Rabu, 12 Februari 2025 | 07:29 Wita

Abdullah Said – Pergulatan Hati: Lebih dari sekedar Gelar

Editor: admin
Share


HidayatullahMakassar.id — Tahun 1964 Muhsin Kahar lulus dari PGAN 6 Tahun dengan nilai tertinggi, iapun mendapat kesempatan untuk melanjutkan pendidikan di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Alauddin Makassar (saat ini UIN Alauddin Makassar).

Sebuah kebanggaan bagi banyak orang, tetapi bagi Muhsin, itu adalah awal dari sebuah dilema.

Tahun pertama kuliah dijalaninya dengan semangat menyala. Setiap pagi, ia bergegas ke kampus, membawa harapan besar akan ilmu yang lebih luas.

Namun, perlahan, semangat itu mulai pudar. Hari-hari di ruang kuliah terasa hambar. Materi yang disampaikan dosen tak lebih dari rangkuman buku-buku yang sudah ia lahap sebelumnya.

Muhsin merasa tak ada tantangan, tak ada cakrawala baru yang terbuka.
Setiap kali ia duduk di bangku kelas, mendengar penjelasan yang terasa seperti putaran ulang dari apa yang telah ia ketahui, ada suara kecil dalam hatinya yang mulai berbisik.

“Muhsin…, apa engkau akan terus di sini, membuang waktu hanya demi selembar ijazah ?”

Suatu malam, Muhsin terduduk di sudut kamarnya, dikelilingi tumpukan buku yang terasa lebih hidup dibanding perkuliahan pagi tadi.

Cahaya lampu belajar menerangi halaman-halaman yang terbuka, seakan mengajaknya berbincang. Ia menghela napas panjang, matanya menatap kosong ke dinding.

“Apa yang kucari sebenarnya? Gelar? Atau ilmu?”
Pertanyaan itu terus mengusik. Ia mencoba mengabaikannya, meyakinkan diri bahwa kuliah tetap penting.

Tapi semakin ia memaksakan, semakin sesak hatinya. Muhsin bukanlah orang yang bisa duduk diam dan menerima tanpa berpikir.

Hari demi hari, kegelisahan itu semakin kuat. Ia mulai melihat kampus sebagai belenggu, bukan lagi tempat mencari ilmu. Waktu dan energinya terasa terbuang sia-sia di ruang kuliah yang lebih banyak mengulang dibanding menantang.

Hingga akhirnya, setelah malam-malam panjang dalam perenungan, Muhsin membuat keputusan besar.
Ia akan berhenti. Bukan karena menyerah, bukan pula karena malas.

Tapi karena ia sadar, ilmu sejati tidak hanya ada di ruang kelas. Ada dunia yang lebih luas menantinya—di buku-buku, di diskusi, di pengalaman langsung di medan dakwah.

Beberapa temannya terkejut. “Kenapa kau berhenti, Muhsin? Bukankah gelar sarjana itu penting untuk masa depan kita ?” tanya seorang sahabatnya, heran.

Muhsin tersenyum tipis sambil menjawab ringan. “Aku butuh ilmu yang hidup lebih dari sekedar gelar”
Keputusannya itu mengundang berbagai reaksi.

Ada yang menganggapnya sombong. Ada juga yang mengejeknya dengan mengatakan ia hanya takut menghadapi tantangan akademik.

Tapi Muhsin tidak peduli. Ia lebih memilih berdakwah, aktif di organisasi, dan memperdalam ilmu langsung dari para ulama. Ia haus akan ilmu yang hidup, yang bisa ia rasakan manfaatnya langsung di tengah masyarakat.

Di saat teman-temannya masih sibuk mengejar gelar, Muhsin sudah terjun ke dunia nyata. Muhsin aktif mengajar, berdakwah, dan terus belajar dari berbagai sumber.

Baginya, ilmu bukan sekadar teori di ruang kelas, tapi cahaya yang harus diamalkan dalam kehidupan. Dan ia yakin, jalan yang ia pilih adalah jalan yang benar.
Dan kini, ia siap melangkah keluar, menghadapi dunia dengan caranya sendiri. (bersambung ke seri 12/*)

*) Oleh: Dr Abdul Qadir Mahmud MA, Ketua STAI Al Bayan Hidayatullah Makassar



BACA JUGA