Minggu, 18 Oktober 2020 | 14:34 Wita

Sedekah di Musim Bunga

Editor: Firman
Share

Oleh : Dr Ilham Kadir MA, Novelis dan Kolektor Bunga

HidayatullahMakassar.id — Setiap sore ia bawa murid-muridnya mengunjungi taman bunga, dia adalah nabi yang romantis, demikian tulis Abbas Mahmud ‘Al-Aqqad tentang Nabi Isa dalam “Hayatul Masih fit Tarikh wa Kusyufil ‘Ashril Hadiets”.

Pada abad ke-10 Masehi berdiri sebuah universitas di Mesir, namanya “Al-Azhar”, jika diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia, ‘Al-Jami’ah Al-Azhar’, berarti ‘Universitas Bunga-Bunga’, Al-Azhar adalah bentuk jama’ [plural] dari zahrah atau bunga.

Demikian adanya sebab perguruan tinggi tertua di dunia ini menjadi bunga bagi segenap penghuni bumi, terbang dari kejauhan untuk menghisap saripati ilmu dan kembali membawa madu untuk dijadikan penawar dari berbagai kangker epistemologis sekaligus penangkal penyakit kebodohan sebagai sumber segala masalah.

Bunga adalah simbol berbagai simbol, Nabi Isa menjadikan bunga sebagai media pembelajaran kepada para muridnya agar hidupnya diliputi kasih sayang, ketenangan, ketentraman, dan penuh cintah kasih.

Seorang guru yang romantis akan mudah menyentuh hati para muridnya untuk tunduk dan patuh mendengar petuah-petuahnya. Bunga adalah ketenangan dan kedamaian. Lelaki pencinta bunga pasti romantis.

Orang-orang Eropa menjadikan bunga sebagai pelipur lara, pengusir galau, dan penghalau kesedihan. Di sana, orang berkunjung ke rumah sakit untuk menjenguk pasien akan membawa bunga sebagai tanda kasih, cinta, dan kepedulian sesama.

Di Barat, orang sakit sepenuhnya diperlakukan sebagaimana mestinya, makanan dan aneka buah tersedia, sementara kita, ketika datang menjenguk, umumnya membawa ragam makanan dan kadang kamar pasien menjadi tempat reuni keluarga.

Bunga juga lambang kebahagiaan. Orang-orang berpesta, khusunya acara pernikahan tak meriah tanpa bunga, ia adalah lambang cinta, bunga dan cinta adalah ibarat dua sisi mata uang menjadi bagian tak terpisahkan.

Kerap seorang lelaki memberikan bunga tanda cinta pada kekasih dan pasangannya dengan bunga mawar tanpa duri. Bahkan bunga juga bisa menjadi pertanda ‘sedang berkabung’ atau pertanda bahwa ada salah satu sanak famili atau keluarga yang wafat. Ini yang dinamai “Bunga Karangan Duka Cita”. Jelas, bunga adalah lambang kehidupan dan sekalgus kematian.

Hidup akan menjadi bermakna jika dihiasi dengan bunga, baik bunga dalam artian sesungguhnya maupun dalam bentuk metafora. Kehidupan yang indah-indah ini laksana bunga yang berpotensi besar melenakan.

Dan orang yang terlena dengan bunga-bunga kehidupan, lalu menjauh dari rahmat Allah tentu menjadi bagian dari golongan yang tersesat. Inilah yang disitir dalam Al-Qur’an, (Thaha[20]: 131). “Dan janganlah engkau tujukan pandangan matamu kepada kenikmatan yang telah Kami berikan kepada beberapa golongan dari mereka sebagai bunga kehidupan dunia, agar Kami uji mereka dengan kesenangan itu. Karunia Rabbmu jauh lebih baik dan lebih kekal.”

Maka dapat dipahami bahwa segala yang menarik dan berpotensi melenakan bisa disebut “bunga”, bahkan mimpi indah bagian dari bunga-bunga kehidupan.

Sedekah Bunga

Di antara sekian banyak keistimewaan orang Indonesia, salah satunya adalah mampu mandiri atau berdikari, termasuk berdikari dalam mencari kesenangan dan kebahagiaan yang memiliki multiefek di antaranya menciptakan musim selain musim hujan dan kemarau yakni “Musim Bunga”.

Euforia ini ibarat matahari, datang dan pergi, hanya saja jika matahari punya ketetapan dan ketepatan waktu yang akurat, sebaliknya musim ciptaan orang Indonesia mengikut situasi, kondisi, dan pasaran.

