Jumat, 2 Mei 2025 | 13:07 Wita

Abdullah Said, Mereka yang Mengetuk Pintu Langit

Editor: admin
Share

SOSOK, Hidayatullah Makassar.id — Pagi itu, udara Makassar belum sepenuhnya hangat. Kabut tipis masih menggantung rendah di sela-sela pepohonan di halaman Malimongan Baru. Para peserta pengkaderan duduk bersila, berjejer rapi di lantai beralas tikar pandan yang mulai usang di sudut-sudutnya.

Mereka bersiap menyimak pelajaran yang hari itu terasa berbeda, bukan strategi dakwah, bukan teknik retorika dari Muhsin Kahar, tapi pelajaran yang lebih sunyi yakni ilmu bahasa penduduk langit yakni bahasa Arab.

Langkah KH Ahmad Marzuki Hasan terdengar tenang memasuki ruang belajar. Wajahnya teduh dan bercahaya menunjukkan sikapnya yang rendah hati, janggut putihnya seolah memantulkan kebeningan hati yang telah ditempa waktu dan ilmu.

Ia tidak banyak bicara di awal. Hanya meletakkan mushaf dan buku kecil usangnya di hadapan, lalu memandang peserta pengkaderan dengan tatapan yang teduh namun dalam.

“Kalian ingin mengajarkan al-Qur’an kepada umat?” tanyanya pelan. Suaranya rendah, nyaris seperti gumaman, namun membuat ruangan seketika senyap.

“Tapi bagaimana kalian menyampaikan firman Allah, jika kalian tidak mengenal bahasa-Nya?”

Para pemuda itu Nampak semakin bersemangat. Kiai Marzuki menghela napas, lalu melanjutkan, “Nahwu dan Sharaf yang akan kita pelajari bukan sekadar ilmu gramatika. Ia adalah kunci gerbang dan tanpa kunci itu, kalian akan berdiri lama di depan pintu ayat, mengetuk-ngetuk tanpa bisa masuk.”

Bahkan, sambungnya, satu harakat bisa mengubah makna seluruh kalimat. Satu bentuk fi’il bisa menyingkap rahasia waktu yang tak kasat mata.

Ia lalu menuliskan satu ayat pendek di papan tulis yang sudah mulai kusam.

Tangannya gemetar ringan, tapi goresannya tegas. Para peserta mulai mencatat dengan lebih khusyuk.

Di antara peserta yang sedari awal bersemangat pada pelajaran bahasa Arab seperti Said Abdul Samad dan Manshur Salbu tiba-tiba merasa bahwa pelajaran ini menjadi pengingat yang menggugah.

Bahwa menjadi muballigh bukan sekadar bicara, tapi sangat penting menyelami, memahami wahyu dari Allah, lalu menyampaikannya dengan penuh tanggung jawab.

Pendidikan Kader Muballigh Pemuda Muhammadiyah (PKM-PM) itu bukanlah sekadar kegiatan. Ia adalah ruh gerakan, degup dakwah yang ditanamkan dalam dada para pemuda yang datang dari segala penjuru Sulawesi Selatan dan Tenggara.

“Saudara-saudaraku,” ucap Muhsin, tangannya menggenggam naskah usang yang ditulisnya sendiri, “Berdakwah bukan sekadar berbicara. Ia adalah hidup yang dibakar oleh keyakinan, digerakkan oleh cinta, dan dipandu oleh ilmu.”

Para pemuda itu menyimak, mereka percaya. Meskipun fasilitas serba terbatas, tak satu pun diantara mereka mengeluh. Mereka datang bukan untuk kenyamanan, tetapi untuk misi membawa risalah agung.

Pada suatu sore, saat hujan gerimis mengetuk atap-atap seng, Arsyad Taman menghampiri Muhsin yang sedang duduk menulis daftar kebutuhan harian.

“Akhi,” ujarnya pelan, “Beras di dapur tinggal untuk tiga hari. Dan utang ke warung Pak Daeng belum juga terbayar.”
Muhsin tersenyum, meski letih tergurat jelas di wajahnya.

“Tak apa. Kita sudah terbiasa hidup dalam jihad. Allah takkan membiarkan kita tergeletak tanpa pertolongan.”

Yang membuat Muhsin, Arsyad dan Aminuddin kuat karena mereka dibantu oleh para tokoh aktivis Muhammadiyah Mimbar serta keluarga dekat Muhsin Kahar.

Sebut saja misalnya; Lukmanul Hakim, Shafiah, Nasrun, Ni’mah Said, Andi Numdira Rahman, Drs Andi Haru, hingga keluarga Hafidz Noor dan Petta Timang.

Para tokoh inilah yang menjadi bahan bakar bagi semangat merekan sehingga tak pernah redup bahkan semakin menyala.

Pada hari-hari tertentu, KH Ahmad Marzuki Hasan datang membawa suasana berbeda. Tutur katanya yang halus, kedalaman ilmunya yang luar biasa, serta hafalan al-Qur’annya yang memukau membuat para peserta terdiam khusyuk.

Ilmu itu, anak-anakku, katanya suatu hari, adalah warisan para nabi. “Tapi ilmu yang tidak diikat dengan amal, akan menjadi beban di akhirat. Maka jadilah da’i yang hidup dengan apa yang kalian serukan.”

Muhsin Kahar mengangguk pelan dari sudut ruangan. Di matanya, terlihat bulir bening yang tak sempat jatuh. Ia tahu, pendidikan ini belum sempurna.

Tapi benih telah ditanam. Suatu saat, Insya Allah, ia akan tumbuh dan menjadi pohon-pohon yang menaungi umat. (bersambung ke seri 24/*)

*) Oleh: Dr Abdul Qadir Mahmud MPd, Direktur STAI Al Bayan Hidayatullah Makassar



BACA JUGA