Rabu, 2 Juli 2025 | 09:39 Wita

Abdullah Said,  Pelarian yang Menjaga Ruh

Editor: admin
Share

SOSOK, HidayatullahMakassar.id — Ketika kabar itu datang bahwa Muhsin Kahar tak kembali, bahwa ia memilih menghilang, bahwa ia menolak tunduk pada logika kekuasaan, sesuatu berubah di udara.

Nada suara para penjaga tak lagi mengandung bara. Meski interogasi masih berlangsung, tak ada lagi bentakan yang meledak tiap pagi, tak ada lagi cecaran tajam yang menembus ke dasar jiwa.

Kini, semua mata, dari lorong markas Koramil hingga lorong pasar, hanya tertuju pada satu nama: Muhsin Kahar. Pusat badai telah berpindah.

Tekanan perlahan bergeser. Dan para pemuda yang semula dipaksa memikul semua beban, kini hanyalah bayang dari gelombang yang lebih besar, pelarian seorang ruh perjuangan yang menolak padam.

Tapi yang tak disangka adalah, hilangnya Muhsin justru menyebar gaung lebih nyaring dari kehadirannya.

Ia pergi dalam diam, namun kepergiannya mengguncang Makassar hingga ke ujung gang, hingga ke lorong-lorong pasar yang dulu penuh angka dusta. Lotto terhenti.

Lotto tiba-tiba seperti jantung yang kehilangan denyutnya. Para pengecer menghilang seperti kabut pagi yang tersapu sinar mentari.

Bandar-bandarnya menyepi, menutup pintu-pintu mereka rapat-rapat, dan meja-meja yang dulu dipenuhi tawa palsu, kini ditinggal sunyi.

Di titik-titik penjualan yang kemarin riuh oleh antrean dan mimpi palsu, kini hanya tersisa debu, dan keheningan yang menggugat.

Masyarakat berbisik lirih, tapi jelas: “Apakah ini hanya reda sejenak?”

“Ataukah ini benar-benar telah berakhir?” Tak ada yang berani menjawab.

Tapi semua merasakan satu hal yang pasti: Teror moral telah menyentuh jantung perjudian, dan jantung itu kini berdenyut ragu, kehilangan kepercayaan untuk hidup seperti biasa.

Di rumah-rumah panggung yang dulu muram, di lorong-lorong sempit yang sering dilalui keputusasaan pun telah berubah.

Para ibu kembali memandang suaminya dengan teduh.
Tak ada lagi sembab di sudut mata. Anak-anak kini tak lagi takut pada amarah,
tak lagi mendengar pintu dibanting karena gaji yang habis terbakar angka.

Dan para ayah…
akhirnya pulang dengan utuh, bukan membawa sobekan kupon, tapi membawa waktu.

Waktu untuk mendengar cerita anaknya. Waktu untuk mencium kening istrinya. Waktu untuk menjadi manusia yang bebas dari perbudakan mimpi semu.

Dan semua itu bermula dari suara yang kecil, dari ruh nahi mungkar yang tumbuh di loteng sunyi Ta’mirul Masajid, disemai oleh Muhsin dan sahabat-sahabatnya hingga membesar menjadi gelombang yang menumbangkan pohon tua penuh racun.

Muhsin memang menghilang dari Makassar, tapi ia meninggalkan nyala. Nyala itu kini dijaga dalam dada-dada muda, dengan doa-doa panjang di tengah malam, dengan keyakinan bahwa tak ada tembok, tak ada jeruji, yang bisa membatasi api yang benar.

Di balik dinding Koramil, di tengah bau lembab dan cahaya remang, semangat justru menemukan bentuknya yang paling utuh. Karena kadang, dalam sempit dan sunyi,
jiwa belajar terbang lebih tinggi.

Sebagian mulai menyebut ruang tahanan itu bukan lagi penjara melainkan madrasah perlawanan.

Penjara bagi mereka kini menjadi tempat iman diuji dan ruh diperkuat.

Sementara itu, di suatu tempat jauh di utara Makassar, seorang pemuda tengah menyusuri jalan pelariannya, mengayuh nasib dan merangkai harapan, bukan untuk dirinya sendiri, tapi untuk menghidupkan kembali ruh perjuangan itu, meski dalam wujud yang lain.

Agar nyala itu tak padam. Agar semangat itu tak lekang oleh waktu.(bersambung ke seri 40)

*) Oleh: Dr Abdul Qadir Mahmud MA, Ketua STAI Al Bayan Hidayatullah Makassar



BACA JUGA