Selasa, 25 Mei 2021 | 15:01 Wita
Ada Apa dengan Gerhana Bulan
■ Oleh : Ust Abd Qadir Mahmud MPdI Ketua Departemen Dakwah dan Layanan Ummat Yayasan Albayan Hidayatullah Makassar
HidayatullahMakassar.id — Tanggal 26 Mei 2021, gerhana bulan akan kembali terjadi. Fenomena ini sangat disayangkan untuk dilewatkan, karena gerhana bulan dalam Islam bukan sekedar fenomena alam semata akan tetapi merupakan sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah. Agama Islam mempunyai tuntunan sendiri dalam hal ini sebagaimana yang dituntunkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Tanda-tanda Kekuasaan Allah
Pada Zaman Rasulullah pernah terjadi gerhana matahari, bertepatan dengan meninggalnya anak Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam yang bernama Ibrahim. Ibrahim adalah anak Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam dari istri beliau yang bernama Mariyah Al Qibthiyyah Al Mishriyyah.
Ibrahim hidup selama 18 bulan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memiliki anak kecuali dari Khadijah dan Mariyah. Tatkala Ibrahim meninggal, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menetaskan air mata dan begitu sedih. Sebahagian orang waktu itu menyangka bahwa gerhana matahari terjadi karena meninggalnya putra Rasulullah. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam kemudian melururuskan pemahaman yang keliru tersebut, sebagaimana dalam hadits dari Al Mughiroh bin Syu’bah, beliau berkata,
كَسَفَتِ الشَّمْسُ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَوْمَ مَاتَ إِبْرَاهِيمُ ، فَقَالَ النَّاسُ كَسَفَتِ الشَّمْسُ لِمَوْتِ إِبْرَاهِيمَ . فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – « إِنَّ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ لاَ يَنْكَسِفَانِ لِمَوْتِ أَحَدٍ وَلاَ لِحَيَاتِهِ ، فَإِذَا رَأَيْتُمْ فَصَلُّوا وَادْعُوا اللَّهَ »
”Di masa Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam pernah terjadi gerhana matahari ketika hari kematian Ibrahim. Kemudian orang-orang mengatakan bahwa munculnya gerhana ini karena kematian Ibrahim. Lantas Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda, ‘Sesungguhnya gerhana matahari dan bulan tidak terjadi karena kematian atau lahirnya seseorang. Jika kalian melihat gerhana tersebut, maka shalat dan berdo’alah.’” (HR. Bukhari)
Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mempertegas perihal gerhana matahari atau pun gerhana bulan dalam hadits dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ آيَتَانِ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ ، لاَ يَنْخَسِفَانِ لِمَوْتِ أَحَدٍ وَلاَ لِحَيَاتِهِ ، فَإِذَا رَأَيْتُمْ ذَلِكَ فَادْعُوا اللَّهَ وَكَبِّرُوا ، وَصَلُّوا وَتَصَدَّقُوا
”Sesungguhnya matahari dan bulan adalah dua tanda di antara tanda-tanda kekuasaan Allah. Gerhana ini tidak terjadi karena kematian seseorang atau lahirnya seseorang. Jika melihat gerhana tersebut, maka berdo’alah kepada Allah, bertakbirlah, kerjakanlah shalat dan bersedekahlah.” (HR. Bukhari).
Amalan Yang Dianjurkan
Di antara amalan yang dianjurkan ketika terjadi gerhana adalah shalat gerhana. Shalat Kusuf untuk gerhana matahari. Kusuf adalah terhalangnya cahaya matahari atau berkurangnya cahaya matahari disebabkan bulan yang terletak di antara matahari dan bumi. Dan shalat Khusuf jika terjadi gerhana bulan. Khusuf adalah terhalangnya cahaya bulan atau berkurangnya cahaya bulan disebabkan bumi yang terletak di antara matahari dan bulan.
Pendapat Ulama
Para Ulama berbeda pendapat seputar hukum shalat gerhana;
Pendapat Pertama; Abu Hanifah dan Imam Malik menyatakan bahwa hukum shalat gerhana bulan adalah sunnah seperti shalat sunnah biasa yaitu dilakukan tanpa ada tambahan ruku’ (lihat penjelasan mengeanai tata cara shalat gerhana selanjutnya, pen). Menurut pendapat ini, shalat gerhana bulan tidak perlu dilakukan secara berjama’ah.
Pendapat Kedua; menyatakan bahwa hukum shalat gerhana bulan adalah sunnah mu’akkad sebagaimana shalat gerhana matahari dan dilakukan secara berjama’ah. Inilah pendapat yang dipilih oleh Asy Syafi’i, Ahmad, Daud, dan Ibnu Hazm. Pendapat ini juga dipilih oleh ’Atha’, Al Hasan, An Nakha’i dan Ishaq, bahkan pendapat ini diriwayatkan pula dari Ibnu ’Abbas.
