Selasa, 15 Oktober 2024 | 11:40 Wita

Obituari Ust Khairil : Guru Mujahid

Editor: admin
Share

HidayatullahMakassar.id — Jam dinding di rumah menunjukkan pukul 02.45 ketika saya terbangun. Saya bersiap-siap melaksanakan rutinitas, sebagai wujud implementasi GNH yang dipegang teguh oleh setiap kader Hidayatullah.

Namun, sebelum melaksanakan shalat, saya menyempatkan diri membuka WhatsApp dan mendapati obrolan yang sangat ramai di grup Hidayatullah Sulsel.

Ketika membaca perbincangan tersebut, tanpa terasa air mata mulai mengalir seraya mengucap kalimat istirja’, “Innaalillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun.”

Selepas shalat subuh, kami segera berangkat bersama rombongan menuju bandara untuk penerbangan ke Kendari.

Selama perjalanan dari Kampus Utama Hidayatullah Makassar menuju Kampus Hidayatullah Kendari, ingatan tentang saat-saat membersamai beliau berjuang dalam merintis Hidayatullah Kendari kembali terlintas di benak saya.

Sekitar bulan Oktober 1992, setelah selesai Yudisium PGSD IKIP untuk angkatan pertama, saya mendapat permintaan dari Ketua Yayasan Al-Bayan Hidayatullah Makassar, Ustadz Ir. Abdul Aziz Qahhar, untuk menemani Ustadz Khairil Baits yang saat itu sedang merintis Hidayatullah di Kendari.

Terlebih lagi, saat itu beliau harus mendampingi istrinya yang tengah menanti kelahiran anak pertama mereka.

Setelah mendapatkan restu dari orang tua, saya pun berangkat dengan bekal tiket mobil langsung dari Makassar menuju Kendari serta uang saku yang secukupnya.

Setibanya di Kendari menjelang waktu shalat ashar, saya langsung menuju Masjid Agung Al-Kautsar di Mandonga, tempat di mana Ustadz Khairil sementara waktu tinggal.
Saya kemudian diantar ke sebuah kamar bawah tanah berukuran kurang lebih 2,5 x 4 meter, yang terhubung dengan tempat wudhu Masjid Agung Kendari.

Saat memasuki kamar, saya terkejut mendapati bahwa Ustadz Insinyur—begitulah Ustadz Abdullah Umar dan jamaah Masjid Agung memanggil Ustadz Khairil—sudah bersiap-siap untuk berangkat ke Kolaka, dan kemudian melanjutkan perjalanan ke Makassar.

Selanjutnya ustadz Khairil Baits memperlihatkan sejumlah exemplar majalah Suara Hidayatullah (Sahid), catatan alamat pelanggan yang belum diantarkan majalah, sejumlah nama orang-orang yang mesti didatangi untuk bersilaturrahmi untuk menyampaikan rencana perintisan Hidayatullah.

Sebelum berangkat, Ustadz Khairil Baits memperlihatkan kepada saya beberapa eksemplar majalah Suara Hidayatullah (Sahid), serta catatan berisi alamat pelanggan yang belum menerima majalah.

Beliau juga memberikan daftar nama orang-orang yang harus saya temui untuk bersilaturrahmi dan menyampaikan rencana perintisan Hidayatullah di Kendari.

Selain pengurus dan jamaah Masjid Agung Kendari, terdapat beberapa nama penting, di antaranya: Prof. Rauf Tarimana (Guru Besar Unhalu), Syamsu Alam dan Junaid (keduanya PNS di BKKBN), Abadi (Dosen Unhalu), Musadar (Aktivis Muhammadiyah), Ir. Suhardiman (PNS di Kotif Kendari), Ustadz Ahmad Adi Andi (terapis So Ji Chim), dan H. Hamid (pewakaf tanah di Andonohu, tempat Kampus Hidayatullah sekarang berdiri).

Di Kolaka, ada juga beberapa tokoh seperti Ir. Safruddin, yang lebih dikenal dengan panggilan Pak Cappo (teman kuliah Ustadz Aziz Qahhar, Ustadz Majid, dan beliau sendiri), dua saudara Pak Cappo, yaitu Kak Ece dan Kak Dian, serta iparnya, Pak Kamaruddin. Mereka semua memainkan peran yang cukup besar dalam perjalanan awal perintisan Hidayatullah di Sulawesi Tenggara.

