Rabu, 9 September 2020 | 14:56 Wita

Hijrah: Pilar Peradaban Modern (6)

Editor: Firman
Share

■ Oleh: Imam Shamsi Ali*

HidayatullahMakassar.id — Self confidence (percaya diri) telah terbukti menjadi faktor kemenangan pasukan umat Islam yng jumlahnya kecil, dan dengan peralatan perang seadanya, melawan pasukan yang jumlahnya lebih besar, dan dengan peralatan perang yang lebih hebat.

Salah satu bukti sejarah itu adalah perang Badar di mana 303 orang pasukan Muslim mengalahkan 1.000 lebih pasukan musyrik dengan peralatan perang yang lebih hebat. Konon kabarnya mereka memiliki 100 pasukan berkuda. Sementara pasukan Islam hanya memiliki 2 pasukan berkuda.

Dengan iman dan tawakkal kepada Allah mereka menumbuhkan keyakinan penuh akan “an-nashr watta’yiid” dariNya.

Relasi vertikal yang solid seperti ini dengan sendirinya kemudian menumbuhkan “self confidence” yang tidak tergoyahkan. Persis ketika disampaikan kepada mereka: “Sesungguhnya manusia telah mempersiapkan segalanya (untuk menyerang kamu). Tapi mereka tiada bertambah kecuali dalam iman dan berserah diri (Islam)” (Al-Quran).

Dengan self confidence orang-orang beriman akan mampu melahirkan pemikiran-pemikiran dan karya-karyanya dalam kehidupan. Pemikiran yang teraplikasikan dalam karya itulah sesungguhnya Yang disebut “peradaban” manusia.

Dalam sejarah umat ini pemikiran dan karya sebagai peradaban manusia bukanlah sesuatu yang baru dan asing. Sepanjang sejarahnya umat ini selalu membuktikan jika dengan iman yang menumbuhkan “self confidence” telah melahirkan independensi pemikiran yang teraplikasikan dalam karya-karya nyata dalam kehidupan manusia.

Equal Opportunity

Salah satu karakteristik dasar ajaran Islam adalah “kesetaraan”. Bermula dari penilaian manusia yang bersifat universal, tanpa membeda-bedakan berdasarkan ras, etnis, dan seterusnya. Hingga membangun nilai kemanusiaan yang tidak dibatasi oleh batasan-batasan yang bersifat relatif dan partikular.

Manusia secara “jasadi” (fisikal) dalam segala ragamnya sama. Seorang anak berkulit hitam, bermancung pesek, berambut keriting, terlahir dari seorang Ibu yang secara sosial rendah, miskin, terbelakang, dan seterusnya, adalah setara dengan anak berkulit putih, keturunan Eropa yang kaya raya lagi dihormati.

Kedua manusia itu di saat lahir memiliki kesetaraan lahir batin. Secara lahir keduanya tercipta dari tanah. Secara batin keduanya membawa “Ruh ilahiyah” (fitrah kesucian). Sehingga yang menentukan kehormatan, atau sebaliknya kehinaannya, adalah bagaimana dia menjalani kehidupannya di kemudian hari.

Jika kehidupan ini dijalani dengan tanggung jawab maka dia dengan sendirinya terhormat. Tanggung jawab dalam menjalani hidup itulah yang diistilahkan sebagai “righteous life” (kehidupan yang saleh).

Tentu sebaliknya jika kehidupan dijalani dengan tidak tanggung jawab maka dengan sendirinya mencampakkan diri ke dalam lembah kehinaan. Mungkin dalam bahasa Al-quran: “laqad khalaqnal insana fi ahsani taqwim tsumma radadnaahu asfala safilin”.

Kata yang menyimpulkan berbagai bentuk kesalehan manusia adalah “taqwa”. Dan taqwa pusatnya ada pada hati manusia. Hati yang dipenuhi taqwa inilah yang kemudian membentuk warna kehidupan manusia itu.

Karena “Sesunggguhnya dalam diri setiap manusia itu ada segumpal darah. Jika segumpal darah itu baik maka baik semua amalannya. Tapi jika segumpal darah itu rusak maka rusaklah seluruh amalannya. Dan itulah dia hati (al-qalb)” (hadits).

Dengan demikian pijakan kemuliaan (karamat) manusia bersifat non material. Bukan oleh batasan atau defenisi material kemanusiaan kita.