Dan pendapat kedua inilah –yang insya Allah- lebih kuat. Dalilnya adalah hadits yang diriwayatkan Bukhari dari ‘Aisyah diatas dimana Rasulullah bersabda;
:فَإِذَا رَأَيْتُمُوهُمَا فَافْزَعُوا إِلَى الصَّلاَةِ
”… Jika kalian melihat kedua gerhana yaitu gerhana matahari dan bulan, bersegeralah menunaikan shalat.” (HR. Bukhari)
Waktu Pelaksanaan Shalat Gerhana
Dari hadits-hadits yang ada, dapat disimpulkan bahwa waktu pelaksanaan shalat gerhana adalah mulai ketika gerhana muncul sampai gerhana tersebut hilang. Bahkan shalat gerhana juga boleh dilakukan pada waktu terlarang untuk shalat. Jadi, jika gerhana muncul setelah Ashar, padahal waktu tersebut adalah waktu terlarang untuk shalat, maka shalat gerhana tetap boleh dilaksanakan.
Sebab dalam hadits Riwayat Bukhari Rasulullah bersabda; ”Jika kalian melihat kedua gerhana matahari dan bulan, bersegeralah menunaikan shalat.”. Dalam hadits ini tidak dibatasi waktunya. Kapan saja terjadi atau melihat gerhana termasuk waktu terlarang untuk shalat, maka shalat gerhana tersebut tetap dilaksanakan.
Dimana Sebaiknya Shalat Gerhana ?
Dalam Fathul Bari Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalani berkata; Ibnu Hajar mengatakan, ”Yang sesuai dengan ajaran Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam adalah mengerjakan shalat gerhana di masjid. Seandainya tidak demikian, tentu shalat tersebut lebih tepat dilaksanakan di tanah lapang agar nanti lebih mudah melihat berakhirnya gerhana.”
Hal ini senada dengan hadits dari ’Aisyah bahwasanya Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam mengendari kendaraan di pagi hari lalu terjadilah gerhana. Lalu Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam melewati kamar istrinya (yang dekat dengan masjid), lalu beliau berdiri dan menunaikan shalat. (HR. Bukhari).
Selanjutnya Syaikh Al-Utsaimin dalam Syarhul Mumthi’, mengatakan; ”Shalat gerhana secara jama’ah bukanlah syarat. Jika seseorang berada di rumah, dia juga boleh melaksanakan shalat gerhana di rumah. Dalil dari hal ini adalah sabda Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam; ”Jika kalian melihat gerhana tersebut, maka shalatlah.” (HR. Bukhari). Dalam hadits ini, beliau shallallahu ’alaihi wa sallam tidak mengatakan, ”(Jika kalian melihatnya), shalatlah kalian di masjid.”
Oleh karena itu, hadits ini menunjukkan bahwa shalat gerhana diperintahkan untuk dikerjakan walaupun seseorang melakukan shalat tersebut sendirian. Namun demikian menunaikan shalat tersebut secara berjama’ah tentu saja lebih utama. Bahkan lebih utama jika shalat tersebut dilaksanakan di masjid karena Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam mengerjakan shalat tersebut di masjid dan mengajak para sahabat untuk melaksanakannya di masjid. Ingatlah, dengan banyaknya jama’ah akan lebih menambah kekhusu’an. Dan banyaknya jama’ah juga adalah sebab terijabahnya (terkabulnya) do’a.”
Tidak Ada Adzan dan Iqamah Serta Berkhutbah Seusai Shalat
Shalat gerhana tanpa adzan dan iqamah dan hanya menyeru jama’ah dengan panggilan “ash sholatu jaami’ah”. Dari ’Aisyah radhiyallahu ’anha, beliau mengatakan,
أنَّ الشَّمس خَسَفَتْ عَلَى عَهْدِ رَسولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم، فَبَعَثَ مُنَادياً يُنَادِي: الصلاَةَ جَامِعَة، فَاجتَمَعُوا. وَتَقَدَّمَ فَكَبرَّ وَصلَّى أربَعَ رَكَعَاتٍ في ركعَتَين وَأربعَ سَجَدَاتٍ.
“Aisyah radhiyallahu ‘anha menuturkan bahwa pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah terjadi gerhana matahari. Beliau lalu mengutus seseorang untuk memanggil jama’ah dengan: ‘ASH SHALATU JAMI’AH’ (mari kita lakukan shalat berjama’ah). Orang-orang lantas berkumpul. Nabi lalu maju dan bertakbir. Beliau melakukan empat kali ruku’ dan empat kali sujud dalam dua raka’at.” (HR. Muslim).