Masih teringat, sekira lima tahun lalu, bangsa ini digemparkan dengan “Revolusi Batu Akik”, musim itu bertahan cukup lama, sekira tiga tahun, dan berakhir dengan senyap. Sebelum itu, sudah ada “Musim Tokek” para pemburu tokek masuk ke desa-desa mencari tokek seberat tiga kilo gram, dihargai dengan puluhan sampai ratusan juta.

Tapi orang-orang sudah banyak yang lupa jika tahun 2004-2008, bunga jemani dan anthurium pernah dijual hingga Rp 950 juta, dan kini musim itu kembali mengulangi dirinya, laksana sejarah yang berulang dan hanya pelakunya yang beregenerasi.

Kini yang terlihat menonjol adalah bunga “Janda Bolong” bunga yang mirip aglonema namun belang dan bolong ini dihargai per daun, satu lembar berkisar Rp 10 hingga Rp 30 juta. Dahulu, di zaman anthurium dan jemani, janda bolong hanya tinggal di hutan bersama misteri mitologi jin ‘sundal bolong’.

Musim bunga jelas membawa berkah pada bangsa ini, di tengah pandemi Covid-19 yang terus meneror, managemen ketatangaraan kian semrawut dan ruwet, diperparah dengan lahirnya undang-undang cipta lapangan kerja yang sebagian menyebut ‘Cilaka’, maka dibutuhkan refreshing untuk menyegarkan pikiran dan menenangkan kegundah-gulanaan.

Dan masalah itu bisa diatasi dengan semerbak wangi bunga di taman, atau kuncup janda bolong belang yang bertengger atas meja di sudut rumah.

Bunga, menjadi salah satu media mengais rezeki di tengah pandemi, dimana pertumbuhan ekonomi terjun di angka minus lima persen, sepertinya kita sudah resesi tapi diselamatkan oleh bunga di pot tapi tetap dihantam oleh bunga pinjaman dari rentenir multinasional.

Dan yang terpenting, bunga adalah media untuk saling berbagi. Jika merujuk pada undang-undang nomor 23 tahun 2011 “Tentang Pengeloaan Zakat” pasal satu ayat empat bahwa sedekah secara bahasa berarti benar, dan jujur, namun secara istilah “adalah harta atau non harta yang dikeluarkan oleh seseorang atau badan usaha di luar zakat untuk kemaslahtan umum”.

Maka saling memberi harta berupa bunga merupakan sedekah, dan medan pahala yang sangat besar. Maka jadikan bunga sebagai media untuk menerapkan konsep sedekah, saling memberi, membahagiakan sesama, dan pastinya, bunga yang disedekahkan pada orang lain akan tumbuh, dan subur, berkembang, bahkan akan melahirkan keberkahan, persis makna ‘sedekah dengan arti zakat secara bahasa’. Dan yang pasti, memelihara bunga adalah menyediakan udara segar bagi manusia.

Dalam agama kita begitu banyak penunjuk jalan (dalil) agar selalu berbagi, membahagiakan sesama hingga menolong yang kesusahan. Agama kita mewajibkan ada keseimbangan, ibadah vertikal dan horizontal, hablum minallah wa minannas.

Ini salah satu petunjuknya, “Manusia yang paling dicintai oleh Allah adalah yang paling memberikan manfaat bagi manusia. Adapun amalan yang paling dicintai oleh Allah adalah membuat muslim lain bahagia, mengangkat kesusahan dari orang lain, membayarkan utangnya atau menghilangkan rasa laparnya. Sungguh aku berjalan bersama saudaraku yang muslim untuk sebuah keperluan lebih aku cintai daripada beri’tikaf di masjid ini—masji Nabawi—selama sebulan penuh.” (HR. Thabrani dalam Al-Mu’jam Al-Kabir no. 13280, 12: 453. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan sebagaimana disebutkan dalam Shahih Al-Jaami’ no. 176).

Jadikanlah musim bunga ini sebagai wadah untuk membahagiakan diri, keluarga dan orang-orang sekeliling kita. Namun, jangan jadikan bunga sebagai mesin penambah dosa, bergosip karena bunga, mencuri bunga orang lain, berbohong pada suami demi bunga hingga bertengkar karena bunga. Jadikan bunga sebagai simbol kedamaian sebagaimana pendemo berdamai dengan polisi lewat setangkai bunga. Wallahu A’lam ■

Enrekang, 14 Oktober 2020.



BACA JUGA