Dengan demikian, dengan sendirinya siapapun dalam agama ini, apapun latar belakangnya, memiliki kesempatan yang sama untuk menjadi yang “terbaik” (khaer) dan termulia (akram).

Dalam menguatkan proses pembangunan peradaban manusia, Rasulullah SAW menanamkan semangat “equalitas” ini secara konsisten. Dalam berbagai praktek kehidupan keseharian menunjukkan bagaimana beliau menekankan dasar “kesetaraan” ini.

Disebutkan dalam sebuah riwayat bahwa suatu ketika dua sahabat agung Rasulullah, Abdurrahman Bin Auf dan Bilal bin Rabah bertikai.

Kedua sahabat ini sangat berbeda secara fisik dan material. Abdurrahman RA adalah keturunan bangsawan, kaya dan berwarna kulit yang secara sosial saat itu dipandang lebih “privileged” atau berkulit putih.

Sementara Bilal adalah mantan budak, miskin dan berwarna kulit yang secara sosial dipandang “under privileged” (kurang terpandang) ketika itu atau berkulit hitam.

Abdurrahman yang juga kaya saat itu merasa tidak pantas jika Bilal yang hitam, miskin dan mantan budak berani berdebat dengannya. Karenanya terlontarlah dari mulutnya kata-kata yang merendahkan (insulting) Bilal dengan memanggilnya “yaa ibnas sawdaa” (hai anak wanita hitam).

Mendengarkan hinaan itu Bilal sedih dan sangat tersakiti. Beliau melaporkan insiden tersebut kepada Rasulullah SAW. Rasulullah SAW memanggil sang sahabat yang merasa lebih mulia itu dan mengatakan padanya: “Sungguh kamu seseorang yang masih memiliki sifat jahiliyah”.

Mendengar itu sang sahabat Abdurrahman yang memang terhormat oleh anggota masyarakat mendatangi Bilal, meminta maaf, bahkan bersujud dan meminta kepada Bilal untuk menginjak kepalanya, demi menebus kesalahannya itu.

Peristiwa di atas tentunya adalah satu dari sekian banyak peristiwa bagaiman beliau (Rasul) mengaplikasikan ajaran “kesetaraan” Islam dalam kehidupan nyata masyarakat Madinah saat itu.

Inilah yang menjadikan mereka yang miskin bahkan mantan budak merasa termuliakan dan terbangun “self confidence” (percaya diri). Sehingga dengan sikap percaya diri yang tinggi itu menjadikan semua sahabat, tanpa kecuali memainkan peranan signifikannya dalam perjuangan.

Puncak deklarasi kesetaraan manusia itu terjadi di saat Rasulullah SAW melangsungkan khutbah akbar kemanusiaan di padang Arafah: “Wahai manusia! Tuhanmu adalah satu. Ayahmu juga satu. Semua kamu diciptakan dari Adam. Dan Adam diciptakan dari tanah. Sungguh tiada kelebihan orang Arab atas non Arab. Sebaliknya tiada kelebihan non Arab atas orang Arab. Juga tiada kelebihan orang putih atas kulit hitam. Dan tiada kelebihan orang hitam atas orang putih kecuali dengan ketakwaan” (khutbah wada’).

Peradaban yang manusianya memiliki kesetaraan inilah yang akan tumbuh secara alami dan sehat. Peradaban yang dibangun di atas prilaku kasta-kasta, walaupun atas nama agama, bukanlah peradaban (non civilization).

Dalam sebuah tatanan masyarakat, mana rasisme berkembang secara sistemik menandakan jika masyarakat tersebut jauh dari peradaban. Walaupun mungkin mereka mengaku beradab bahkan diakui sebagai bangsa yang memiliki peradaban yang maju.

Di sinilah kemudian peradaban yang dibangun oleh Rasulullah di Madinah menjadi unik dan solid karena kesetaraan manusia menjadi salah satu karakter dasarnya. Ras, warna kulit, etnis, dan juga status ekonomi manusia tidak menjadi penentu kemuliaaan.

Kemuliaan hanya ditentukan oleh hati (iman) dan karakter (amal dan prilaku). Atau dalam ungkapan Al-Qurannya: Taqwallah (ketakwaan kepada Allah).

Inilah yang diabaikan oleh Pencipta dan Raja alam semesta: “Wahai manusia sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang pria dan seorang wanita. Lalu Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku untuk saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah adalah yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha mengenal” (Al-Hujurat: 13).■ */Bersambung

  • Presiden Nusantara Foundation



BACA JUGA