Selasa, 29 April 2025 | 07:12 Wita
Abdullah Said, Mereka yang Tak Pernah Letih Bermimpi

SOSOK, HidayatullahMakassar.id — Langit Makassar masih memerah ketika empat puluh pemuda dari berbagai daerah berkumpul, memikul sebuah impian besar.
Impian itu membangun sebuah perkampungan pengkaderan, tempat jiwa-jiwa muda ditempa dalam bara iman dan ilmu.
Di tengah riuh semangat itu, Muhsin Kahar berdiri, seolah menjadi jangkar bagi gelombang harapan yang menggelora.
Surat edaran telah tersebar, nama-nama telah tercatat, dan perjalanan ke Kecamatan Cina, Bone, seakan tinggal menunggu hitungan waktu. Namun, di balik rencana yang menggebu, takdir memainkan siasatnya sendiri.
Kabar mengejutkan datang, lirih namun mengguncang: keberangkatan dibatalkan. Bukan karena kurangnya semangat, bukan pula karena kealpaan persiapan, melainkan karena keraguan yang merayap di benak para tokoh senior.
Ada kekhawatiran yang tak terucap: apakah para pemuda ini benar-benar mampu? Jangan-jangan, setelah sampai di sana, mereka malah tak terurus. mungkinkah impian anak-anak muda ini hanya tinggal impian? Mungkinkah mereka membangun, lalu meninggalkannya sebagai puing?
Dalam pertemuan darurat yang mendadak digelar, suasana terasa berat. Muhsin Kahar duduk bersandar di kursi, menahan gejolak hati.
Ia melirik kawan-kawannya, wajah mereka menunjukkan rasa kecewa yang dalam. “Kenapa bisa begini, Kakanda?” tanya seorang peserta dari Sinjai, Amiruddin, dengan suara bergetar. “Kita sudah siapkan semua, bahkan sudah berikrar!”
Muhsin menarik napas panjang. “Kita ini pejuang,” jawab Muhsin tenang. “Kalau satu pintu tertutup, kita cari pintu lain. Bahkan kalau perlu, kita dobrak pintu itu dengan sabar dan doa.”
Muhsin menatap kosong ke kejauhan. Angin malam mengibaskan ujung sarungnya. Ia tahu, di hadapan orang tua, tidak ada tempat bagi amarah. Ia memilih diam, menelan kecewa dalam-dalam, menyimpannya sebagai bara yang akan ia jaga.
Dalam keheningan, ia menemui Kiai Abdul Kahar Syu’aib — seorang ayah ruhani yang tak pernah lelah menuntunnya. Di beranda rumah tua yang sederhana, suara Kiai mengalir tenang, seperti mata air yang menyejukkan.
“Muhsin, perjuangan itu bukan menaklukkan dunia, tapi menaklukkan diri sendiri. Sabar bukan berarti diam. Sabar itu bergerak, mencari jalan baru ketika pintu tertutup,” nasihatnya.
Muhsin menggenggam sabda ayahnya itu erat-erat dalam dadanya. Tak lagi ke Cina. Tak lagi membangun gubuk di tanah Bone. Tapi cita-cita itu tetap harus berwujud. Malam itu juga, ia mengumpulkan para peserta.
Di bawah cahaya lampu yang redup, ia bicara, perlahan namun menggetarkan, “Saudara-saudaraku, perjalanan kita tak berakhir di sini. Kita bangun perkampungan itu di Makassar. Di Malimongan Baru. Dengan apa yang ada. Dengan hati yang penuh cinta pada perjuangan.”
Tawa getir pun terdengar, bercampur dengan sisa semangat yang enggan padam.
“Kalau tidak bisa ke negeri Cina,” ujar Malik setengah berseloroh, “kita jadikan Makassar sebagai negeri Cina kita.”
Lalu, tanpa banyak bicara lagi, mereka mulai bergerak. Cabang Muhammadiyah Malimongan Baru, yang tidak seberapa besar dan tidak pula kaya, kini menjadi saksi lahirnya sebuah pengkaderan.
Segala kekurangan diterima dengan tangan terbuka: konsumsi, akomodasi, tenaga pengajar, semua ditanggung sendiri dengan penuh keyakinan.
Di setiap sujud, Muhsin memohon agar keletihan ini menjadi pahala, agar air mata ini menjadi saksi di hadapan Allah kelak.
Dalam hatinya, Muhsin teringat kepada K.H. Mas Mansur, pejuang besar yang pun pernah bermimpi membangun perkampungan pengkaderan di tengah benua Afrika, di Syanggit.
Namun takdir berkata lain.
“Bahkan Mas Mansur pun pernah gagal,” batinnya. “Maka, siapa aku untuk mengeluh?”
Malam-malam berikutnya, masjid Lailatul Qadri dimana Kiai Abdul Kahar menjadi Imam, rumah Muhsin Kahar serta rumah-rumah aktivis Muhammadiyah di Mimbar (Malimongan Baru) menjadi tempat menyemai semangat menuntut ilmu.
Di antara ayat-ayat yang dilantunkan, di antara buku-buku usang yang dibaca bergiliran, Muhsin dan kawan-kawannya menanamkan benih cita-cita ke dalam dada generasi baru.
Benih yang mungkin kecil. Tapi kelak, akan menjulang tinggi menembus langit zamrud Sulawesi.(bersambung ke seri 21/*)
*) Oleh: Dr Abdul Qadir Mahmud MPd, Direktur STAI Al Bayan Hidayatullah Makassar

PENDAFTARAN MAHASISWA BARU T.A 2025/2026
STAI AL-BAYAN MAKASSAR
KELAS
1️⃣ Reguler
2️⃣ Eksekutif (Khusus Prodi Eksya)
3️⃣ Takhassus Lughowi (Bagi Mahasiswa Boarding)
PROGRAM STUDI
1️⃣ S1 Ekonomi Syariah (EKSYA)
2️⃣ S1 Tadris Matematika
3️⃣ S1 Pendidikan Guru MI/SD (PGMI)
💎 Info Program : staialbayan.ac.id
💎 Pendaftaran : http://forms.gle/XBbdds4JQ9LCfuMq9
💎Kunjungi:
https://staialbayan.ac.id
💎 Info Pendaftaran
📱 Hubungi : wa.me/ 085299650455
085246559606
Yuk segera daftar dan wujudkan impianmu menjadi *kader Islam profesional berdaya global.*
#staialbayanmakassar
#kampusnyaparakaderislam

TERBARU
-
Merajut Empat Pilar Kampus Hidayatullah dengan Benang Komunikasi Profetik: Sebuah Narasi Transformasi Peradaban (1)
29/04/2025 | 07:43 Wita
-
Abdullah Said, Mereka yang Tak Pernah Letih Bermimpi
29/04/2025 | 07:12 Wita
-
Santri Menulis – Peraturan Membuatku Disiplin
26/04/2025 | 21:12 Wita
FOTO

Galeri – Powerfull Ramadhan di Ponpes Al Bayan Bersama Tokoh Muda
17/03/2025 | 07:19 Wita
Galeri – Powerfull Ramadhan Bersama Al Quran, Tarhib Ramadhan Al Bayan
23/02/2025 | 06:20 Wita
Galeri – Visitasi Asesmen Prodi Ekonomi Syariah STAI Al Bayan
09/01/2025 | 20:50 Wita