Kamis, 3 September 2020 | 05:49 Wita
Hasad itu Penyakit
■ Oleh: Imam Shamsi Ali*
HidayatullahMakassar.id — Di tengah kelebihan-kelebihan yang Allah berikan kepada manusia ternyata pada dirinya juga terdapat lobang-lobang yang dapat menggelincirkan manusia itu.
Manusia itu mulia (karramna banii Aadam). Manusia itu ciptaan terbaik (ahsanu taqwiim). Manusia itu memiliki kesucian (fitrah). Dan tentunya manusia itu adalah representasi kekuasaan Allah di atas bumi (khalifah).
Akan tetapi manusia juga lemah (dho’if). Manusia itu lengah (nas-yan). Manusia itu panik (haluu’a). Dan yang paling berbahaya manusia itu memiliki keterbatasan di dalam dorongan nafsu yang tiada batas (al-ahwaa).
Salah satu lobang kelemahan manusia adalah penyakit-penyakit jiwa yang kerap terekspresikan dalam reaksi sosialnya. Satu di antara penyakit yang paling berbahaya itu adalah penyakit “al-hasad” atau dengki.
Dalam bahasa Indonesia keseharian penyakit ini lebih dikenal dengan kata “iri hati”. Walau ternyata kata hasad atau dengki itu jauh lebih buruk ketimbang sekedar irihati.
Iri hati adalah rasa “tidak nyaman” dengan sebuah kelebihan yang Allah berikan pada orang lain. Iri hati ini kerap terjadi ketika kelebihan orang lain itu dianggap ancaman, atau minimal saingan. Atau dianggap halangan bagi diri sendiri untuk memiliki kelebihan tersebut.
Sementara hasad atau dengki adalah sebuah perasaan ketidak nyamanan di hati atas kelebihan orang lain. Tapi tidak cukup sekedar “merasa” tidak nyaman. Melainkan berusaha sekaligus agar kelebihan orang lain itu dihilangkan darinya, dengan cara apapun.
Pertanyaan yang kerap timbul di benak adalah kenapa manusia mengalami penyakit iri hati bahkan hasad atau dengki?
Ada beberapa kemungkinan jawaban terhadap pertanyaan itu.
Pertama, kegagalan manusia mengukur dirinya sendiri. Ma’rifatun nafs (tahu diri) akan mengantar kepada, antara lain, kesadaran akan potensi atau kelebihan sekaligus kekurangan-kekurangan diri sendiri. Tahu diri menyadarkan kita akan potensi sekaligus keterbatasan yang ada pada diri masing-masing.
Kedua, ketidaktahun akan diri sendiri membawa kepada kegagalan menangkap setiap potensi (kelebihan) yang Allah karuniakan kepada manusia. Hal ini kemudian melahirkan kegagalan bersyukur. Orang yang gagal mensyukuri kelebihan yang Allah karunikan pada dirinya akan merasa tidak memiliki. Dan pada akhirnya hanya mampu melihat kelebihan orang lain.
Di sini ada dua kemungkinan yang dapat terjadi. Bisa bersikap positif dengan ikut bahagia dengan kebahagiaan orang lain. Atau menderita karena kebahagiaan (kelebihan) orang lain.
Ketiga, perasaan “inability” (ketidak mampuan) itu kerap juga disikapi secara negatif. Bukannya di terima sebagai kekurangan, dan dijadikan batu loncatan untuk perbaikan. Sebaliknya justeru seringkali kekurangan-kekurangan itu ditutup dengan mengumbar kekurangan orang lain.
Lebih tragis lagi ketika tidak menemukan kekurangan pada orang lain, akan digali hingga ke relung jiwa orang itu. Maksud saya kalau perlu demi melabelkan kesalahan pada orang lain, hatinya pun ikut dihakimi.
Di sini kita lihat bagaimana hasad atau dengki, bahkan irihati sekalipun itu sering dijadikan tameng atau “taqiah” bagi kelemahan diri sendiri. Ketidak mampuan itu ditutupi dengan melimpahkan kesalahan yang diada-adakan atau dipaksakan pada orang lain.
Keempat, sebagaimana kata orang, biasanya ada udang di balik batu. Iri hati biasa terjadi karena ada keinginan-keinginan (saya istilahkan buruan) tertentu. Keinginan-keinginan itu terkadang dirasa terhambat, atau bahkan terancam dengan kelebihan orang lain.
Maka timbullah prilaku kecurigaan-kecurigaan yang bukan-bukan pada orang lain tersebut. Karenanya hasad terjadi hakikatnya karena merasa buruannya terhalangi atau terancam.
Kelima, sesungguhnya yang paling runyam juga adalah kegagalan manusia menangkap kuasa Allah dalam hidupnya. Bahwa semua orang itu rezeki dan qadarnya (bahagian/takdir) telah ditentukan oleh Yang Maha Mencipta, Allah SWT.
Dan karenanya ketika Allah memberikan sesuatu yang kita anggap kelebihan pada orang lain, sejatinya Allah juga menberikan kelebihan pada diri kita dalam hal dan bentuk yang lain.
Orang terkadang diberikan kelebihan dengan uang. Tapi jangan lupa kemiskinan pada orang lain itu merupakan kelebihan bagi dirinya. Sebab dengan kemiskinan itu dia akan melakukan kebajikan yang belum tentu si kaya mampu atau mau melakukannya.
Siapakah yang membersihkan jalan? Siapakah yang membuang sampah? Siapakah yang ronda di saat si kaya tertidur lelap?
Maka sesungguhnya tidak ada alasan untuk iri hati, apalagi hasad atau dengki. Kalau saja manusia sadar diri, dan sadar akan kenikmatan yang Allah berikan pada kita, serta mensyukuri apa yang ada, pastinya semua akan merasa puas dan bahagia.
Hasad atau dengki menghabiskan kebaikan-kebaikan bagaikan api yang melahap kayu bakar. Api itu panas dan memanaskan lingkungan sekitarnya. Persis hasad itu panas dan menjadikan dia yang berpenyakit hasad gerah, takkan merasakan ketenangan hidup.
“Qul-a’uudzu bi Rabbil falaq…..wa min syarri haasidin idza hasada”. Amin■
*) New York, 31 September 2020.
Presiden Nusantara Foundation & Imam/Director Jamaica Muslim Center NYC.
TERBARU
-
Kadep Perkaderan Hidayatullah Raih Doktor di UIN Makassar. Ungkap Strategi Komunikasi Dakwah Pendiri Hidayatullah
26/11/2024 | 13:38 Wita
-
Transformasi dan Transmisi di Masa Transisi Hidayatullah
24/11/2024 | 07:58 Wita
-
Nilai dan Keutamaan Hidup Muhammad Sebelum jadi Rasul
22/11/2024 | 06:04 Wita