Selain majalah Sahid dan daftar nama saya juga dititipi parfum botol kecil yang setahu saya beliau beli dalam jumlah yang banyak di pasar Butung, sambil beliau berpesan hasil penjualan parfum itu saja yang dipakai belanja untuk biaya makan karena tidak ada uang yang bisa dititipkan sementara uang saku yang saya bawa dari Makassar tersisa sepuluh ribu rupiah.

Selain majalah Suara Hidayatullah dan daftar nama, Ustadz Khairil juga menitipkan kepada saya beberapa botol kecil parfum, yang setahu saya beliau beli dalam jumlah banyak di Pasar Butung. Beliau berpesan bahwa hasil penjualan parfum tersebut bisa digunakan untuk kebutuhan sehari-hari, karena saat itu tidak ada uang yang bisa beliau titipkan. Sementara itu, uang saku yang saya bawa dari Makassar hanya tersisa sepuluh ribu rupiah.

Kamar berukuran 2,5 x 4 meter di Masjid Agung Al-Kautsar Kendari, tempat kami tinggal, menjadi saksi bisu dari pelajaran berharga yang saya peroleh dari Ustadz Khairil.

Keteguhan, kesabaran, sikap qana’ah, kesederhanaan, ibadah yang konsisten, tawakkal, serta keistiqomahannya dalam perjuangan seolah tanpa batas, bahkan nyaris mengesampingkan seluruh kepentingan pribadinya.

Ustadz Khairil memang jarang memberi ceramah kepada kami (saya dan Ustadz Mustamir, yang sempat dikirim untuk menemani kami beberapa bulan), namun beliau memberikan teladan yang nyata tentang bagaimana seharusnya seorang pejuang bersikap—pantang mengeluh dan selalu menjaga hubungan yang erat dengan Allah melalui berbagai ibadah.

Begitu pula saat kami mulai pindah ke tanah wakaf di Andonohu. Kami menumpang di sebuah gubuk kecil berukuran 2,5 x 2,5 meter milik H. Hamid, sang pewakaf. Meskipun demikian, Ustadz Khairil seolah tidak pernah menunjukkan tanda-tanda kelelahan.

Kepindahan kami ke tanah wakaf ini justru memicu semangat juang yang semakin kuat, terutama karena istri dan putra beliau sudah mendapatkan tempat tinggal bersama para mahasiswi binaan.

Ustadz Mustamir kemudian dipanggil kembali ke Makassar dan digantikan oleh Pak Badrul Munir untuk membantu berbagai tugas dakwah, khususnya dalam mengelola TPA-TPA yang semakin berkembang.

Selain itu, beliau juga menjadi pengasuh bagi santri awal yang dibawa oleh Ustadz Khairil dari Tabaria C1, seorang santri awal bernama Adam. Pak Badrul Munir selanjutnya dibantu oleh Pak Abdurrahman, yang kami rekrut di Kendari.

Gubuk kecil pinjaman itu benar-benar menjadi markaz yang all in one (seluruhnya dikerjakan dalam satu gubuk). Suatu ketika seusai wirid ba’da shalat isya di gubuk, saya mencoba bertanya ke ustadz Khairil tentang misi dakwah yang diembankan kepada kami dengan berbagai tantangannya.

Beliau menjawab dengan ringan; sampaikan saja apa yang antum kerjakan jangan sampaikan yang antum tidak kerjakan, baca qur’an, dzikir, shalat lail dan intinya/bertaqwa saja biar Allah yang mengajari antum sambil beliau membaca akhir ayat 282 dalam QS. Al-Baqarah;

Gubuk kecil yang kami pinjam benar-benar menjadi markaz serba guna, di mana hampir semua aktivitas dilakukan di tempat yang sama. Suatu hari, seusai wirid ba’da shalat Isya di gubuk itu, saya memberanikan diri bertanya kepada Ustadz Khairil mengenai misi dakwah yang kami emban, dengan segala tantangannya.

Beliau menjawab dengan tenang, “Sampaikan saja apa yang antum kerjakan, jangan sampaikan yang antum tidak kerjakan. Baca Qur’an, berzikir, shalat lail, dan intinya bertaqwalah. Biar Allah yang mengajari antum.” Sambil menjawab, beliau membaca akhir ayat 282 dari QS. Al-Baqarah.
وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ ۖ وَيُعَلِّمُكُمُ ٱللَّهُ ۗ وَٱللَّهُ بِكُلِّ شَىْءٍ عَلِيمٌ

Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.

