Minggu, 20 Juli 2025 | 05:50 Wita
Abdullah Said, Munajat di Jalan Sunyi

SOSOK, HidayatullahMakassar.id — Sepulang dari Suppa, Muhsin Kahar kembali larut dalam pusaran kenangan. Kenangan yang tak hanya menyimpan luka, tapi juga cahaya yang menuntunnya dalam perjalanan panjang dakwah.
Ia duduk diam di kamar hotel tua, membiarkan pikirannya hanyut dalam gelombang masa lalu: medan ceramah di Makassar, bisik-bisik ancaman di lorong-lorong, dan langkah-langkah sunyi yang membawanya mengembara hingga ke perbatasan waktu.
Suppa tak hanya menyegarkan raga, tapi juga menyalakan kembali ruh sejarah. Ia teringat Datu Ri Bandang yang pernah menaklukkan hati raja-raja Ajatappareng bukan dengan pedang, tapi dengan kalimat tauhid.
Kisah itu kini seperti menyatu dalam nadinya, seolah membisikkan bahwa perjuangan ini bukan miliknya sendiri, tapi kelanjutan dari estafet yang telah dimulai berabad lalu.
Di sisinya, Manshur Salbu hadir seperti bayang setia. Bukan hanya kawan persembunyian, tapi juga sahabat diskusi dan pelayan ruhani.
Segala keperluan Muhsin dipenuhi dalam diam, sementara kamar hotel itu, meski sempit dan usang tapi kini menjelma menjadi ruang paling lapang bagi hati dan pikiran.
Dalam kesunyian itu, ilham datang seperti gerimis yang tak henti-henti. Satu demi satu gagasan mengalir, lalu tertuang dalam tulisan.
Lima buku ia rampungkan, semua tentang satu hal yang tak pernah habis ia cintai: “Metode Da’wah yang Efektif.”
Malam belum sepenuhnya larut ketika Muhsin memutuskan untuk merebahkan tubuh.
Ia ingin segera bangkit di seperdua malam, waktu kesayangannya berkomunikasi dengan Tuhannya.
Tapi baru saja matanya mulai terpejam, sebuah suara lembut tapi jernih berbisik dalam mimpinya.
Sebait ayat terdengar jelas, seperti datang dari langit:
قَالَ قَاۤئِلٌ مِّنْهُمْ لَا تَقْتُلُوْا يُوْسُفَ وَأَلْقُوْهُ فِيْ غَيٰبَتِ الْجُبِّ يَلْتَقِطْهُ بَعْضُ السَّيَّارَةِ إِنْ كُنْتُمْ فَاعِلِيْنَ
“Salah seorang di antara mereka berkata, ‘Janganlah kamu membunuh Yusuf, tetapi masukkan saja dia ke dasar sumur agar dia dipungut oleh sebagian musafir, jika kamu hendak berbuat.’”(QS. Yusuf: 10)
Muhsin terjaga seketika. Dada berdebar, tapi bukan takut yang ia rasakan melainkan pesan. Ia mena’wilkan ayat itu sebagai isyarat gaib bahwa ajal belum akan menjemput, meski ada yang tengah merancang kehancurannya.
Seperti Yusuf, ia tahu bahwa ia sedang dijatuhkan, tapi untuk nanti diangkat. Ia sedang disingkirkan, tapi bukan untuk dilenyapkan melainkan diselamatkan.
Ia bangkit, menyiram tubuhnya dengan air yang dingin, lalu membentangkan sajadah kemudian berdiri hening dan hanyut dalam qiyamullail.
Malam itu terasa lebih sunyi dari biasanya. Langit Parepare membentang kelam, hanya bintang-bintang yang menggantung sebagai saksi atas kegelisahan seorang hamba yang menjauh bukan karena lemah, tapi karena ingin menjaga bara agar tak padam.
Dalam sepertiga malam yang khusyuk itu, Muhsin sujud lebih lama dari sujud-sujud sebelumnya. Air mata menetes di atas sajadah, menyatu dengan debu dan keheningan kamar hotel tua yang menjadi tempat persembunyiannya.
Lalu, dari dalam dadanya yang sesak oleh perjuangan dan rindu pada mimbar dakwah, mengalirlah doa lirih tapi penuh getar, seperti bisikan seorang kekasih kepada Tuhannya:
Ya Allah…
Engkau tahu betapa hati ini tak pernah berpaling dari-Mu,
Meski langkahku kini bersembunyi di balik bayang,
Bukan karena takut pada musuh,
Tapi karena aku ingin menjaga bara ini tetap menyala,
Sampai Engkau perintahkan aku kembali ke medan nyata.
Ya Rabb…
Di antara dinding-dinding sempit ini,
Kau lapangkan jiwaku dengan harapan,
Di antara mata-mata yang mengintai,
Kau selimuti aku dengan rahmat dan perlindungan.
Jika jalan ini adalah pilihan-Mu untukku,
Maka tetapkan aku dalam sabar yang tidak kering,
Dalam yakin yang tak pernah patah,
Dalam cinta kepada risalah ini yang tak kunjung pudar.
Ya Allah…
Aku tak menyesali menjadi pelarian,
Asal Engkau tahu…,
Yang aku lari darinya bukan musuh,
Melainkan dari dunia yang ingin membungkam kebenaran.
Dan yang aku kejar bukan keselamatan diri,
Tapi kesempatan untuk menanam lagi benih dakwah di tanah baru.
Jadikanlah setiap detik dalam pelarianku ini,
Seperti Yusuf di dasar sumur,
Tersembunyi, tapi tidak ditinggalkan.
Sendiri, tapi tak pernah sepi dari penjagaan-Mu.
Jika hidupku ini masih Kau izinkan,
Maka aku serahkan sisa umurku,
Untuk agama-Mu. Untuk umat-Mu.
Untuk menyalakan lentera-lentera kebenaran,
Meski harus dari balik bayang.
Ya Rabb, jangan biarkan aku mati sebelum aku menyelesaikan janji.”
Doa itu meluruh bersama angin malam. Tak terdengar oleh dunia, tapi sampai di langit. Dalam diamnya, Muhsin tahu bahwa ia mungkin sedang diburu manusia, tapi ia sedang dikejar cinta oleh Tuhannya.
Dan malam itu, dalam bening air matanya, ruh perjuangan seperti kembali mendapatkan sayapnya.(bersambung ke seri 45)
*) Oleh: Dr Abdul Qadir Mahmud MA, Ketua STAI Al Bayan Hidayatullah Makassar

