Sabtu, 10 Mei 2025 | 17:18 Wita

Gelar Akademik, Ulil Albab dan Aplikasi Ilmu

Editor: admin
Share

Orasi Ilmiyah Wisuda Perdana STAI AlBayan Hidayatullah Makassar

Oleh: Dr Ir H Abdul Aziz Qahhar Mudzakkar MSi, Dewan Senat STAI AlBayan Ketua Badan Pembina Yayasan AlBayan Hidayatullah Makassar

OPINI, HidayatullahMakassar.id — Universitas Al-Qarawiyyin, di Fez, Maroko, berdiri pada 859 M adalah universitas tertua di dunia, sekaligus merupakan perguruan tinggi pertama yang memberi gelar akademik kepada alumninya.

Universitas Al-Qarawiyyin didirikan oleh seorang perempuan bernama Fatimah Al-Fihri.

Gelar akademik adalah tanda pengakuan formal terhadap pencapaian pendidikan tinggi, yang menunjukkan penguasaan seseorang dalam bidang ilmu tertentu.

Gelar akademik seperti sarjana, magister, doktor dan gelar profesi merupakan hasil perkembangan sistem perguruan tinggi di berbagai negara.

Di Indonesia gelar akademik pertama muncul pada masa pemerintahan kolonial Hindia Belanda ketika Belanda mulai mendirikan perguruan tinggi STOVIA pada 1898 (yang kemudian hari berubah jadi UI pada 1950) dan ITB pada 1920.

Standar Kompetensi dan Formalitas

Walaupun pada mulanya gelar akademik hanya merupakan legitimasi dan pengakuan memiliki kompentensi keilmuan dari perguruan tinggi, dalam perkembangan jauh ke belakang hingga kini gelar akademik menjadi ukuran formalitas dan standar kompetensi untuk rekrutmen suatu pekerjaan.

Terutama rekrutmen pekerjaan pada instansi pemerintahan, perguruan tinggi dan institusi pendidikan lainnya.

Kondisi demikian tidak bisa dielakkan, walaupun adanya gelar akademik  tidak mutlak menjadi jaminan kompetensi secara ril.

Sebaliknya, dalam konteks ini, walaupun seseorang memiliki kompetensi atau keterampilan tertentu, tanpa gelar akademik maka ia  tertolak secara sistemik.

“Predikat Akademik”  Dalam Al-Qur’an

Al-qur’an menggunakan beberapa term atau istilah untuk mereka yang memiliki kompetensi keilmuan, seperti Ulul Albab, Ulul Abshar, Ulun-Nuha, Ulul ‘Ilm, dan lainnya.

Semua istilah tersebut pada dasarnya merupakan sinonim dari kata atau istilah “Ulama” (orang-orang berilmu).

Selain predikat yang terkait ilmu, Al-Qur’an juga memberi predikat kemuliaan lainnya, seperti Muttaqin, Shalihin, Muhsinin, dan sebagainya.

Secara umum Allah SWT meninggikan derajat orang-orang berilmu seperti disebutkan pada istilah  di atas, sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur’an: “niscaya Allah akan mengangkat (derajat) orang-orang beriman dan orang-orang ang berilmu beberapa derajat” (QS 58:11).

Dari semua term di atas, istilah Ulil Albab paling banyak digunakan dalam Al-Qur’an, karena itu artikel ini secara khusus hanya  menyoroti istilah tersebut.

Ulul Albab

Istilah Ulul Albab disebutkan sebanyak 16 kali dalam Al-Qur’an. Dengan penyebutan yang demikian banyak maka kiranya sangat penting untuk memperhatikan, memahami dan mentabburi makna,  menangkap pelajaran serta  pesan dari istilah dan ayat-ayat tersebut.

Ulul albab berasal dari dua kata: ulul dan albab. Ulu berarti “yang mempunyai”. Sedangkan albab, walaupun pada dasarnya memiliki banyak arti, sering diterjemahkan dengan “akal”.

Albab adalah bentuk jamak dari kata “lubb”, sehingga ulul albab berarti “orang-orang yang berakal.

Ibnu Katsir mengartikan ulil albab sebagai “orang yang memiliki akal sempurna dan kecerdasan”.

Sedangkan menurut Sayyid Qutub, ulul albab adalah orang-orang  yang memiliki pemikran dan pemahaman yang benar.

Ciri-ciri utama seorang ulul albab di antaranua, Pertama, merupakan orang yang banyak berdzikir dan tafakkur.

Ia mampu berdzikir dalam segala kondisi, dan senantiasa menggunakan pikiran untuk memikirkan ciptaan Allah. Sebagaimana dijelaskan dalam Quran Surah 3: 190-191.

Kedua, ia bersungguh-sungguh mencari ilmu.(QS 3:7). Ketiga, Mampu memisahhkan antara baik dan buruk (QS 5:100). Keempat, ia kritis dalam mendengarkan pembicaraan (QS Az-Zumar ; 18)

Ciri kelima, ia bersedia membagikan ilmu kepada orang lain (QS 13; 19-22) dan keenam, cirinya ia hanya takut kepada Allah (QS At-Talaq:10)

Berdzikir dan Berpikir sebagai Metodologi dan Aktifitas Keilmuan

Allah ta’alla berfirman dalam QS Ali Imran: 190-191

اِنَّ فِىۡ خَلۡقِ السَّمٰوٰتِ وَالۡاَرۡضِ وَاخۡتِلَافِ الَّيۡلِ وَالنَّهَارِ لَاٰيٰتٍ لِّاُولِى الۡاَلۡبَابِ ۚۖ‏ ١٩٠

Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan pergantian malam dan siang terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang berakal,

الَّذِيۡنَ يَذۡكُرُوۡنَ اللّٰهَ قِيَامًا وَّقُعُوۡدًا وَّعَلٰى جُنُوۡبِهِمۡ وَيَتَفَكَّرُوۡنَ فِىۡ خَلۡقِ السَّمٰوٰتِ وَالۡاَرۡضِۚ رَبَّنَا مَا خَلَقۡتَ هٰذَا بَاطِلًا ۚ سُبۡحٰنَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ‏ ١٩١

(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk atau dalam keadaan berbaring, dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), “Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan semua ini sia-sia; Mahasuci Engkau, lindungilah kami dari azab neraka.