Dalam Shahih Fiqhussunnah disebutkan bahwa; Disunnahkah setelah shalat gerhana untuk berkhutbah, sebagaimana yang dipilih oleh Imam Asy Syafi’i, Ishaq, dan banyak sahabat. Hal ini berdasarkan hadits: Dari Aisyah, beliau menuturkan bahwa gerhana matahari pernah terjadi pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lantas beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bangkit dan mengimami manusia dan beliau memanjangkan berdiri. Kemuadian beliau ruku’ dan memperpanjang ruku’nya. Kemudian beliau berdiri lagi dan memperpanjang berdiri tersebut namun lebih singkat dari berdiri yang sebelumnya. Kemudian beliau ruku’ kembali dan memperpanjang ruku’ tersebut namun lebih singkat dari ruku’ yang sebelumnya. Kemudian beliau sujud dan memperpanjang sujud tersebut. Pada raka’at berikutnya, beliau mengerjakannya seperti raka’at pertama. Lantas beliau beranjak (usai mengerjakan shalat tadi), sedangkan matahari telah nampak. Setelah itu beliau berkhotbah di hadapan orang banyak, beliau memuji dan menyanjung Allah, kemudian bersabda, ”Sesungguhnya matahari dan bulan adalah dua tanda di antara tanda-tanda kekuasaan Allah. Gerhana ini tidak terjadi karena kematian seseorang atau lahirnya seseorang. Jika melihat hal tersebut maka berdo’alah kepada Allah, bertakbirlah, kerjakanlah shalat dan bersedekahlah.”
Nabi selanjutnya bersabda, ”Wahai umat Muhammad, demi Allah, tidak ada seorang pun yang lebih cemburu daripada Allah karena ada seorang hamba baik laki-laki maupun perempuan yang berzina. Wahai Umat Muhammad, demi Allah, jika kalian mengetahui yang aku ketahui, niscaya kalian akan sedikit tertawa dan banyak menangis.” (HR. Bukhari).
Khutbah yang dilakukan adalah sekali sebagaimana shalat ’ied, bukan dua kali khutbah. Inilah pendapat yang dipilih oleh Imam Asy Syafi’i.
Wanita Boleh Ikut Shalat Gerhana Bersama Dengan Kaum Pria
Dari Asma` binti Abi Bakr, beliau berkata;
“Saya mendatangi Aisyah radhiyallahu ‘anha -isteri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam- ketika terjadi gerhana matahari. Saat itu manusia tengah menegakkan shalat. Ketika Aisyah turut berdiri untuk melakukan sholat, saya bertanya: ‘Kenapa orang-orang ini?’ Aisyah mengisyaratkan tangannya ke langit seraya berkata, ‘Subhanallah (Maha Suci Allah).’ Saya bertanya: ‘Tanda (gerhana)?’ Aisyah lalu memberikan isyarat untuk mengatakan iya.” (HR. Bukhari). Hadits ini menjadi dalil bahwa wanita boleh ikut serta melakukan shalat gerhana bersama kaum pria di masjid.
Sifat Shalat Gerhana
”Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam menjaherkan bacaannya ketika shalat gerhana.” (HR. Bukhari dan Muslim).
[4] Kemudian ruku’ sambil memanjangkannya. [5] Kemudian bangkit dari ruku’ (i’tidal) sambil mengucapkan ’SAMI’ALLAHU LIMAN HAMIDAH, RABBANA WA LAKAL HAMD’ [6] Setelah i’tidal ini tidak langsung sujud, namun dilanjutkan dengan membaca surat Al Fatihah dan surat yang panjang. Berdiri yang kedua ini lebih singkat dari yang pertama. [7] Kemudian ruku’ kembali (ruku’ kedua) yang panjangnya lebih pendek dari ruku’ sebelumnya. [8] Kemudian bangkit dari ruku’ (i’tidal). [9] Kemudian sujud yang panjangnya sebagaimana ruku’, lalu duduk di antara dua sujud kemudian sujud kembali. [10] Kemudian bangkit dari sujud lalu mengerjakan raka’at kedua sebagaimana raka’at pertama hanya saja bacaan dan gerakan-gerakannya lebih singkat dari sebelumnya. [11] Salam. [12] Setelah itu imam menyampaikan khutbah kepada para jama’ah.Demikian semoga menjadi tambahan ilmu dan manfa’at.
TERBARU
-
Tausyiah Raker : “Kalau tak memiliki tak mungkin memberi.”
15/01/2025 | 17:20 Wita
-
2025, Al Bayan Optimalkan Ekspansi Kemandirian Ekonomi
15/01/2025 | 14:31 Wita
-
Al Bayan-BMH Tanam Lengkeng Teduhkan Wadi Barakah
15/01/2025 | 11:36 Wita