi tanpa pamit yang utuh.
Tapi aku tahu, doa kalian telah lebih dulu mendahuluiku.
Doa itulah yang kini mengiringi aku menyeberangi laut,
bukan sekadar laut Kalimantan,
tapi samudera waktu menuju hari depan umat ini.

Kepada sahabat-sahabatku,
jangan tangisi kepergianku.
Karena setiap jalan yang kalian tempuh,
akan menjadi jembatan yang menuntunku di sana.
Tetaplah berdiri dalam barisan,
karena yang aku bawa bukan kabar takut,
melainkan nyala yang tak boleh padam.

Dan kepada Allah,
aku bisikkan dengan segenap gemetar di dada:
“Ya Rabb,
jika langkah ini adalah bagian dari skenario-Mu,
maka kuatkan pundak hamba-Mu ini.

Jika tanah baru itu tempat Engkau takdirkan benih dakwah-Mu tumbuh,
maka jangan biarkan aku ragu menanamnya,
meski tangan ini gemetar dan mata ini basah.”

Di bawah cahaya bulan, kapal tua itu melaju menembus malam. Di dalamnya, tersembunyi satu jiwa yang kelak akan tumbuh menjadi cahaya bagi banyak orang.

Seorang pemuda yang sedang menyelamatkan dirinya bukan karena lari dari musuh, tapi karena sedang menuju medan perjuangan yang lebih luas dan lebih besar.(Bersambung ke jilid 2/*)

*) Oleh : Dr Abdul Qadir Mahmud MA, Ketua STAI Al Bayan Hidayatullah Makassar



BACA JUGA