Minggu, 29 Juni 2025 | 08:21 Wita
Abdullah Said, Nyala yang Menghilang

SOSOK, HidayatullahMakassar.id — Pagi-pagi buta menyelinap ke kota Makassar, namun cahaya itu tak sanggup mengusir dingin yang menggantung di ruang tahanan.
Di sana, duduk berjajar wajah-wajah lelah namun tak padam. Para pemuda Muhammadiyah yang telah mengguncang kota dengan ruh nahi mungkar yang membara.
Sementara mereka menahan guncang gelombang kekuasaan, satu nama telah menjauh, bukan karena takut, melainkan karena cinta pada ruh perjuangan itu sendiri.
Muhsin Kahar, sang penggerak, telah meninggalkan Makassar, menolak tunduk pada logika penyerahan.
Ia menembus sunyi jalan-jalan utara, menyusuri lekuk tanah yang asing, membawa api yang tak boleh padam, ruh nahi mungkar yang telah mereka kobarkan bersama, yang tak boleh jatuh ke tangan yang ingin memadamkannya.
Ketika kabar pelariannya sampai di Koramil, udara di ruang tahanan berubah. Para petugas saling bertatapan. Tak ada lagi alasan untuk menahan para guru.
Sebab dalih mereka selama ini adalah untuk menekan kemunculan Muhsin. Tapi kini, justru karena Muhsin pergi, mereka membebaskan yang tua dan bijak.
KH Marsuki Hasan, KH. Fathul Muin Dg. Maggading, Ustadz Arief Marzuki, bahkan Kiai Abdul Kahar Syu’aib sendiri yang merupakan ayah kandung Muhsin dipersilakan pulang kembali ke rumah.
Mereka disambut haru dan doa oleh keluarga yang setia menunggu. Seorang perwira berpangkat Letnan berkata lirih kepada komandannya.
“Kini jelas. Semua ini digerakkan oleh satu nama: Muhsin Kahar.”
Sejak saat itu, semua mata-mata tentara, mata-mata intel, hingga mata-mata gelap yang bersembunyi di balik warung kopi dan lorong-lorong pasar hanya tertuju pada satu nama: Muhsin Kahar.
Dialah sumbu dari ledakan itu, pusat badai yang menyulut keberanian, sekaligus simbol perlawanan menentang perjudian yang terorganisir.
Dalam pelariannya, guru-gurunya dibebaskan. Dalam hilangnya, tokoh-tokoh sepuh bisa menarik napas panjang tanpa lagi dibayangi interogasi.
Pada akhirnya semua menjadi faham bahwa pelarian Muhsin bukan pengkhianatan, melainkan pengorbanan. Ia memilih menjadi bayangan agar cahaya yang lain tetap menyala.
Karena tak semua pelarian adalah lari dari tanggung jawab. Terkadang, pelarian adalah jalan sunyi untuk menyelamatkan lebih banyak jiwa.
Namun teman-teman mudanya tak seberuntung para guru. Abdul Djalil, Munzir Rowa, Tahir Fatwa, Abdurrahman, dan beberapa lainnya masih harus bertahan di balik jeruji.
Mereka dijadikan penyeimbang oleh aparat Koramil : seolah pesan tak langsung bagi Muhsin agar ia kembali dan menyerahkan diri.
Sesekali, petugas militer masuk, menggebrak meja, dan bertanya dengan nada menggertak: “Di mana Muhsin Kahar!?”
Pertanyaan itu terus menggema dari pagi hingga malam. Namun tak ada satu pun dari mereka yang menjawab pasti.
Bukan karena mereka tidak tahu, tapi karena mereka memilih untuk tidak mengkhianati ruh yang telah disulut.
“Kalau Muhsin tetap hilang, maka kalian akan tetap ditahan,” demikian suara aparat menyusup ke antara jeruji.
Namun para pemuda masih saja membisu. Mereka menyaksikan bagaimana Muhsin berdiri paling depan melawan ketidakadilan.
Para pemuda ini lebih memilih membiarkan Muhsin pergi daripada menyerahkan diri.
Di dalam tahanan, malam menjadi panjang tapi nyala itu tak padam. Dalam bisik-bisik antar jeruji, mereka saling menguatkan:
“Jika tubuh kita ditahan, biarlah. Asal ide kita tetap bebas.” “Jika kaki kita dibelenggu, jangan biarkan hati kita lumpuh.”
Abdul Djalil menatap langit dari celah jeruji, sejak mengirimkan surat rahasia kepada Muhsin melalui termos kecil yang diselipkan ke tangan Ustadz Abdul Khair Thayyib, ia telah siap menghadapi segala kemungkinan.
Dalam diam, ia berdoa agar Muhsin benar-benar menjauh, benar-benar tak menyerahkan diri.
Abdul Djalil berkata lirih kepada Munzir: “Sepertinya Muhsin telah memilih menjadi buruan… agar kita bisa menjadi orang merdeka.”
Munzir mengangguk pelan, dan menjawab, “Yang dikejar adalah tubuhnya. Tapi yang ditanam adalah nyalanya.”
Di luar, kota Makassar tak lagi gaduh. Tapi di balik ketenangan itu, ada satu pertanyaan yang bergema di hati banyak orang: Ke mana perginya api itu? Dan kapankah ia akan menyala kembali…? (bersambung ke seri 39)

TERBARU
-
Abdullah Said, Nyala yang Menghilang
29/06/2025 | 08:21 Wita
-
Spirit Muharram : Wadi Barakah Darul Hijrah
29/06/2025 | 03:45 Wita
-
Masjid Hilal Burhanuddin Diresmikan Bupati Maros, Ust Aziz : Kecerdasan Mempersiapkan Akhirat
28/06/2025 | 10:44 Wita
FOTO

Galeri – Powerfull Ramadhan di Ponpes Al Bayan Bersama Tokoh Muda
17/03/2025 | 07:19 Wita
Galeri – Powerfull Ramadhan Bersama Al Quran, Tarhib Ramadhan Al Bayan
23/02/2025 | 06:20 Wita
Galeri – Visitasi Asesmen Prodi Ekonomi Syariah STAI Al Bayan
09/01/2025 | 20:50 Wita
Galeri – Suasana Kedatangan Santri Baru Ponpes Al Bayan Hidayatullah Makassar
15/07/2023 | 22:16 WitaTERPOPULER
-
1
Resmikan Fasilitas di Wadi Barakah, Bupati Maros Sebut Hidayatullah Perintis Pengembangan Tompobulu
-
2
Abdullah Said, Nyala yang Menghilang
-
3
Abdullah Said, Ruh yang Tak Ingin Terkubur Lari Bukan Untuk Diri
-
4
Masjid Hilal Burhanuddin Diresmikan Bupati Maros, Ust Aziz : Kecerdasan Mempersiapkan Akhirat
-
5
Spirit Muharram : Wadi Barakah Darul Hijrah