Ayat ini tampaknya menjadi keyakinan kuat Ustadz Khairil, karena sering sekali saya mendengarnya membacakan ayat tersebut, baik saat di Makassar, di Tabaria C1, maupun di Bawakaraeng 111.

Waktu terus berjalan, dan setiap hari kami menjalani perjuangan untuk menancapkan pondasi Hidayatullah di Sultra. Kelelahan fisik dan tekanan mental menjadi bagian yang tak terhindarkan dari perjalanan ini.

Namun, di balik semua itu, ada semangat dan tekad yang terus membara di dalam diri kami. Ustadzuna Al-Fadhil Khairil Baits senantiasa menguatkan kami untuk saling mendukung, bahkan di saat-saat ketika segala sesuatu tampak hampir mustahil.

Beliau selalu menjadi sumber inspirasi dan kekuatan, mendorong kami untuk tidak menyerah dalam menghadapi berbagai rintangan.

Setiap daerah di Sulawesi Tenggara kami kunjungi, mulai dari Unaaha, Kolaka, Kolaka Utara, hingga Raha/Muna, dan berbagai daerah lainnya. Namun, perjalanan yang paling berkesan bagi kami adalah perjalanan ke Muna.

Salah satu tujuan utamanya adalah menjalankan amanah dari Ustadz Abdullah Said –rahimahullahu ta’ala– yaitu mencari seorang santri bernama Bapak La Ilu, yang sudah lama izin pulang kampung tetapi belum pernah terdengar kabarnya lagi di Gunung Tembak.

Dalam setiap perjalanan, Ustadz Khairil Baits tak pernah lelah mengingatkan kami bahwa perjuangan ini bukan hanya tentang mencapai tujuan, tetapi juga tentang ukhuwah, kebersamaan dalam menghadapi setiap tantangan, dan keyakinan akan pertolongan Allah yang pasti datang pada waktunya.

Alhamdulillah, pada tahun 1994, semua jerih payah kami mulai membuahkan hasil. Hidayatullah mulai dikenal luas oleh masyarakat Sulawesi Tenggara, khususnya di Kota Kendari. Bahkan, Bapak La Ilu akhirnya kembali dan bergabung bersama keluarganya, menambah semangat kami dalam melanjutkan perjuangan ini.

Pada Mei 1994, saya harus meninggalkan Kendari untuk menuju Gunung Tembak Balikpapan, di mana saya akan mengikuti pernikahan Mubarak yang melibatkan 61 pasangan. Setelah pernikahan tersebut, saya kembali ke Kendari untuk berpamitan, karena harus memenuhi panggilan tugas untuk merintis Hidayatullah di Bulukumba.

Perpisahan fisik dengan guru kami, Ustadz Khairil Baits, hanyalah bagian dari perjalanan perjuangan kami. Namun, hubungan batin kami tetap terjalin tanpa batas. Hal yang sama juga berlaku untuk para asatidzah lainnya yang telah membimbing kami selama ini, seperti Ustadz Aziz Qahhar, Ustadz Majid, Ustadz Sumadiana, Ustadz Tasyrif, dan lainnya.

Jarak mungkin membatasi pertemuan, namun tidak akan pernah mampu memutuskan hubungan bathin yang telah terjalin selama kurang lebih 33 tahun.

Setiap kenangan, harapan, dan doa terus mengalir, menghubungkan jiwa-jiwa kami.
Ketika melihat jasad Ustadz Khairil Baits terbujur kaku, lintasan ingatan tentang perjalanan perjuangan bersama beliau seketika mengharu biru.

Mulut saya terasa kelu, tak mampu mengucapkan sepatah kata pun, sementara tubuh bergetar berusaha menahan tangis yang hampir pecah. Namun, kesedihan itu sedikit terbayarkan ketika diberi kesempatan untuk mengurus jenazah gurunda.

Tiba-tiba, rasa bahagia menyeruak dalam hati saya, mengetahui bahwa jenazah yang dimandikan dan dikafani saat itu adalah jenazah seorang mujahid.

Selamat jalan, wahai guru tercinta, meski ragamu telah tiada, kenangan dan cinta yang kau tinggalkan akan selalu hidup di hati kami.


يَٰٓأَيَّتُهَا ٱلنَّفْسُ ٱلْمُطْمَئِنَّةُ * ٱرْجِعِىٓ إِلَىٰ رَبِّكِ رَاضِيَةً مَّرْضِيَّةً

“Wahai jiwa yang tenang Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi dalam keridhaan-Nya”.(*)