Jumat, 11 Desember 2020 | 14:33 Wita

Aktualisasi Amanah Dalam Kehidupan

Editor: Firman
Share

Oleh : H. Ahmad Sulaiman
Pengasuh Ponpes IMBS Miftahul Ulum Pekalongan

HidayatullahMakassar.id — Apa saja yang kita miliki ini merupakan titipan Allah, dan setiap titipan atau amanah pasti akan diminta kembali oleh pemiliknya. Oleh karena itu, jagalah amanat Allah dan berlaku adil-lah dalam memutuskan perkara umat manusia agar kehidupan kita di dunia ini diberi kemudahan dan kesejahteraan. Allah berfirman dalam surat an-Nisa’ : 58,

إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَىٰ أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ ۚ إِنَّ اللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيرًا

Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha melihat.

Amanat adalah suatu sifat dan sikap pribadi seseorang yang dapat dipercaya dalam melaksanakan sesuatu yang ditugaskan kepadanya. Amanah mempunyai pengertian yang sangat luas, mencakup seluruh sisi kehidupan manusia. Namun amanat tetap berpijak pada rasa tanggung jawab dalam diri seseorang terhadap suatu tugas yang diembannya dan juga tanggung jawab dihadapan allah Swt.

Allah Swt. Telah menganugerahkan pada diri kita perlengkapan jasmaniah dan rohaniah untuk alat mengabdi kepada Allah dan berkhidmat kepada sesama umat manusia. Apabila potensi rohani dan anggota jasmaninya digunakan untuk taat kepada Allah, berarti kita ini amanah. Sebaliknya, jika potensi itu digunakan untuk maksiat kepada Allah, berarti kita ini khianat.

Sebagian dari kita ada yang berambisi mencari dan mencapai kedudukan dalam kepemimpinan karena mengharapkan beberapa kesenangan tanpa memikirkan dan memperhitungkan akan akibatnya, yang di kemudian hari akan membuatnya terhina dan menyesali diri. Apabila seseorang telah diberikan kepercayaan, jabatan atau tugas-tugas tertentu, maka sebagai seorang mukmin wajib memiliki sifat dan sikap amanat. Sebab seseorang yang diberi tugas tertentu berarti dia memegang amanat sebagai petugas. Apabila dia memiliki sifat amanat, maka tugas tersebut akan dilaksanakan dengan baik sebagai perwujudan dari rasa taatnya kepada Allah, dan jika tidak dilaksanakan tugas yang diamanatkan itu, berarti dia seorang pengkhianat dan berbuat maksiat kepada Allah.

Oleh karena itu, Rasulullah saw. sering mengingatkan umatnya agar berhati-hati dan memelihara diri tentang amanat. Makanya ketika Abu Dzar meminta jabatan kepada Rasulullah saw. beliau menepukkan tangannya di atas pundaknya Abu Dzar, seraya bersabda, : “Wahai Abu Dzar, Sesungguhnya engkau orang yang lemah dan jabatan itu adalah amanat. Amanat itu dapat membawa orang kepada kehinaan dan penyesalan di hari Kiamat, kecuali orang-orang yang mampu melaksanakan tugas kewajibannya dan memenuhi tanggung jawabnya”. (HR Muslim).

Demikian juga ketika Nabi saw. melarang Abdurrahman bin Samurah meminta jabatan, beliau bersabda : “Jangan engkau meminta jabatan, sebab apabila engkau memperoleh jabatan bukan karena meminta, maka Allah akan membantumu (dalam menyelesaikan problem jabatan), akan tetapi apabila engkau memperoleh jabatan karena meminta, maka Allah akan menyerahkan sepenuhnya (dalam menyelesaikan problem jabatan) kepadamu”.

Namun demikian, adakalanya memang jabatan boleh diminta seperti dalam kasus Nabi Yusuf a.s. misalnya ; beliau tahu akan kemampuan dirinya dan menyadari betapa strategisnya menguasai sumber kekayaan negara. Maka beliau meminta jabatan sebagai bendahara, namun beliau juga memelihara betul tekad murni hati nuraninya untuk melaksanakan amanat itu dengan penuh kejujuran dan keadilan.

