Jumat, 30 Juli 2021 | 08:19 Wita

Kekayaan dalam Perspektif  Islam

Editor: Firman
Share

Oleh : Muh Jamil, Dosen Ekonomi Pembangunan dan Bisnis Digital UNM

HidayatullahMakassar.id — Dalam memandang kekayaan Islam sering menghadirkan dua pandangan, ada yang  menganggap kekayaan merupakan wasilah menuju kebaikan akhirat dan yang lain menganggap kekayaan justru akan menjauhkan kita dari kebaikan akhirat.

Sebelum membahas lebih lanjut terkait dengan dua pandangan tersebut maka penting terlebih dahulu untuk menyamakan persepsi dalam sebuah definisi terkait dengan tema di atas. Kekayaan didefinisikan sebagai harta benda yang menjadi milik seseorang yang berupa berupa kendaraan, tanah, rumah, gedung, uang, emas surat berharga dan sebagainya.

Perspektif didefinisikan sebagai sudut pandang ataupun pandangan terhadap sesuatu. Islam didefinisikan sebagai agama yang diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW yang berpedoman pada kitab suci Alquran yang diturunkan ke dunia melalui wahyu Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan hadis yang merupakan penyampaian ataupun sikap Rasulullah SAW.

Kekayaan menurut perspektif Islam didefinisikan sebagai pandangan terhadap kekayaan yang dilandaskan pada nilai-nilai yang diajarkan oleh Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam dengan merujuk pada  Alquran maupun sunnah. 

Perpektif Islam terhadap kekayaan ini lebih melihat kepada fungsi kekayaan itu sendiri sebagaimana yang dikemukakan Muhammad Baqir (Iqtisaduna, 2008). Perspektif pertama menganggap bahwa harta merupakan wasilah untuk mencapai kebaikan di akhirat.

Hal tersebut berdasarkan pada hadits-hadits Nabi bahwa kekayaan adalah sarana utama menuju ketakwaan kepada Allah. Rasulullah juga pernah bersabda dalam doa, “Ya Allah berkahi dan Lapangkanlah kami dalam urusan makanan,  Jangan pisahkan kami darinya,  Bila kami tidak memiliki makanan Kami tidak akan bisa shalat, puasa dan tidak pula bisa menunaikan kewajiban kami kepada Tuhan.” 

Dalam hadis yang lain juga dikemukakan bahwa “ia bukanlah bagian dari kami orang yang meninggalkan dunia dan akhirat demikian pula orang yang meninggalkan akhirat demi dunia.”

Perspektif kedua adalah menganggap bahwa kekayaan akan membawa manusia menjadi cinta dunia dan melupakan kebaikan akhirat.  Hal ini sesuai sabda Nabi Muhammad SAW “Dunia adalah penjara bagi orang mukmin dan surga bagi orang kafir.” (HR. Muslim).

Dalam riwayat yang lain suatu ketika Rasulullah menemukan bangkai  lalu bertanya Mengapa bangkai ini dibiarkan saja oleh pemiliknya?” Jawab sahabat, “Oleh karena bangkai itu tak berharga lagi bagi pemiliknya”. Maka Nabi `bersabda, “Demi Allah yang menguasai diriku, dunia itu lebih rendah dalam pandangan Allah dari pada bangkai kambing dalam pandangan pemiliknya.” (HR. Tirmidzi).

Hadits-hadits nabi yang lain dalam Iqtisaduna 2008, Rasullulah bersabda “ Ia yang mencintai dunia mencederai akhiratnya, Cinta dunia adalah  pangkal setiap dosa, yang akan jauh dari Allah adalah Hamba Allah yang tidak memikirkan apapun kecuali perut dan kemaluannaya.

Dari riwayat Ali bin Abi Tholib R.A bahwa Rasulullah  SAW bersabda yang terbaik bagi akhlak adalah meninggalkan dunia. Dari hadits-hadits di atas maka dapat disimpulkan untuk meninggalkan kehidupan duniawi dengan segala kemewahaanya karena dapat menjauhkan dari kebaikan akhirat. 

Kontradiksi yang terjadi yang menganggap bahwa harta adalah wasilah untuk mencapai kebaikan akhirat dan yang menganggap bahwa harta kekayaan adalah wasilah untuk menjauhi kebaikan akhirat atau dalam hal ini untuk menjerumuskan ke neraka keduanya tidak salah tetapi kita melihat konteks bagaimana semampu kita mengelola harta agar bisa menjadi wasilah mencapai kebaikan akhirat. 

Peningkatan kekayaan material merupakan sarana terbaik bagi kebaikan akhirat sekaligus bisa menjadi awal dari perbuatan dosa. Hal ini karena ada dua titik ekstrim di dalam pandangan Islam. Kekayaan dan peningkatannya merupakan tujuan yang penting tetapi bukan pada tujuan akhir.

Peningkatan kekayaan tersebut merupakan sekedar tujuan antara, kekayaan bukanlah tujuan pokok. Tetapi kekayaan merupakan sarana bagi seorang muslim untuk menjalankan perannya sebagai khalifah dimana tentunya wajib memanfaatkan kekayaan tersebut demi pengembangan segenap potensi manusia dan meningkatkan kemanusiaannya di berbagai bidang baik itu moral maupun material.

Peningkatan kekayaan diharapkan untuk merealisasikan tujuan manusia sebagai khalifah di muka bumi ini dan menjadi sarana terbaik bagi kebaikan akhirat karena tidak ada kebaikan bagi seseorang yang tidak berjuang mendapatkan akhirat.

Orang yang mengabaikan dan meninggalkan dunia tidak masuk dalam naungan Islam sedangkan orang yang berjuang meningkatkan kekayaan demi kekayaan itu sendiri dan menjadikannya sebagai tujuan maka kasus ini kekayaan menjadi sumber utama dari setiap kesalahan dan perbuatan dosa. Menjauhkan manusia dari Tuhannya Yang Maha memberi rezeki. Hal seperti ini mesti dijauhi, Islam menginginkan seseorang berjuang meningkatkan kekayaan dan menjadi tuan bagi kekayaannya bukan menjadi budak bagi kekayaannya yang serta dan melupakan tujuan sesungguhnya. 

Islam tidak menginginkan kekayaan yang mengalami peningkatan tetapi menjadi hijab antara Muslim dan Tuhannya yang membuatnya ia lupa hasrat spiritualnya melupakan misi besarnya sebagai bagai khalifah di muka bumi, mengikatkan dirinya dengan hal-hal yang terbatas.

Tetapi Islam menginginkan kekayaan dan cara-cara peningkatannya yang menghubungkan seorang muslim dan Tuhannya Yang Maha memberi karunia. Membuatnya bisa beribadah dengan tenang dan nyaman, membuatnya bisa memanfaatkan dan mengembangkannya serta menyempurnakan segala bakat dan potensinya juga membantunya mewujudkan cita-cita keadilan persaudaraan penghormatan dan tujuan Islam yang dibebankan pada setiap muslim. 

Sebagai kesimpulan, kekayaan  sangat dibutuhkan ummat islam dengan catatan kekayaan tersebut digunakan untuk mendekatkan diri kepada RabbNya, dan sebagai wasilah untuk meraih kebaikan akhirat. Bukan untuk menpertebal hijab dengan RabbNya sehingga semakin larut dalam kemaksiatan yang menjauhkan dari kebaikan Akhirat.(Referensi : Iqtisaduna).■