Sabtu, 8 Februari 2025 | 20:26 Wita

Abdullah Said The Man of Action, Kepala Tegak Langkah Tak Goyah

SOSOK, HidayatullahMakassar.id — Pagi itu, halaman Pendidikan Guru Agama Negeri (PGAN) 6 Tahun mulai ramai oleh siswa-siswi yang berdatangan dengan pakaian rapi.

Seragam putih dan hitam mereka tampak bersih, sepatu mengkilap berderap di atas tanah, sementara aroma khas minyak rambut Tancho menyebar di udara, menambah nuansa segar di pagi yang cerah.

Muhsin Kahar melangkah memasuki gerbang Pendidikan Guru Agama Negeri (PGAN) 6 Tahun dengan penuh keyakinan.

Keputusannya untuk memilih sekolah ini telah bulat, dan berkat prestasinya, ia diterima dengan fasilitas beasiswa atau yang dikenal masa itu Ikatan Dinas (ID).

Beasiswa ini bukan sekadar bantuan biaya pendidikan, tetapi juga sebuah tanggung jawab besar.

Seperti saat di Sekolah Rakyat (SR), Muhsin kembali menjadi pusat perhatian. Ia bukan hanya siswa cerdas, tetapi juga memiliki kepribadian yang kuat.

Setiap kali ada pertemuan atau acara sekolah, namanya selalu disebut. “Muhsin yang memimpin!” kata guru-guru, tanpa ragu.

Kepandaiannya dalam berpidato semakin mengukuhkan posisinya. Saat berbicara di depan kelas atau di hadapan guru, suaranya tegas, lugas, dan berwibawa.

Tak heran jika sejak kelas awal hingga tahun keenam, ia selalu terpilih menjadi ketua kelas. Bukan hanya karena kemampuannya, tetapi juga karena teman-temannya merasa nyaman dipimpin olehnya.

Namun, ada satu hal yang membedakan Muhsin dari kebanyakan siswa lain yaitu prioritasnya dalam belajar. Uang tunjangan beasiswa yang diterimanya setiap bulan nyaris tidak pernah tersisa.

Bukan karena ia boros, tetapi karena semuanya ia belanjakan untuk buku. Rak kecil di kamarnya selalu penuh dengan buku-buku baru, dari tafsir al-Qur’an, sejarah Islam, hingga berbagai literatur klasik.

Sementara teman-temannya sibuk memperbarui pakaian agar terlihat lebih menarik—maklum, di sekolah ini murid laki-laki dan perempuan bercampur, dan kebanyakan siswi dikenal cantik, tapi Muhsin tetap cuek dengan penampilannya.

Ia lebih peduli pada isi pikirannya ketimbang tampilan luarnya.
Pernah suatu hari, saat celana seragamnya sedang dicuci dan belum sempat kering, ia datang ke sekolah hanya mengenakan sarung.

Teman-temannya sontak tertawa. “Hei, Muhsin! Mau ke surau atau ke sekolah?” ledek salah seorang temannya. Muhsin hanya tersenyum, tidak terganggu sedikit pun.

“Yang penting ilmunya, bukan sarung atau celananya,” jawabnya santai, membuat beberapa temannya terdiam.

Sejak saat itu, ia semakin dikenal bukan hanya sebagai siswa cerdas, tetapi juga berkarakter unik. Kopiah hitam yang selalu melekat di kepalanya seakan menjadi simbol keteguhan prinsipnya.

Dengan keunikan penampilan Muhsin, beberapa teman mencibir di belakangnya dan menganggapnya aneh. Namun, Muhsin tak pernah menggubris celaan itu.

Baginya, nilai seseorang tak diukur dari apa yang melekat di tubuhnya, melainkan dari apa yang tertanam dalam pikirannya. Ia tetap melangkah dengan tenang, tak goyah oleh ejekan atau tren yang berubah-ubah.

Justru, di balik kesederhanaannya, ada sesuatu yang membuat para guru semakin memperhatikannya terutama K.H. Abdul Malik Ibrahim, salah seorang ulama sekaligus pengajar di sekolah itu, melihat keteguhan Muhsin sebagai tanda bahwa pemuda ini memiliki potensi besar. (bersambung ke seri 10/*)

Oleh: Dr Abdul Qadir Mahmud MA, Ketua STAI Al Bayan