Selasa, 22 Juli 2025 | 20:11 Wita

Rejuvinasi Hidayatullah : Antara Alih Generasi dan Alih Konsepsi

Editor: admin
Share

Catatan dari Arahan Ketua Badan Pembina Yayasan Al Bayan

Oleh : Dr Abdul Qadir bin Mahmud MA, Ketua STAI Al Bayan Hidayatullah Makassar

HidayatullahMakassar.id — Istilah rejuvinasi kembali mencuat ke permukaan menjelang pelaksanaan Musyawarah Nasional (Munas) ke-V Hidayatullah, sebagai respons terhadap kebutuhan internal untuk memperkuat kesinambungan gerakan dakwah dan kaderisasi.

Wacana ini berkembang tidak sekadar sebagai isu struktural, melainkan sebagai bagian dari proses pematangan gerakan dalam menyikapi perubahan zaman dan tantangan generasi ke depan yang semakin mengglobal.

Secara etimologis, rejuvinasi berasal dari kata “rejuvenation” dalam bahasa Inggris, yang berarti peremajaan atau pembaharuan kembali, baik secara fisik, mental, maupun struktural.

Dalam terminologi organisasi dan manajemen, rejuvinasi merujuk pada serangkaian proses strategis untuk memperbarui semangat, visi, atau sistem kerja suatu organisasi, agar tetap relevan dan adaptif di tengah dinamika lingkungan.

Dalam dunia korporasi maupun organisasi sosial, rejuvinasi kerap dijadikan strategi untuk menghindari stagnasi dan kemunduran. Ia menandai proses regenerasi baik pada aspek kepemimpinan, pemikiran, maupun budaya kerja.

Inti dari rejuvinasi adalah alih generasi, yaitu peralihan tanggung jawab dan estafet kepemimpinan dari generasi sebelumnya kepada generasi penerus secara terstruktur dan terarah.

Alih generasi dalam konteks gerakan Hidayatullah merujuk pada proses transisi kaderisasi dari generasi pendahulu kepada generasi penerus, yang tidak hanya bersifat struktural, tetapi juga menuntut kesinambungan semangat perjuangan dan integritas gerakan.

Namun demikian, rejuvinasi tidak berhenti pada aspek regenerasi semata. Lebih jauh, ia mencakup alih konsepsi, yaitu proses pewarisan cara pandang dan pendekatan kader sebagai generasi baru yang tidak hanya mengambil alih posisi dan struktur formal, tetapi juga secara sadar menghidupkan nilai-nilai dasar dan jatidiri Hidayatullah dalam gerakan tarbiyah dan dakwah.

Dalam hal ini, generasi penerus yang mengambil estafet kepemimpinan dituntut untuk memahami dan menginternalisasi pokok-pokok konseptual yang telah diwariskan oleh para founding fathers Hidayatullah, antara lain:

  1. Sistematika Wahyu sebagai Manhaj Nabawi, baik sebagai konsep teoritis maupun dalam implementasi praksis, menjadi dasar dalam membangun karakter kader dan arah perjuangan gerakan.
  2. Imamah Jama’ah, yaitu prinsip kepemimpinan kolektif yang menjadi keniscayaan dalam mengelola gerakan Hidayatullah sebagai sebuah jama’ah yang terorganisir dan terarah.
  3. Al-Harakah al-Jihadiyah al-Islamiyah, bahwa Hidayatullah merupakan lembaga perjuangan yang aktif dalam berbagai medan jihad, termasuk pendidikan, dakwah, ekonomi, dan aspek perjuangan lainnya yang lebih spesifik.
  4. Jama’atun minal Muslimin, yakni prinsip keterbukaan Hidayatullah untuk bekerja sama dengan berbagai elemen umat Islam, kelompok, harakah, maupun jama’ah lainnya dalam semangat membangun peradaban Islam.
  5. Wasathiyah, sebagai prinsip tawasuth dan tawazun dalam bersikap dan berjuang, yang tidak hanya bermakna berada di tengah-tengah, tetapi lebih mendalam sebagai prinsip hidup yang seimbang dan bersumber dari sistematika wahyu.
  6. Ahlussunnah wal Jama’ah, di mana Hidayatullah secara konsisten berpegang teguh pada aqidah, manhaj, dan praktik keagamaan yang sejalan dengan ajaran Rasulullah dan para sahabatnya, dengan menjunjung nilai-nilai keotentikan Islam.

Dengan demikian, semangat rejuvinasi dalam Munas ke V Hidayatullah bukanlah sekadar aktivitas administratif atau seremonial dalam pergantian generasi.

Ia merupakan momentum strategis untuk memperkuat arah gerakan, menyegarkan visi dan misi perjuangan, serta meneguhkan kembali komitmen membangun peradaban Islam melalui pendidikan, dakwah, dan pembinaan umat secara integratif dan istimrariyah.(*)



BACA JUGA