Sabtu, 26 April 2025 | 05:33 Wita

Abdullah Said, Meniti Jejak Syanggit di Cina Tanah Sulawesi

Editor: admin
Share

SOSOK, HidayatullahSulsel.id — Di dalam kamarnya yang sederhana, Muhsin Kahar kembali larut dalam bacaannya. Di tangannya masih tergenggam buku kumpulan pikiran K.H. Mas Mansur.

Jiwa dan pikirannya masih tertambat pada satu bagian cerita tentang Syanggit—sebuah desa pengkaderan Islami di Afrika Utara.

Ia kembali membacanya dengan penuh khusyuk, seolah setiap kata meluncur langsung ke dalam sanubari.
“Syanggit…” gumamnya lirih, “desa yang menumbuhkan para kader ulama dengan kehidupan yang benar-benar Islami. Disiplin, teratur, mandiri…”

Angin malam menyelinap lewat jendela kamarnya. Di luar, dedaunan menari pelan. Di dalam, benak Muhsin justru penuh dengan semangat dan tekad.

Sudah lama terlintas keinginannya membangun kawasan pengkaderan seperti itu, tapi selama ini masih kabur.

Kini, Syanggit memberinya bentuk dan arah yang lebih terang.

Keesokan harinya, di sebuah rumah tempat biasa berkumpul, Muhsin duduk bersama rekan- rekannya: Djalil, Mahyuddin, dan lainnya.

Mereka sudah terbiasa mendengarkan ide-ide “gila” Muhsin, tapi yang satu ini terasa berbeda.
“Aku tak bisa diam saja, teman-teman,” kata Muhsin sambil menatap cangkir kopinya.

“Bayangkan jika kita punya tempat seperti Syanggit. Tempat kader-kader Islam lahir, hidup, dan tumbuh tanpa terdistraksi dunia. Kita bisa memulainya di Sulsel. Bukan meniru mentah-mentah, tentu… tapi menyesuaikan.”

Djalil mengangkat alis, “Kau yakin orang-orang tua di Muhammadiyah akan setuju? Mereka biasanya berat kalau dengar ide semacam itu.”

Muhsin tersenyum yakin, “Sudah sering kutawarkan. Kali ini kita harus lebih bersungguh-sungguh. Aku yakin jika niat kita lurus, Allah akan bukakan jalan.”

Mahyuddin mengangguk pelan. “Kalau begitu, mari kita mulai dari apa yang bisa kita lakukan. Katakan saja, apa yang dibutuhkan?”

“Pertama, aku akan gulirkan kembali ide ini di setiap pertemuan. Dan kita harus siapkan gambaran konkretnya. Tanah, tempat, kebutuhan, calon pengajar, semuanya.”

Ia menatap rekan-rekannya satu per satu. “Kita harus berani. Jangan takut disebut terlalu ideal.”

Dan benar saja, ide itu tak berhenti menjadi sekadar wacana. Setiap forum menjadi panggung bagi Muhsin untuk menghidupkan impian itu.

Berkali-kali ia paparkan, sampai-sampai para tokoh senior kehabisan alasan untuk menolaknya. Akhirnya, dengan penuh pertimbangan, mereka menyetujui.

“Baiklah, kalian mulai saja. Tunjukkan kesungguhan kalian,” kata salah satu tokoh senior dalam pertemuan terakhir.

Surat edaran pun disebar ke seluruh wilayah Sulawesi Selatan dan Tenggara. Isinya mengajak seluruh cabang Muhammadiyah mengirim kader terbaik untuk mengikuti program pengkaderan intensif.

Sambutan dari daerah sungguh menggembirakan.
“Empat puluh orang mendaftar, Muhsin!” seru Mahyuddin antusias saat membawa kabar dari sekretariat.

“Empat puluh! Dan semuanya siap berangkat langsung ke Bone!”
Muhsin tersenyum haru.

“Allahu akbar… Ini lebih dari cukup untuk memulai.”
Rencana pun dijalankan. Mereka akan membuka lahan di Kecamatan Cina, Kabupaten Bone.

Para peserta akan membangun gubuk sederhana, didampingi masyarakat lokal. Menyusul kemudian para ustadz dan pembimbing.

Sore itu, di teras sebuah rumah panggung, Muhsin dan rekan-rekannya duduk memandangi matahari yang mulai tenggelam. Angin bertiup lembut membawa aroma tanah basah dan semangat baru.

“Apa kau pikir kita bisa sukses, Muhsin?” tanya Mahyuddin, sedikit khawatir. Muhsin menatap jauh ke arah pegunungan yang membiru di kejauhan.

“Insya Allah. Mimpi ini bukan milikku sendiri. Ini milik umat. Dan selama ada yang percaya, tak ada yang tak mungkin.”

Mereka terdiam sejenak, membiarkan angin sore menjadi saksi. Di antara kabut harapan dan langkah berat perjuangan, sebuah impian besar tengah dirintis.
(bersambung ke seri 21)

*) Oleh : Dr Abdul Qadir Mahmud MPd, Direktur STAI Al Bayan Hidayatullah Makassar



BACA JUGA