Kamis, 11 Maret 2021 | 08:27 Wita

Isra’ Mi’raj di Era Covid19 (2)

Editor: Firman
Share

■ Oleh: Imam Shamsi Ali, Presiden Nusantara Foundation

HidayatullahMakassar.id — Dari sekian banyak argumentasi tentang kebenaran (hakikat) Isra’ Mi’raj, “qudratullah” atau kekuasaan dan kekuatan Allah yang tiada batas menjadi argumentasi yang utama. Perjalanan ini bukan inisiasi Muhammad shallallahu alahi wa syallam. Tapi atas iradah (kehendak) dan qudrah (kuasa) Allah ta’alla. Dan karenanya ayat di awal Surah Al-Isra itu berbunyi “Subhana alladzi asraa bi abdihi” (Maha suci Allah yang telah memperjalankan hambaNya).

Frase “subhana” atau Maha suci adalah ungkapan kesempurnaan sekaligus keyakinan akan tiadanya kekurangan, keterbatasan atau kelemahan Dia yang mencipta langit dan bumi. Oleh karenanya perjalanan ini tidak diragukan bersentuhan dengan kesempurnaan Allah dalam kuasaNya.

Dengan sendirinya sesungguhnya mengingkari kebenaran Isra Mi’raj hanya karena akal kita tidak mampu memahaminya, boleh jadi sebuah bentuk pengingkaran kepada kebesaran Allah itu sendiri.

Kerap kita keliru dalam menterjemahkan ayat “inna ma’al usri yusra” dengan “sesungguhnya setelah kesulitan itu ada kemudahan. Padahal ayat itu tidak memakai kata “ba’da” (setelah). Tapi memakai kata “ma’a” yang berarti bersama.

Artinya sesungguhnya ketika ada kesulitan atau tantangan yang terjadi dalam hidup, hadir pula bersamanya kemudahan dan peluang itu. Hanya saja memang tabiat manusia, sebagai bagian dari kelemahannya yang dho’if (lemah), haluu’a (panik) dan ‘ajuula (tergesa-gesa) ketika tertantang atau mengalami kesulitan pastinya yang akan nampak di matanya adalah kesulitan itu sendiri.

Peristiwa Isra Mi’raj sesungguhnya mengajarkan hal itu. Bahwa di tengah tantangan dan kesulitan yang dihadapi Rasul pada saat itu, justeru di saat itulah Allah memperjalankannya di malam hari. Seolah Allah ingin membuktikan kedekatan. Sekaligus dengan perjalanan itu Rasulullah melepaskan kepenatan, sekaligus menghadirkan kembali energi baru untuk perjuangan yang masih panjang.

Mayoritas ulama berpendapat bahwa Isra’ Mi’raj terjadi di tahun 13 kenabian, atau beberapa bulan sebelum jijrah ke Madinah. Yang pasti adalah bahwa masa itu adalah situasi yang paling pelik dan menekan bagi Rasulullah shallallahu alahi wa syallam.

Setelah keluarga besar Bani Hasyim diboikot yang berakibat kepada kelaparan bahkan kematian sebagian anggota keluarga baginda. Di antara yang meninggal ketika itu adalah paman Rasulullah shallallahu alahi wa syallam yang sekaligus Ayah angkat beliau Abu Tholib dan isteri tercinta sekaligus penyandang dana Dakwah beliau Khadijah radiyallahu anh.

Pemboikotan dan meninggalnya dua orang terdekat Rasulullah itu menjadikan beliau berada dalam situasi sulit dan kesedihan yang dalam. Maka tahun itu oleh beliau disebut sebagai “aamul huzni” atau tahun kesedihan.

Dalam situasi seperti itulah Allah ingin membuktikan kasih sayang dan penjagaaNya kepada hamba tercintaNya (abdihi) Muhammad shallallahu alahi wa syallamĺ. Dan itu dalam bentuk sebuah perjalanan khusus di malam hari (Isra) dan perjalanan ke atas (mi’raj) untuk menerima sebuah hadiah terbesar baginya dan untuk Umatnya berupa sholat.

Hal ini dengan sendirinya mengajarkan kepada kita bahwa dalam menghadapi berbagai kesulitan dan tantangan hidup jangan pernah merasa ditinggalkan Allah. Karena boleh jadi justeru kesulitan itu adalah kendaraan bagi hadirnya kemudahan yang tiada terduga.

Yang diperlukan sesungguhnya dalam menyikapi kesulitan dan tantangan itu adalah keyakinan yang kokoh dan konstan (unshaken). Karena boleh jadi justeru kesulitan hadir sebagai bagian dari proses kehadiran kemudahan dan peluang. Kesulitan dihadirkan untuk mengukur kesiapan hambaNya dalam menerima kemudahan dariNya.

Perlu disadari bahwa ujian dalam bentuk kesulitan itu terkadang lebih ringan dibanding dalam bentuk kesenangan. Orang yang diuji dengan kesulitan di satu sisi diingatkan akan kelemahan dan keterbatasannya. Di sisi lain dipacu untuk membangun kekuatan untuk menghadapi kesulitan itu. Sehingga dia akan sadar dan bangkit.

Sebaliknya orang yang diuji dengan kesenangan boleh jadi lupa diri. Dan pada akhirnya terjatuh ke dalam lobang kehinaan yang dalam. Kehinaan yang tidak saja di dunia. Justeru yang berbahaya adalah kehinaan ukhrawi.

Situasi Pandemi Covid 19 saat ini tak disangkal lagi membawa kesulitan demi kesulitan dan terasa menghimpit. Tidak saja bahwa ada di antara kita atau kerabatnya yang sakit bahkan meninggal dunia. Tapi lebih dari itu juga konsekwensi ekonomi dan bahkan sosialnya sangat besar. Ada yang kehilangan pekerjaan dan sumber penghasilan misalnya.

Namun jika semua itu dilihat dengan bukan sekedar penglihatan kasat saja (‘sin) tapi dengan penglihatan batin (bashirah) akan ditemukan makna-makna besar yang Allah telah siapkan. Bahkan bersamaan dengan Covid itu sendiri sendiri ada peluang-pelang yang Allah telah siapkan. Tahu atau tidaknya kita, keyakinan itu mengatakan demikian adanya.

Kalau saja seorang mukmin konsisten dengan Iman dan agamanya, Allah akan mengangkatnya ke tingkat yang tinggi. Tidak selalu mengangkat secara fisik. Tapi derajat kemuliaan dan kehormatannya ditinggikan oleh Allah ta’alla.

Semoga dengan mengingat peristiwa Isra Mi’raj Rasulullah shallallahu alahi wa syallam kita semakin tersadarkan jika pada kesulitan dan tantangan yang sedang kita hadapi, apapun wujudnya, terdapat pintu kemudahan dan peluang yang baik.

Ujiannya kemudian adalah apakah kita tetap dalam iman dan takwa kita. Atau sebaliknya justeru kesulitan itu menjadikan kita lemah dan jauh dari Dia yang sesungguhnya mengendalikan segala sesuatu?

“Wa man yattaqillah yaj’allahu makhraja wa yarzuqhu min haetsu laa yahtasib”.■ Bersambung



BACA JUGA