Rabu, 25 Juni 2025 | 08:32 Wita
Abdullah Said, Ruh yang Tak Ingin Terkubur Lari Bukan Untuk Diri

SOSOK, HidayatullahMakassar.id — Motor vespa tua itu meraung pelan, menyusuri jalanan yang penuh lubang dan debu antara Makassar dan Parepare.
Di atasnya, Mahyuddin Thaha menggenggam kemudi dengan tenang, sementara di belakangnya Muhsin Kahar diam membisu, larut dalam pusaran pikirannya sendiri.
Jalan itu mungkin kasar, tapi jauh lebih tenang dari gelombang yang bergemuruh dalam dadanya.
Angin menerpa wajahnya, dan ingatan menerpa hatinya.
Sekilas, dunia masa kecilnya kembali hadir. Ia melihat dirinya yang kecil, duduk di pangkuan ibunya, mendengar bisikan lembut di sela belaian:
“Kelak, Muhsin bisa pergi ke mana saja. Tapi ingat, Nak, kemanapun engkau melangkah, jangan lupa pulang. Desa ini adalah akar kita, tempatmu kembali.”
Bayangan ayahnya, Kiai Kahar Syuaib, juga hadir. Sosok sederhana namun teguh, yang membacakan kisah para nabi saat anak-anaknya melingkar mengelilingi beliau.
Melintas dibenaknya saat ia dan keluarganya harus hijrah ke Makassar, di bawah beratnya perjuangan hidup, tak pernah sekalipun sang ayah melepaskan semangat nilai dan iman.
Setetes air bening jatuh dari sudut mata Muhsin. Ia tak menangis karena lemah. Ia menitikkan air mata karena kenangan itu bukan luka, melainkan pelita.
Ia kembali teringat pesan ayahnya, yang kini menguatkannya di tengah pelarian: “Hidup adalah perjalanan, Nak. Belajarlah dari setiap tempat yang engkau singgahi.”
Menjelang siang, mereka singgah di sebuah warung kecil antara Barru dan Parepare. Di tengah aroma nasi dan kopi hitam yang mengepul, Mahyuddin memecah keheningan dengan suara tenang:
“Muhsin… ke mana sebenarnya arah pelarian ini, dan sampai kapan?” Muhsin menatap gelas kopinya yang mengepul. Dengan suara lirih ia menjawab, “Entahlah… Tak ada kota tujuan selain Parepare. Semoga Allah beri petunjuk.”
Hening sejenak. Lalu Mahyuddin menyambung: “Kalau begitu, lanjut saja sampai ke utara daerah Mamuju. Atau… tinggalkan saja Sulsel ini, sebagaimana saran Abdul Djalil.”
Muhsin mengangguk perlahan. Kata-kata Djalil dalam surat dari balik sel kembali terngiang: “Jika perlu, tinggalkan Sulawesi. Jangan biarkan mereka tahu peta gerak kita…”
Mata Mahyuddin bersinar, penuh semangat; “Kalimantan adalah pulau terdekat. Dari Parepare, kapal laut bisa membawamu ke sana.”
Mereka menyusun rencana sederhana, tapi penuh harapan: Muhsin akan menyeberang ke Kalimantan, membawa jauh bara perjuangan agar tetap menyala, agar tidak padam oleh tangkap-menangkap yang membabi buta.
Usai mengisi perut dan meneguhkan tekad, mereka kembali mengaspal. Vespa tua kembali melaju, kini tidak hanya membawa tubuh, tetapi juga harapan dan arah baru.
Sementara itu, di Parepare, para aktivis Muhammadiyah dan PII telah bersiap menyambut mereka dengan degup cemas dan doa yang tak henti dipanjatkan.
Ketika akhirnya tiba, Muhsin dan Mahyuddin disambut bukan hanya sebagai pelarian, tetapi sebagai pejuang. Mereka adalah sosok yang tidak hanya mengutuk kemungkaran dari atas mimbar, tetapi berani menebasnya dengan tindakan nyata.
Para pemuda menatap Muhsin dengan haru; ada luka, ada letih, tapi lebih dari itu ada keberanian yang menular.
Di Parepare, mereka diterima di rumah M. Yunus, seorang aktivis Muhammadiyah dan PII. Hj. Puttiri, sang istri, menyambut mereka seperti saudara sendiri, menyajikan hidangan yang mengingatkan Muhsin pada rumah dan kampung halaman.
Di rumah itu juga tinggal Abdul Fattah, adik Hj. Puttiri yang masih sekolah di PGAN, ditugaskan untuk membantu kebutuhan harian Muhsin selama ia bersembunyi.
Suasana di rumah itu begitu tenang. Dari beranda yang langsung menghadap ke laut, Muhsin duduk merenung. Di hamparan air biru itu, ia tidak melihat pelarian tapi pijakan awal untuk sebuah kebangkitan baru.
Di sanalah ia merancang arah, menakar langkah, dan menyusun kembali strategi perjuangan amar ma’ruf nahi mungkar yang tak boleh putus.
Langit Parepare siang itu memantulkan cahaya yang lembut. Angin laut membelai wajahnya, seolah mengirimkan pesan dari Tuhan: bahwa kadang, jalan sunyi dan jauh adalah cara-Nya menjaga ruh perjuangan tetap hidup.
(bersambung ke seri 38)
Oleh : Dr Abdul Qadir Mahmud MA, Ketua STAI Al Bayan

TERBARU
-
Menapaki 50 Tahun Kedua Hidayatullah : Transformasi dan Rejuvinasi (2)
12/07/2025 | 21:01 Wita
-
Menapaki 50 Tahun Kedua Hidayatullah : Transformasi dan Rejuvinasi (1)
12/07/2025 | 20:29 Wita
-
Spirit Muharram Ust Abdul Majid : Hijrah dan Persahabatan
12/07/2025 | 16:13 Wita
FOTO

Galeri – Powerfull Ramadhan di Ponpes Al Bayan Bersama Tokoh Muda
17/03/2025 | 07:19 Wita
Galeri – Powerfull Ramadhan Bersama Al Quran, Tarhib Ramadhan Al Bayan
23/02/2025 | 06:20 Wita
Galeri – Visitasi Asesmen Prodi Ekonomi Syariah STAI Al Bayan
09/01/2025 | 20:50 Wita