TERBARU
-
Abdullah Said, Munajat di Jalan Sunyi
20/07/2025 | 05:50 Wita
-
BSI Beri Kado Tabungan Haji bagi Peserta Walimah di Al Bayan
19/07/2025 | 19:27 Wita
-
Nasihat Pernikahan Ustadz Aziz : Walimah Mubarak Pernikahan Perjuangan
19/07/2025 | 18:59 Wita
FOTO

Galeri – Powerfull Ramadhan di Ponpes Al Bayan Bersama Tokoh Muda
17/03/2025 | 07:19 Wita
Galeri – Powerfull Ramadhan Bersama Al Quran, Tarhib Ramadhan Al Bayan
23/02/2025 | 06:20 Wita
Galeri – Visitasi Asesmen Prodi Ekonomi Syariah STAI Al Bayan
09/01/2025 | 20:50 Wita
Galeri – Suasana Kedatangan Santri Baru Ponpes Al Bayan Hidayatullah Makassar
15/07/2023 | 22:16 WitaTERPOPULER
-
1
Nasihat Pernikahan Ustadz Aziz : Walimah Mubarak Pernikahan Perjuangan
-
2
Besok, Yayasan Al Bayan Gelar Walimah Mubarak 10 Pasang Dai Kader Hidayatullah
-
3
Semarak Jelang Munas Hidayatullah, Peserta Walimah Mubarak Al Bayan Partisipasi Penanaman 1 Juta Pohon
-
4
Abdullah Said, Menelusuri Jejak Suppa, Menggenggam Nyala Sejarah
-
5
BSI Beri Kado Tabungan Haji bagi Peserta Walimah di Al Bayan