Kamis, 1 Mei 2025 | 07:01 Wita

Abdullah Said, Bara yang Tak Pernah Padam; Menjahit Harapan

Editor: admin
Share

SOSOK, HidayatullahMakassar.id — Angin malam di Makassar berembus pelan, membawa suara desir pohon yang berbisik di antara langkah-langkah yang tak pernah lelah.

Di sebuah ruangan sederhana, Muhsin Kahar duduk bersila, menatap meja penuh berkas, amplop kosong, dan lembaran proposal yang sudah lusuh karena dipegang berkali-kali.

“Apa lagi yang bisa kita jual, selain semangat?” gumamnya pelan. Arsyad Taman, sekretaris yang setia menemani dalam sunyi dan riuhnya perjuangan, menatapnya dengan mata lelah tapi tak pernah surut harap.

“Kita tak menjual semangat, Sin. Kita menawarkannya kepada siapa saja yang masih punya hati,” jawab Arsyad seraya menyerahkan catatan keuangan yang semakin menipis.

Di sisi lain ruangan, Aminuddin Djafar, bendahara yang lebih sering menjahit harapan daripada menghitung rupiah, hanya tersenyum pahit.

“Kalau semangat bisa dicairkan di bank, kita sudah jadi jutawan,” candanya lirih. Tawa kecil mengisi ruang itu, meskipun mereka tahu, yang akan dihadapi esok hari lebih berat dari hari ini.

Namun demikianlah api itu menyala. Bukan dari bensin donatur, bukan dari lilin kaya raya, tapi dari bara hati yang tak mau padam.

Muhsin, Arsyad, dan Aminuddin—tiga anak muda yang tak punya apa-apa kecuali iman dan cinta pada dakwah. Mereka keliling Sulawesi Selatan, bukan membawa dagangan, tapi membawa cita-cita.

Mereka mengetuk pintu bupati-bupati penghasil beras—di Sidrap, Wajo, Parang, Pangkep, hingga Maros. Di setiap pintu yang terbuka, mereka tak meminta-minta, tapi menjelaskan dengan penuh keyakinan.

Di dibawah temaram cahaya lampu pijar, Muhsin termenung. Ia ingat Syanggit—desa pengkaderan di tengah gurun Afrika, yang pernah diceritakan K.H. Mas Mansur.

Desa itu dibangun oleh Syaikh Sidi Abdullah, seorang hartawan yang menyerahkan semua harta yang dimilikinya demi pendidikan kader.

Ia menarik napas dalam-dalam.
“Sulit mencari orang seperti Syaikh Sidi Abdullah di sini…” gumamnya lirih.

“Tapi kita punya Mimbar, …Sin,” ujar Arsyad dan Aminuddin menyela hamper bersamaan.

Muhsin menoleh menatap kedua sahabatnya sambil mengulum senyum, Mimbar—Cabang Malimongan Baru—menjadi medan juang bagi mereka bertiga.

Bukan desa luas seperti Syanggit, bukan pula tanah lapang yang siap bangun. Tapi di situlah, dengan segala keterbatasan, api pengkaderan dinyalakan.

“Tak ada uang pendaftaran. Tak ada janji kenyamanan. Yang kami minta hanya niat dan semangat,” ucap Aminuddin Djafar saat menyambut 40 pemuda dari seluruh pelosok Sulselra.

Mereka datang dari Parepare, Sinjai, Bantaeng, Jeneponto, Toraja, Bone, Pinrang, hingga Gowa. Nama-nama mereka kelak akan menjadi batu pertama dalam sejarah dakwah di kampung-kampung yang belum tersentuh.

Ada Muh. Said Abdul Samad, Abdul Jalil, Faisal, Abdul Hamid, Aminuddin, Noor Asry, Usman Effendi, Abdullah Syakur, dan lainnya.

Di hari pertama pelatihan, Muhsin berdiri di depan mereka. Suaranya tidak lantang, tapi tegas dan menyusup ke dalam dada.

“Kalian bukan hanya belajar. Kalian sedang berlatih menjadi cahaya. Dan cahaya tak pernah memilih tempat untuk bersinar.”

Muhsin menatap satu per satu wajah-wajah muda yang tampak letih namun menyimpan bara harapan. Ia membiarkan jeda sejenak, membiarkan hening menyapa mereka sebelum berkata lebih dalam.

“Kita hidup di zaman ketika kebatilan tidak malu-malu menampakkan diri, tapi kebenaran sering bersembunyi karena takut kekurangan. Kalian datang ke sini bukan untuk mencari kemudahan, tapi untuk menjadi jawab atas seruan zaman. Kalian bukan lagi sekadar pemuda—kalian adalah calon pengemban risalah.”

Muhsin berjalan pelan, menatap lekat ke dalam mata-mata yang kini mulai menyala.

Dengan retorika yang kuat dan kental, ia kembali mengangkat suara, “Ingatlah, wahai saudaraku, para nabi tak dibekali harta dan kekuasaan, tetapi kata-kata mereka mengguncang takhta raja. Karena yang mereka bawa adalah kebenaran”.

Dan kebenaran, lanjutnya, bila dipegang dengan iman dan disampaikan dengan hikmah, akan selalu menemukan jalannya.

“Di sinilah kalian menempanya—di masjid dan rumah-rumah sederhana ini, di antara tikar dan cahaya lampu redup, ” pekiknya.

Di sinilah kalian lahir mujahid-mujahid dakwah, tegasnya, maka tegakkan kepala kalian, karena hari ini kalian tidak sekadar belajar, kalian sedang menyiapkan diri menjadi pembawa risalah yang Agung… risalah Allah di bumi.(bersambung ke seri 23/*)

*) Oleh : Dr Abdul Qadir Mahmud MPd, Direktur STAI Al Bayan Hidayatullah Makassar



BACA JUGA