Rabu, 17 Maret 2021 | 07:58 Wita

Isra’ Mi’raj di Era Covid19 (4)

Editor: Firman
Share

■ Oleh: Imam Shamsi Ali, Presiden Nusantara Foundation

HidayatullahMakassar.id — Dalam riwayat disebutkan bahwa setiba beliau di Masjidil Haram dada beliau dibelah, lalu hati beliau dibersihkan. Kemudian beliau memulai perjalanan malam itu dengan memakai sebuah kendaraan bernama “al-Buraaq”. Sebuah kendaraan yang kadang diimajinasikan dalam gambar-gambar dengan kuda yang berwajah wanita cantik. Entah dari mana awal gambar imajinasi seperti itu.

Selama dalam perjalanan itu Rasulullah Shallallahu alahi wa syallam, tentu atas perintah Allah, ditemani oleh malaikat Jibril AS. Bahkan Jibril menjadi rujukan (tempat bertanya) beliau ketika harus menanyakan sesuatu selama perjalanan itu.

Kembali kepada nama kendaraan tadi, Al-Buraaq. Kata ini sesungguhnya berasal dari kata “al-barqu” yang berarti kilat, yang secara literal dapat juga dimaknai sebagai “cahaya”, yang relevansinya kepada ukuran kecepatan. Makna lain yang diambil dari al-barqu ini adalah “energi” atau kekuatan.

Penamaan alat transportasi Isra’ dengan Buraaq ini nampaknya sangat relevan dengan ayat Al-Quran di Surah Ar-Rahman: “Wahai golongan jin dan manusia jika kamu menembus langit dan bumi maka tembuslah. Niscaya kalian tidak mampu menembusnya kecuali dengan kekuatan (sultan)”.

Kata “sulthon” oleh sebagian ulama dimaknai sebagai kekuatan ilmu dan teknologi. Sebagian yang lain memahaminya dengan kacamata teologis. Artinya dengan “qadarullah” atau Kuasa Allah.

Dalam pemahaman Islam, tentu keduanya tidak paradoks (bertolak belakang). Karena ilmu dan teknologi juga ada dalam genggaman kuasa Allah ta’alla.

Penamaan ini sekaligus menggambarkan secara dekat betapa Islam itu sangat dekat sekaligus menempatkan ilmu dan teknologi pada posisi yang penting dalam kehidupan manusia.

Artinya Isra’ Mi’raj sesunguhnya menggambarkan secara dekat perjalanan hidup manusia di mana ada masa tertantang untuk menembus batas-batas langit dan bumi. Tapi semua itu hanya memungkinkan dengan kemajuan dan kekuatan sains dan teknologi.

Bagi saya pribadi, kenyataan sejarah ini menjadi salah satu bukti kebenaran sekaligus pembuktian ajaran agama Islan yang tidak akan pernah lapuk dan ketinggalan zaman dan situasi apapun. Sehingga di abad 21 ini dengan bercirikan kemajuan sains dan teknologi Islam hadir menjadi jalan kehidupan yang tetap berkesesuaian.

Pilihan dalam Hidup

Ketika Rasulullah Shallallahu alahi wa syallam tiba di Jerusalem, hal pertama yang beliau alami adalah penawaran minuman yang disampaikan oleh malaikat Jibril, tentu atas perintah Allah. Konon beliau ditawari dua macam minuman untuk dipilih. Yaitu minum berupa susu dan minum berupa khamar.

Rasulullah Shallallahu alahi wa syallam ternyata memilih minuman berupa susu. Dan dengan serta merta Jibril berkata: “Sungguh engkau telah memilih kefitrahan”.

Peristiwa ini menggambarkan sesuatu yang sangat mendasar dalam hidup manusia. Bahwa dalam menjalani hidup dunia ini di hadapan manusia selalu ada pilihan. Dan manusia secara mendasar (inherent) dibekali kebebasan untuk menentukan pilihan hidupnya.

Pilihan hidup itu adalah antara hak dan batil atau benar dan salah. Antara manfaat dan mudhorat. Antara iman dan kufur. Antara kesucian dan kotoran. Antara keindahan dan keburukan. Antara kebaikan dan kejahatan. Antara fitrah dan hawa nafsu yang jahat.

Di sinilah manusia dalam perjalanan hidupnya mengalami ujian berat. Di satu sisi secara mendasar hidupnya dibangun di atas kesucian (fitrah). Tapi di sisi lain menjadi bagian dari tabiat hidupnya teruji. Bahkan Iblis sendiri dibiarkan hidup panjang hingga akhir zaman untuk menjadi bagian dari ujian hidupnya.

Tapi yang terberat dari semua itu adalah bahwa kefitrahan manusia juga dikelilingi oleh tarikan-tarikan hawa nafsu yang kerap lebih berat kepada kecenderungan “jahat”. Ini digambarkan dalam Qur’an: “fa alhamahaa fujuuraha wa taqwaaha” (lalu Allah Ilhamkan kepada jiwa manusia itu dorongan jahat dan baiknya). Penyebutan dorongan jahat terlebih dahulu pada ayat ini mengindikasikan jika dorongan itu memang dominan. Artinya kalau ditimbang antara dorongan jahat (fujuur) dan dorongan baik (taqwa) kejiwaan manusia, dorongan jahatnya lebih dominan.

Untuk mengimbangi kecenderungan jahat manusia itulah Allah ta’alla dengan kasih sayangNya memberikan bimbingan kepada hambaNya. Agama pun dihadirkan untuk membantu hambaNya dalam menjaga fitrahnya. Penggambaran itu disebutkan di Al-Baqarah: “dan jika datang kepadamu dari Aku petunjuk itu maka barangsiapa yang ikut kepada petunjukKu, niscaya tiada ketakutan bagi mereka dan tiada pula kesedihan”.

Pilihan minuman fitrah (susu) oleh Rasulullah Shallallahu alahi wa syallam itu tidak lepas dari pembersihan hati yang dilakukan sebelum perjalanan itu. Membuktikan bahwa untuk manusia dapat memilih arah hidupnya secara benar (fitrah) diperlukan hati atau jiwa yang benar dan bersih.

Kenyataan inilah yang disimpulkan oleh Rasulullah Shallallahu alahi wa syallam dalam haditsnya: “sungguh pada tubuh manusia itu ada segumpal darah. Jika segumpal darah itu baik maka membaikkah seluruh anggota tubuhnya. Tapi jika rusak maka rusaklah semua anggota tubuhnya. Itulah hati” (hadits).

Karenanya jagalah kesucian hati. Karena itu jaminan kesucian hidup. Dan dengan hati yang suci itulah manusia akan menemui Tuhannya kelak. “Pada hari harta dan anak-anak tiada manfaat kecuali yang datang kepada Allah dengan hati yang bersih” (As-Shu’ara: 87).

Semoga hati kita selalu terjaga dalam kefitrahan. Amin.■Bersambung



BACA JUGA