Betapapun Nabi Yusuf dalam menjabat bendahara berkat meminta, tetapi pertanggung-jawabannya jelas demi kepentingan umat, dan tidak ada sedikitpun ia gunakan jabatannya itu untuk berlaku curang, tidak adil dan mementingkan diri dan kelompoknya sendiri. Sebab alangkah rusaknya jabatan itu apabila jabatan itu hanya dilihat dari sisi kekuasaan. Karena hal itu, bisa menghilangkan hati nurani kemanusiaannya, sehingga jabatan itu disalah-gunakan dan dijadikan alat untuk melanggengkan kekuasaannya, dan akhirnya ia tidak berpihak kepada perjuangan penegakan kebenaran.

Oleh karena itu, Ibnu Umar menyatakan, bahwa Rasulullah saw. bersabda : “Sesungguhnya apabila Allah swt. membiarkan seseorang menjatuhkan diri dari kebinasaan, maka dicabutnya rasa malu dari dirinya. Apabila rasa malu telah tiada, maka kamu akan menyaksikan ia menjadi orang yang dibenci dan amanatpun lenyap dari dirinya. Apabila amanat telah tiada, maka kamu akan menyaksikan ia menjadi seorang pengkhianat dan kasih sayangpun hilang dari dirinya. Apabila kasih sayang telah tiada pada dirinya, maka kamu akan menyaksikan ia menjadi orang yang terkutuk, dan ikatan Islam-pun menjadi lenyap dari dirinya”. (HR. Ibnu Majah).

Ada urutan yang tertib dan cermat dari petunjuk Rasulullah saw. tersebut, yaitu rasa malu – amanat – dan kasih sayang. Ketiga sifat mulia ini akan mengundang sifat-sifat terpuji lainnya.

Oleh karena itu, jika ketiga sifat itu lenyap pada diri seseorang, maka egoisme orang itu menjadi liar dan mengundang sifat-sifat tercela lainnya. Itulah sebabnya jika penempatan amanat itu jatuh ke tangan orang yang bukan ahlinya, atau jatuh ke tangan orang yang tak bertanggung jawab maka itu adalah penyelewengan amanat. Jika sudah begitu, maka tunggulah saat kehancurannya. Hal itu pernah disebutkan dalam suatu hadits dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu dia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا ضُيِّعَتِ اْلأَمَانَةُ فَانْتَظِرِ السَّاعَةَ. قَالَ: كَيْفَ إِضَاعَتُهَا يَا رَسُولَ اللهِ؟ قَالَ: إِذَا أُسْنِدَ اْلأَمْرُ إِلَى غَيْرِ أَهْلِهِ فَانْتَظِرِ السَّاعَةَ.

‘Jika amanah telah disia-siakan, maka tunggulah saat kehancurannya,’ dia (Abu Hurairah) bertanya, ‘Wahai Rasulullah, bagaimanakah menyia-nyiakan amanah itu?’ Beliau menjawab, ‘Jika satu urusan diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya, maka tunggulah saat kehancurannya !’”

Dalam kehidupan masyarakat kita kenal perkataan “aman”. Oleh karena itu, untuk memperoleh keadaan aman yang optimal dalam masyarakat, maka sifat amanat harus tumbuh secara optimal pula pada setiap anggota masyarakat. Adapun tingkat optimalisasi sifat amanat itu dituntut sesuai dengan tingkat kedudukan seseorang dalam masyarakat.
Seorang pemimpin pemerintahan mutlak dituntut untuk mempunyai sifat amanat yang paling tinggi, sebab ketiadaan sifat amanat pada dirinya dapat menimbulkan malapetaka terhadap rakyat yang dipimpinnya dalam skala yang luas, seperti adanya peperangan, terjadinya krisis ekonomi, dan keadaan tidak nyaman lainnya. Hal ini disebabkan ketiadaan amanat para pemimpinnya.

Oleh karena itu, siapapun kita yang diberi amanat sesuai dengan kedudukan dan posisi kita masing-masing hendaknya kita tunaikan sebagaimana mestinya dengan penuh tanggung jawab. Sebab Rasulullah saw. telah memberikan dorongan yang luar biasa kepada kita, sebagaimana disebutkan oleh ‘Ubadah bin Shamit, bahwa Rasulullah saw. bersabda : “Aku jamin surga untukmu, bila kamu berkata benar, berjanji tepat, dan amanat atas sesuatu yang dipercayakan kepadamu”. (HR. Ibnu Hibban, Ahmad, Hakim dan Baihaqy).

Semoga Allah memberikan taufiq dan petunjuknya kepada kita untuk dapat menunaikan amanat yang dibebankan kepada kita dengan penuh tanggung jawab. Amien.■

*) Dari materi Khutbah Jumat (11/12/2020)



BACA JUGA