Dalam QS 3: 190  itu Allah menegaskan  bahwa seluruh ciptaanNya berupa langit dan bumi  (dan segala isinya) merupakan ayat-ayat (tanda kekuasaan) Allah yang menjadi ontology atau obyek ilmu pengetahuan. Semua ciptaan Allah dapat menjadi obyek ilmu pengetahuan.

Kemudian pada QS 3: 191 menunjukkan metodologi atau cara memperoleh ilmu, yaitu berdzikir dan berpikir. Jadi berdzikir dan berpikir  merupakan metodologi dan aktifitas untuk memperoleh ilmu.

Berdzikir bukan hanya merupakan aktifitas ibadah  ritual, tapi juga merupakan paradigma dan metodologi keilmuan.

Hal ini tentu sangat berbeda dengan paradigma dan epistimologi Barat dimana hanya menggunakan fakultas pikiran berupa rasionalisme dan empirisme untuk memperoleh ilmu pengetahuan.

Karena itu bagi epistimologi Barat obyek yang tidak rasional dan tidak empiris, misalnya malaikat atau jin, tidak termasuk wilayah atau obyek ilmu pengetahuan.

Dari aktifitas ilmiyah atau keilmuan berupa berdzikir dan berpikir maka akan terjadi perolehan ilmu atau temuan ilmiyah.

Hasil kinerja ini kemudian menambah keimanan dan kekaguman sang Ulul Albab (ilmuan, peneliti, penuntut ilmu) akan eksistensi dan kebesaran kekuasaan Allah.

Dengan itu kemudian Ia   mengucapkan “rabbanaa maa khalaqta hadzaa bathila, subhanaka faqinaa adzabannar” (Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan semua ini sia-sia, Mahasuci Engkau, lindungilah kami dari adzab neraka).

Inilah aksiologi atau kegunaan ilmu yang paling  utama, yaitu bertambahnya iman, disamping kemanfaatan ilmu lainnya dalam kehidupan secara empiris.

Aplikasi Ilmu

Al-qur’an sangat menekankan kesatuan antara IMAN, ILMU dan AMAL. Pemisahan diantara ketiganya menyebabkan Islam akan hilang pada diri seseorang. Tidak ada iman tanpa ilmu, dan tidak ada Islam tanpa pengamalan.

Wahyu yang pertama diturunkan, QS Al-Alaq: 1-5, yang kandungannya adalah soal iman dan Aqidah tauhid, ayat pertamanya merupakan perintah untuk membaca (iqra’).

Membaca (dalam arti luas) adalah pintu utama untuk mendapatkan ilmu.

QS Muhammad:19 menekankan bahwa keimanan kepada Allah (Tauhid) harus disertai dengan ilmu atau pemahaman. “Maka ketahuilah bahwa tiada Tuhan (yang patut disembah) selain Allah..”

Hampir semua ayat yang menyebutkan tentang orang-orang  beriman (alladzina amanu) selalu diikuti dengan kalimat “dan orang-orang yang beramal shalih” (wa ‘amilusshalihat).

Hal ini menggambarkan betapa mutlaknya iman disertai dengan amal. Dengan perkataan lain, iman tanpa amal adalah absurd. 

“Orang-orang berilmu” memang tidak disebutkan di tengah ayat-ayat tersebut, tapi mutlaknya ilmu terhadap iman, dijelaskan pada ayat-ayat lain.

Islam sangat mengecam orang yang memiliki ilmu tapi tidak diamalkan. “(Itu) sangat dibenci di sisi Allah jika kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan” (QS 61:3).

***

Jadi gelar akademik adalah pengakuan legalitas dari suatu lembaga pendidikan terhadap mereka yang mencapai pendidikan tertentu di institusi tersebut.

Walaupun gelar akademik tidak menjadi jaminan mutlak terhadap kompentensi keilmuan dan keterampilan, tuntutan “dunia kerja” yang semakin teknokratis dan birokratis meniscayakan hal tersebut.

Dalam pada itu tentu saja terdapat banyak lapangan kerja dan pengabdian yang lebih membutuhkan kompetensi dan skil dari pada sekadar  gelar akademik.

“Predikat akademik” pemberian Allah yang disebutkan di dalam Al-Qur’an, seperti Ulul Albab, Ulun Nuha, Ulul ‘Ilm, dll, mestinya menjadi target utama yang harus dicapai seorang muslim penuntuk ilmu.

Demiikian pula dengan predikat kemulian lain seperti muttaqin, shalihin, muhsin, dan sebagainya.

Iman, ilmu dan amal adalah satu kesatuan yang mutlak. Pemisahan salah satu diantaranya menyebabkan hilangnya iman dan Islam itu sendiri.

Tuntutan mutlak bagi orang beriman dan memiliki ilmu adalah mengamalkan ilmunya sebagai wujud ibadah dan amal shalih untuk meraih Ridha Allah SWT. Wallahuallam. (*/fir)



BACA JUGA